Batara Tesnajati. Batara Tesnajati adalah tokoh
pendiri Kabataraan Gunung Sawal, ia mempunyai seorang putera bernama Batara
Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.
Batara Layah. Batara Layah menggantikan ayahnya
sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera
bernama Batara Karimun Putih. Batara Karimun Putih Ia menggantikan ayahnya
menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama
Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir
Kaputihan, Gunung Sawal.
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang
Sanghyang Rangga Gumilang naik
tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga
Sakti dan pada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang
berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di
Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang
puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama
Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di
Cipanjalu.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I
Sanghyang Lembu Sampulur I naik
tahta sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang
Cakradewa. Prabu Sanghyang Cakradewa Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang
puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak. Petilasan
Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.
Menurut kisah dalam Babad
Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana,
di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani.
Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan
singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita).
Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II
menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora
dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang).
Oleh karena itu Sanghyang
Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan
wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu
kesaktian dan ilmu olah perang. Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang
dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah
di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut
kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut.
Dalam suatu acara, sang prabu
meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam
olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu
Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua
pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang
menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah
(tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.
Prabu Sanghyang Cakradewa sangat
kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan
Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana
halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul
rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora
untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati"
yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan.
Sebagai indikator apakah
Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu
membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang
sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang pangeran telah
menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang
tersebut. Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon,
dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari
ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu.
Letih berjalan tak tentu arah
akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang
Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama
bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu
ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu
kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.
Di Mekkah itu Sanghyang
Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu
dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang
tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria
yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas
menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya
seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena. Karena terkejut dengan
kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di
tanah berpasir.
Lelaki misterius itu menegur sang
pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya
dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal
sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi
pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang
dimilikinya itu.
Setelah bertanya apa keperluannya
datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar
mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi
permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah
itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya
telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.
Sanghyang Borosngora segera
menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai
seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas
kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius
itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian
diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang
Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh
ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.
Setelah peristiwa itu Sanghyang
Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada
Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (agama Islam). Di akhir
masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar
melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang sekarang
bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang,
Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran.
Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul
Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan
ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai
ilmu sajati dengan sempurna. Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke
kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh
kerabatnya.
Sanghyang Borosngora juga
menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang telah
uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai
pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera
mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II. Air zam-zam yang dibawa Sanghyang
Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan
sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang
pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis
tanaman paku yang bentuknya seperti gayung.
Sanghyang Borosngora melanjutkan
syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang
sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi. Prabu
Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia
kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan
mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan
kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan
menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.
Sebagai media syiar Islam,
Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang diadakan
setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian
pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan
kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian
khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama
Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.
Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
Sanghyang Lembu Sampulur II naik
tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan tetapi ia kemudian
menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora, sedangkan
ia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas
(Sumedang).
Prabu Sanghyang Borosngora
Sanghyang Borosngora naik tahta
Panjalu menggantikan posisi kakaknya, ia kemudian membangun keraton baru di
Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih
Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal
sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam,
benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan
dikirabkan pada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam
rangkaian prosesi acara adat Nyangku.
Sanghyang Borosngora mempunyai dua
orang putera yaitu: 1) Rahyang Kuning, dan 2) Rahyang Kancana. Prabu Sanghyang
Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang
ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding. Petilasan
Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan
petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).
Sanghyang Borosngora dan Hyang
Bunisora Suradipati
Hyang Bunisora Suradipati adalah
adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal
sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan
tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi
puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang
Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas
tahta Kawali.
Hyang Bunisora juga dikenal
sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang
petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang
mirip dengan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang
menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa
dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh
ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang
tersembunyi dari Sejarah Sunda.
Hyang Bunisora atau Mangkubumi
Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan empat anak. Hyang
Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas
sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs
makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi.
Sanghyang Borosngora dan Baginda
Ali RA
Legenda pertemuan antara
Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih
kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali
hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar
Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut
dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai disebut-sebut ketika
Sanjaya (723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu
Sanjaya mendapat bantuan pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang
merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-716).
Sementara itu jika dirunut
melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya sekarang, maka Sanghyang
Borosngora diperkirakan hidup pada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman
dengan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun demikian, bukti-bukti
cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian
kebesaran masih dapat dilihat dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya
pedang pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya
menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan
berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan
Pandai Besi di Nusantara.
Sanghyang Borosngora,
Walangsungsang dan Kian Santang
Kisah masuk Islamnya Sanghyang
Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip dengan kisah Kian
Santang. Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang
bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari
isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu
Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja
Sangara).
Walangsungsang dan Rara Santang
menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan
Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan
Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah
naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman,
sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Sementara itu, berbeda dengan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk
Islam setelah bertemu dengan Baginda Ali lalu kembali ke tanah air untuk
menyampaikan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi yang tidak
bersedia memeluk Islam lalu menghilang beserta seluruh pengikutnya di Leuweung
Sancang (hutan Sancang di daerah Garut sekarang). Kian Santang yang juga
berganti nama menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian
dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat
di Garut.
Sanghyang Borosngora versi
Sejarah Cianjur
Menurut versi Sejarah Cianjur,
Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya
adalah Pangeran Sanghyang Borosngora, ia putera kedua Adipati Singacala
(Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri adalah putera
Sedang Larang, Sedang Larang adalah putera Ratu Prapa Selawati. Sanghyang
Borosngora adalah putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari
Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi adalah putera keenam dari Adipati Wanaperi
Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora adalah saudara misan Dalem Cikundul.
Sanghyang Borosngora mempunyai
empat orang saudara dan pada usia 14 tahun ia diperintah sang ayah untuk
berziarah ke tanah suci Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora
berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya adalah 6 tahun. Sepulang dari tanah
suci, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa
Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata telah
meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan menyampaikan
ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, karena itu
Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.
Pada hitungan windu pertama,
Sanghyang Borosngora melakukan perjalanan kunjungan ke tanah leluhurnya di
Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung
Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa
Rajamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (sekarang sudah
terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.
Pada windu kedua ia berangkat ke
Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung
Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk
Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di
Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri. Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke
Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari
(kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini ia dikenal dengan nama Haji Soleh dan
Haji Mulya. Setelah itu ia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini
ia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.
Sanghyang Borosngora menikahi
seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang.
Gadis yatim ini adalah turunan langsung Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya,
Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran untuk wilayah Cirebon Girang
dan Tengah. Padaa windu ketiga, ia memiliki dua orang putra yaitu Hariang
Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai
usia lanjut, ia wafat setelah dari Gunung Rompang serta dimakamkan di suatu
tempat di tepi Sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak,
Sukabumi.
Putra cikalnya yaitu Hariang
Sancang Kuning melakukan napak tilas perjalanan mendiang ayahnya ke Pajajaran
Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di
Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal adalah
Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia
dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman
Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana
menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat ia
dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.
Pertemuan para raja di Gunung
Rompang Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas kawasan
Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang mencakup wilayah Cianjur, Sukabumi
dan sekitarnya berkumpul di puncak gunung yang biasa dipakai sebagai lokasi
musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda
istilah rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah
retak bergerigi karena terlalu sering dipakai). Dinamai Gunung Rompang karena
pada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang
selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran telah menjadi rompang karena
dipakai bertempur terus-menerus. Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat
Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan itu adalah :
- Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan ia dikenal dengan berbagai julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
- Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah.
- Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
- Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.
- Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.
- Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.
- Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.
- Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.
- Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.
- Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.
Tujuan pertemuan para raja ini
adalah untuk membahas keinginan para raja dan adipati untuk menjalin kerjasama
yang lebih erat terutama dalam usaha menangkal serangan musuh dari luar. Untuk
itu dibutuhkan adanya seorang pemimpin yang tangguh, pemimpin yang memegang
tangkai, yang disebut sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai).
Prabu Jampang Manggung
mengusulkan agar Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja
Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir. Akhirnya, setelah
menjalankan Salat Jum'ah yang bertepatan dengan bulan purnama Rabiul Awal 1076
H atau 2 September 1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka
dan berdaulat, tidak tunduk kepada Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk
kepada Allah SWT. Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul
sebagai Raja Gagang.
Bersambung....
0 on: "Kerajaan Panjalu Ciamis : Silsilah dan Borosngora versi Sejarah Cianjur [4]"