Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Kembali ke Tatar Sunda, kali ini saya ajak sampeyan untuk menelusuri
tapak jejak Kerajaan Panjalu. Karena rangkaian tulisan ini sangat panjang, maka
akan saya bagi beberapa postingan. Tulisan yang sampeyan baca ini adalah tulisan yang pertama...
Panjalu adalah sebuah kerajaan
bercorak Hindu yang terletak di ketinggian 731 mdpl dan berada kaki Gunung
Sawal, (1764 mdpl) Jawa Barat. Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah
berupa rangkaian pegunungan, dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh
Gunung Sawal yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya
dibentengi oleh Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan
Sumedang Larang sedangkan pada sisi utaranya memanjang Gunung Bitung yang
menjadi batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas Panjalu
dengan Kerajaan Talaga.
Secara geografis pada abad ke-13
sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu
berbatasan dengan Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah
utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kawali (Ibukota
Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan
Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan
Kerajaan Sumedang Larang.
Panjalu berasal dari kata jalu
(bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan
pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar,
warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris:
kesatria, perwira). Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu
berarti "perempuan" karena berasal dari kata jalu yang diberi awalan
pan, sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila diberi
prefiks fe + male menjadi female (bhs.Inggeris : perempuan).
Konon nama ini disandang karena
Panjalu pernah diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi. Mengingat
sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang
Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya,
orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani karena konon memiliki
banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti
kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.
Menurut Munoz (2006) Kerajaan
Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur)
karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan
Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja
Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua
kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah
penerus peradaban Panjalu Kediri.
Nama Panjalu sendiri mulai
dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga
Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan
Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah
Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti
Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung. Kabuyutan adalah suatu tempat
atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih
tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan
situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.
Pendiri Kerajaan Panjalu adalah
Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal.
Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal
berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan
Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang
Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh.
Daerah Kabataraan adalah tahta
suci yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan atau
spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga
berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan penting karena ia mempunyai satu
kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau
menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut sumber sejarah Kerajaan
Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di Galunggung adalah Batara
Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan
Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang
dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13
Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan
Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya). Besar
kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan
kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan
Gunung Sawal Panjalu.
Adapun para batara yang pernah
bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan
Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau
Sanghyang Rangga Sakti putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari
kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan. Diperkirakan kekuasaan kabataraan
Sunda kala itu dilanjutkan oleh Batara Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong
Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan
Sumedang Larang.
Prabu Guru Aji Putih digantikan
oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, menurut sumber sejarah
Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sezaman dengan Maharaja Sunda yang
bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan
oleh puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu
Agung digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan
di Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang
bertransisi dari daerah kabataraan menjadi kerajaan.
Kekuasaan kabataraan di
Kemaharajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi
cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera
Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda
yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan
oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci
kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan
Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga
Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan.
Kemaharajaan Sunda adalah suatu
kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling
terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda yang didirikan Maharaja Tarusbawa (669-723)
dan terletak di sebelah barat Sungai Citarum serta Kerajaan Galuh yang
didirikan Sang Wretikandayun (670-702) dan terletak di sebelah timur Sungai
Citarum. Kerajaan Sunda dan Galuh adalah pecahan dari Kerajaan Tarumanagara
(358-669), kemudian kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali dibawah satu
mahkota Maharaja Sunda oleh cicit Wretikandayun bernama Sanjaya (723-732).
Putera Sena atau Bratasenawa
(709-716) Raja Galuh ketiga ini sebelumnya bergelar Rakeyan Jamri dan setelah
menjadi menantu Maharaja Sunda Tarusbawa diangkat menjadi penguasa Kerajaan
Sunda bergelar Sang Harisdarma. Sang Harisdarma setelah berhasil menyatukan
Galuh dengan Sunda bergelar Sanjaya. Berdasarkan peninggalan sejarah seperti
prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang
sekarang menjadi kota Bogor yaitu Pakwan Pajajaran, sedangkan ibu kota Kerajaan
Galuh adalah yang sekarang menjadi kota Ciamis, tepatnya di Kawali. Namun
demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua
kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja atau tepatnya Kemaharajaan Sunda
dan penduduknya sampai sekarang disebut sebagai orang Sunda.
Panjalu adalah salah satu
kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah
Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723-732) sampai dengan Sri Baduga
Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI
Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon
di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu
(Kali Serayu) di sebelah timur.
Menurut Naskah Wangsakerta,
wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi Lampung sekarang sebagai
akibat dari pernikahan antar penguasa daerah itu, salah satunya adalah Niskala
Wastu Kancana (1371-1475) yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa
Lampung, dan dari pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta
Pakwan Pajajaran (Sunda) sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari
Nay Ratna Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Wastu
Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai Prabu
Dewa Niskala (1475-1482).
Lokasi Kerajaan Panjalu yang
berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang
erat dengan Kemaharajaan Sunda ada empat kawasan yang pernah menjadi ibukota
Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.
Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah:
Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh,
Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning
Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung
Kulon.
Selain itu Sunda juga memiliki
daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai oleh seorang Syahbandar yaitu Bantam
(Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang, Kalapa (Sunda Kalapa),
dan Chimanuk (Cimanuk). Kaitan lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda
dengan Kerajaan Panjalu adalah bahwa berdasarkan catatan sejarah Sunda, Hyang
Bunisora digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu
Kancana yang setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang, sementara menurut
Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan di Nusa Larang adalah Prabu Rahyang Kancana
putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.
Ada dugaan Sanghyang Borosngora
yang menjadi Raja Panjalu adalah Hyang Bunisora Suradipati, ia adalah adik
Maharaja Linggabuana yang gugur di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada
tahun 1357. Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili
keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta
Kawali . Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru
di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang
(Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.
Sementara itu sumber lain dari
luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh
memapaparkan bahwa setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan
rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan. Pendiri
Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga, yang
memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri
Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Nama Airlangga berarti air yang
melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri
Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan
Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa. Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu
Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik
takhta sepeninggal Marakata). Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara
Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang.
Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja
Wurawari dari Lwaram, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan
itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan
(wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia
16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan
Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang,
Jawa Timur.
Nama kerajaan yang didirikan
Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya,
Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin
Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat
yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan
sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat
Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).
Menurut Prasasti Terep (1032),
Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa
Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah
ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang). Menurut Prasasti Pamwatan (1042),
pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini
sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja
Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang
berpusat di Daha. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya
hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal
Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Mula-mula yang dilakukan
Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa
Isyana atas pulau Jawa. Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh
besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India.
Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan
pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin.
Pada tahun 1030 Airlangga
mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian
Panuda Raja Lewa. Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun
dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun
1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan
Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri
ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru
di Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032
itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan
dendam Wangsa Isyana.
Terakhir, pada tahun 1035
Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah
ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian
mati dibunuh rakyatnya sendiri. Setelah keadaan aman, Airlangga mulai
mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan
yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
- Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
- Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
- Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
- Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
- Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
- Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian
terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang
diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna
mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari. Pada
tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta.
Menurut Serat Calon Arang ia
kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi
ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti
Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji
Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Menurut cerita rakyat, putri
mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa
bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021)
sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang,
Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing
memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun
berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu
Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.
Fakta sejarah menunjukkan Udayana
digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata
kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu. Airlangga terpaksa
membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan
antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat
Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua
kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota
baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur
bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh
Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20
November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti
Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan
demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua
tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal.
Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji
Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling
sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung
Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi.
Berdasarkan Prasasti Pucangan
(1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga
patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua
istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi
Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun
itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian
tersebut.
Maharaja Jayabhaya adalah Raja
Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah
Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita
Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai
masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135),
prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha
(1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa
juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya
Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk
penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang
berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala
ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin
Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157. Sri
Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun
1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel
atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.
Nama Kertajaya terdapat dalam
Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti
sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya Prasasti
Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti
Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar
abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita
Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Dalam Pararaton, Kertajaya
disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir
pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha.
Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian
dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri. Para pendeta memilih
berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di
Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel
merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku
hanya bisa dikalahkan oleh Siwa.
Mendengar hal itu, Ken Arok pun
memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan
menyerang Kadiri. Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter
tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis)
dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan
diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.
Nagarakretagama juga mengisahkan
secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya
melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah
tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya
adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam
sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam
halus (akhirat). Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel
(Singhasari).
Menurut Nagarakretagama, putra
Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun
1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun
1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292
Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel. Berita tersebut tidak
sesuai dengan naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau
penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa
(alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah
Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan
Tumapel tahun 1292.
Sumber-sumber sejarah Kerajaan
Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang
hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua
kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya,
apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga
disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).
Paul Michel Munoz (2006)
mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir
Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis)
pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri
Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri
terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu
Tumapel, Ken Angrok.
Berdasarkan kitab
Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau
tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas
di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal
(Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa)
Tesnajati.
Ibukota Panjalu
Ibukota atau pusat kerajaan
Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang
pernah menjadi pusat kerajaan adalah : Karantenan Gunung Sawal Karantenan
Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan,
yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih.
Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa
situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m.
Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan,
termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi
pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan
Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi
Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan
larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon
Presiden I RI Ir Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya
untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan kemerdekaan
RI.
Nusa Larang
Prabu Sanghyang Borosngora
memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa
Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong.
Dinamai juga Nusa Gede karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama
Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga
menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang
dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang
(penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari
dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani.
Dayeuh Nagasari Ciomas
Dayeuh Nagasari dijadikan
kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan
Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah
Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis. Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang
Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai oleh
seorang Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam
kekuasaan Kerajaan Panjalu.
Dayeuh Panjalu
Raden Tumenggung Wirapraja
kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu
pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan
yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai
pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
- Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
- Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
- Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
- Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
- Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
- Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
- Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
- Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
- Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Bersambung...
0 on: "Kerajaan Panjalu Ciamis : Mungkinkah Penerus Panjalu Kediri, Jawa Timur? [1]"