Akarasa - Sepeninggal Kemaharajaan Sunda
(723-1579), wilayah Jawa Barat terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang
pada mulanya merupakan bawahan Sunda. Kerajaan-kerajaan yang masih saling
berhubungan darah itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Cirebon dan Banten
yang sedang berada pada puncak kejayaannya. Kerajaan-kerajaan itu merupakan
kerajaan yang mandiri dan dipimpin oleh seorang bergelar Prabu, Sanghyang,
Rahyang, Hariang, Pangeran ataupun Sunan, akan tapi mereka mengakui kekuasaan
Cirebon dan Banten.
Dua kerajaan bawahan Sunda yang
paling luas wilayahnya adalah Sumedang Larang dan Galuh yang masing-masing
dianggap sebagai penerus Kemaharajaan Sunda. Pada tahun 1595 Sutawijaya atau
Panembahan Senopati (1586-1601) memperluas wilayah kekuasaan Mataram ke wilayah
Jawa Barat sehingga berhasil menaklukkan Cirebon dan kemudian menduduki
daerah-daerah sekitarnya yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Barat
kecuali Banten dan Jayakarta (Batavia).
Untuk mempererat hubungan
Mataram-Cirebon ini, Senopati menikahkan salah seorang saudarinya bernama Ratu
Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu itu, Panembahan Ratu (1570-1649).
Panembahan Senopati digantikan puteranya yaitu Mas Jolang yang naik tahta
sebagai Prabu Hanyokrowati (1601-1613), Prabu Hanyokrowati lalu digantikan oleh
puteranya yang bernama Mas Rangsang, naik tahta Mataram sebagai Sultan Agung
Hanyokrokusumo (1613-1645).
Pada tahun 1618 Sultan Agung
mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) yang bernama Ujang
Ngoko atau Prabu Muda sebagai Bupati Galuh yang menandai penguasaan Mataram
atas Galuh, sebagai bupati bawahan Mataram ia kemudian bergelar Adipati Panekan
(1608-1625). Adipati Panaekan juga
merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati (Gubernur) yang mengepalai
Bupati-bupati Priangan.
Priangan sendiri berasal dari
kata parahyangan yang berarti tempat para hyang (dewata), suatu sebutan bagi
wilayah bekas Kemaharajaan Sunda yang sebelumnya menganut agama Hindu, selain
itu raja-raja Sunda sering memakai gelar hyang atau sanghyang yang artinya
dewa. Peristiwa pendudukan Mataram ini di Panjalu diperkirakan terjadi pada
masa pemerintaha Prabu Rahyang Kunang Natabaya karena puteranya yaitu Raden
Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar Prabu seperti ayahnya, hal ini
menunjukkan bahwa Panjalu juga sudah menjadi salah satu kabupaten di bawah
Mataram.
Pada tahun 1620 Arya
Suryadiwangsa menyerahkan kekuasaannya atas Sumedang Larang kepada Mataram,
Sultan Agung kemudian mengangkat Arya Suryadiwangsa (1601-1624) sebagai Bupati
Sumedang Larang bergelar Pangeran Rangga Gempol Kusumahdinata. Pada tahun 1624
Rangga Gempol ditunjuk sebagai panglima pasukan Mataram utuk menaklukkan daerah
Sampang, Madura. Oleh karena itu jabatan Bupati Sumedang Larang dipegang
adiknya yang bernama Pangeran Rangga Gede (1624-1633) sekaligus merangkap
sebagai Wedana Bupati Priangan menggantikan Adipati Panaekan.
Pada waktu itu Sultan Agung
tengah menyiapkan serangan besar-besaran untuk merebut Benteng Batavia dari
tangan Kompeni Belanda dan meminta para bupati Priangan menunjukkan
kesetiaannya dengan mengirimkan pasukan gabungan untuk menggempur Batavia.
Rencana Sultan Agung ini menimbulkan perbedaan pendapat diantara para bupati
Priangan, tahun 1625 Adipati Panaekan yang berselisih paham dengan Bupati
Bojonglopang bernama Adipati Kertabumi (Wiraperbangsa) tewas di tangan adik
iparnya itu.
Kedudukan mendiang Adipati
Panaekan sebagai Bupati Galuh lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Ujang
Purba bergelar Adipati Imbanagara (1625-1636). Pangeran Rangga Gede sebagai
Wedana Bupati Priangan oleh Sultan Agung dianggap tidak mampu mengatasi
serangan-serangan Banten di daerah perbatasan sekitar Sungai Citarum yang
saling bersaing berebut pengaruh dengan Mataram, oleh karena itu kedudukan
Wedana Bupati Priangan pada tahun 1628 digantikan oleh Bupati Ukur (Bandung)
yang dikenal dengan nama Adipati Ukur putera Sanghyang Lembu Alas. Ia
mengepalai wilayah Ukur (Bandung), Sumedang Larang, Sukapura, Limbangan,
Cianjur, Karawang, Pamanukan dan Ciasem, sedangkan Rangga Gede dijebloskan ke
dalam tahanan.
Adipati Ukur juga sekaligus
diangkat menjadi Panglima pasukan Mataram yang terdiri dari gabungan pasukan
kabupaten-kabupaten bawahan Mataram di Priangan untuk merebut Benteng Batavia
dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perkumpulan Dagang India
Timur) yang dipimpin oleh Gubernur Jan Pieterszoon Coen (1619-1623 dan
1627-1629). Setiap Kabupaten kala itu mengirimkan kontingen pasukannya dalam
penyerbuan ke Batavia dan pemimpin kontingen pasukan dari Galuh adalah Bagus
Sutapura.
Penyerbuan ke Batavia kali ini
sesungguhnya adalah penyerbuan yang kedua. Pada tahun 1628 Mataram telah
mengirimkan pasukannya berjumlah sekitar 10.000 orang untuk merebut Batavia,
gelombang pertama pasukan dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal)
yang tiba di Batavia Agustus 1628. Pasukan kedua tiba di Batavia Oktober 1628
dipimpin Pangeran Madureja, mereka dibantu oleh para senapati (komandan) yaitu
Tumenggung Sura Agul-agul dan Tumenggung Upasanta.
Penyerbuan pertama ini mengalami
kegagalan karena pasukan mengalami kekurangan logistik/perbekalan. Atas
kegagalan ini Sultan Agung menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung Bahureksa
beserta orang-orang setianya dengan memenggal kepala mereka di sekitar Batavia.
Dalam penyerbuan kedua ini Mataram mengirimkan 14.000 orang tentara gabungan
Sunda-Jawa untuk merebut Batavia. Pasukan pertama dipimpin oleh Adipati Ukur
dengan balatentara Priangannya yang berangkat ke Batavia Mei 1629, sedangkan
pasukan berikutnya berangkat ke Batavia Juni 1629 dipimpin oleh Adipati
Juminah. Pasukan ini juga dibantu oleh senapati-senapati lainnya yaitu Adipati
Purbaya, Adipati Puger, Tumenggung Singaranu, Raden Arya Wiranatapada,
Tumenggung Madiun dan Kyai Sumenep.
Sejarah mencatat bahwa akibat
kurang koordinasi dan kesalahpahaman dengan armada laut Mataram yang mengepung
dari arah laut mengakibatkan pasukan darat pimpinan Adipati Ukur dan Adipati
Juminah menyerang Batavia lebih dahulu sehingga penyerbuan ini tidak terjadi
secara serempak sesuai dengan siasat perang, akibatnya penyerbuan kedua ini pun
mengalami kegagalan. Sultan Agung yang kecewa segera menjatuhkan vonis mati
kepada Adipati Ukur yang masih berada di sekitar Batavia dan mengirimkan
utusannya untuk memenggal kepala Adipati Ukur beserta para perwiranya yang
setia seperti yang terjadi pada Tumenggung Bahureksa.
Mengetahui dirinya telah dijatuhi
vonis mati oleh Sultan Agung, Adipati Ukur bersama sebagian pasukannya yang
setia berbalik memberontak terhadap Mataram (1628-1632), perlawanan Adipati
Ukur bersama pengikutnya ini terhitung alot karena secara diam-diam sebagian
Bupati-bupati Priangan mendukung pemberontakan Adipati Ukur.
Perlawanan Adipati Ukur baru
berhasil dihentikan setelah Mataram mendapatkan bantuan Ki Wirawangsa dari
Umbul Sukakerta, Ki Astamanggala dari Umbul Cihaurbeuti dan Ki Somahita dari
Umbul Sindangkasih. Atas jasa-jasa mereka memadamkan pemberontakan Adipati Ukur
itu, pada tahun 1633 Sultan Agung mengangkat Ki Wirawangsa menjadi Bupati
Sukapura dengan Gelar Tumenggung Wiradadaha, Ki Astamanggala menjadi Bupati
Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangun-angun, dan Ki Somahita menjadi Bupati
Parakan Muncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.
Bagus Sutapura yang juga berjasa
kepada Mataram diangkat sebagai Bupati Kawasen. Sementara itu Bupati Galuh
Adipati Imbanagara dijatuhi hukum mati oleh Sultan Agung karena dianggap
terlibat dalam pemberontakan Adipati Ukur. Jabatan Wedana Bupati Priangan
kemudian dikembalikan kepada Pangeran Rangga Gede sekaligus menjabat sebagai
Bupati Sumedang Larang.
Sewaktu tahta Mataram dipegang
oleh putera Sultan Agung yaitu Sunan Amangkurat I (1645-1677), antara tahun
1656-1657 jabatan Wedana Bupati Priangan dihapuskan dan wilayah Mataram Barat
(Priangan) dibagi menjadi 12 Ajeg (daerah setingkat kabupaten) yaitu: Sumedang,
Parakan Muncang (Bandung Timur), Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), Karawang,
Imbanagara (Ciamis), Kawasen (Ciamis Selatan), Wirabaya (Ciamis Utara termasuk
wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang), Sindangkasih (Majalengka),
Banyumas, Ayah/Dayeuhluhur (Kebumen, Cilacap), dan Banjar (Ciamis Timur). Pada
waktu itu Raden Arya Wirabaya keponakan Bupati Panjalu Pangeran Arya Sacanata
diangkat menjadi kepala Ajeg Wirabaya.
Pada tahun 1677 Sunan Amangkurat
II (1677-1703) menyerahkan wilayah Priangan barat dan tengah kepada VOC sebagai
imbalan atas bantuan VOC dalam usaha menumpas pemberontakan Trunajaya, menyusul
kemudian pada tahun 1705 Cirebon beserta Priangan Timur juga diserahkan
Pakubuwana I kepada VOC pasca perselisihan antara Amangkurat III dengan sang
paman Pangeran Puger atau Pakubuwana I (1704-1719). Dalam masa pendudukan
Mataram selama 110 tahun ini (1595-1705), yang menjabat menjadi Bupati Panjalu
secara berturut-turut adalah:
- Raden Arya Sumalah
- Pangeran Arya Sacanata (Pangeran Arya Salingsingan/Pangeran Gandakerta)
- Raden Arya Wirabaya
- Raden Tumenggung Wirapraja
Masa VOC dan Hindia Belanda
Berdasarkan perjanjian VOC dengan
Mataram tanggal 5 Oktober 1705, maka seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten
jatuh ke tangan Kompeni. Untuk mengawasi dan memimpin bupati-bupati Priangan
ini, maka pada tahun 1706 Gubernur Jenderal VOC Joan van Hoorn (1704-1709)
mengangkat Pangeran Arya Cirebon (1706-1723) sebagai opzigter atau Pemangku
Wilayah Priangan.
Gubernur Jendral VOC menjadikan
para Bupati sebagai pelaksana atau agen verplichte leverantie atau agen
penyerahan wajib tanaman komoditas perdagangan seperti beras cengkeh, pala,
lada, kopi, indigo dan tebu. Kebijakan VOC ini sangat membebani kehidupan
rakyat kecil, akibatnya pada tahun 1703 terjadi kerusuhan yang digerakkan oleh
Raden Alit atau RH Prawatasari seorang menak (bangsawan) Cianjur keturunan
Panjalu yang berasal dari Jampang (Sukabumi).
Kerusuhan yang digerakkan RH
Prawatasari ini melanda seluruh kepentingan VOC di wilayah Priangan (Jawa
Barat) terutama di Cianjur, Bogor, dan Sumedang. Di Priangan timur terutama
Galuh, kerusuhan ini melanda wilayah Utama, Bojonglopang dan Kawasen. Namun
pemberontakan RH Prawatasari ini akhirnya dapat dipadamkan oleh VOC pada 12
Juli tahun 1707, Raden Haji Prawatasari tertangkap dalam satu pertempuran seru
di daerah Bagelen, Banyumas yang lalu kemudian di asingkan ke Kartasura.
Pasca pemberontakan RH
Prawatasari, pada masa kepemimpinan Pangeran Arya Cirebon, Raden Prajasasana
(putera Raden Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) yang menjadi pamong
praja bawahan Pangeran Arya Cirebon diangkat sebagai Bupati Panjalu yang berada
dalam wilayah administratif Cirebon dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara
menggantikan Raden Tumenggung Wirapraja.
Pada tahun 1810 wilayah Kabupaten
Panjalu di bawah pimpinan Raden Tumenggung Cakranagara III diperluas dengan
wilayah Kawali yang sebelumnya dikepalai Raden Adipati Mangkupraja III
(1801-1810). Wilayah Kawali yang menginduk ke Panjalu ini kemudian dikepalai
oleh Raden Tumenggung Suradipraja I (1810-1819).
Pada tahun 1819, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Baron Van der Capellen (1816-1826)
menggabungkan wilayah-wilayah Kabupaten Panjalu, Kawali, Distrik Cihaur dan
Rancah kedalam Kabupaten Galuh. Dengan demikian pada tahun itu Raden Tumenggung
Cakranagara III dipensiunkan sebagai Bupati Panjalu, sementara di kabupaten
Galuh, Bupati Wiradikusumah juga digantikan oleh puteranya yang bernama Adipati
Adikusumah (1819-1839).
Semenjak itu Panjalu menjadi
daerah kademangan di bawah kabupaten Galuh dan putera tertua Tumenggung
Cakranagara III yang bernama Raden Demang Sumawijaya diangkat sebagai Demang
Panjalu (Demang adalah jabatan setingkat Wedana) sedangkan putera ketujuh
Cakranagara III yang bernama Raden Arya Cakradikusumah diangkat sebagai Wedana
Kawali.
Pada masa itu wedana adalah
jabatan satu tingkat diatas camat (asisten wedana). Raden Demang Sumawijaya
setelah mangkat digantikan oleh putera tertuanya yang bernama Raden Demang
Aldakusumah sebagai Demang Panjalu, semantara putera tertua dari Wedana Kawali
Raden Arya Cakradikusumah yang bernama Raden Tumenggung Argakusumah diangkat menjadi
Bupati Dermayu (sekarang Indramayu) dengan gelar Raden Tumenggung Cakranagara
IV.
Pada tahun 1915 Kabupaten Galuh
berganti nama menjadi Kabupaten Ciamis dan dimasukkan kedalam Keresidenan
Priangan setelah dilepaskan dari wilayah administrasi Cirebon. Antara tahun
1926-1942 Ciamis dimasukkan kedalam afdeeling Priangan Timur bersama-sama
dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Garut dengan ibukota afdeeling di Tasikmalaya.
Pada tanggal 1 Januari 1926 Pemerintah Hindia Belanda membagi Pulau Jawa
menjadi tiga provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Panjalu dewasa ini adalah sebuah
kecamatan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Raden Tumenggung Cakranagara
III, Raden Demang Sumawijaya, Raden Demang Aldakusumah dan Raden Tumenggung
Argakusumah (Cakranagara IV) dimakamkan di Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu,
berada satu lokasi dengan pusara Prabu Rahyang Kancana putera Prabu Sanghyang
Borosngora.
Dewasa ini Nusa Larang dan Situ
Lengkong Panjalu menjadi obyek wisata alam dan wisata ziarah Islami utama di
Kabupaten Ciamis dan selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah dari seluruh
Indonesia terutama dari Jawa Timur, apalagi setelah Presiden IV RI K.H.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diketahui beberapa kali berziarah di Nusa Larang
dan mengaku bahwa dirinya juga adalah keturunan Panjalu.
Bersambung...
0 on: "Kerajaan Panjalu Ciamis : Dalam Kekuasaan Mataram dan VOC [3]"