Akarasa
– Selamat adatang kerabat akarasa. Awan mendung menggulung di langit sore itu. Tanda
sebentar lagi hujan deras akan segera turun. Dengan sedikit tergesa, Raden
Parikesit dengan mengendarai kuda pilihan sore itu bermaksud menyambangi
ayahandanya, Abimanyu, untuk minta doa restu plus wejangan khusus berkenaan
dengan pencalonannya menjadi raja Astina. Ya, Parikesit bertekad memimpin
Astina. Tentu bukan perkara yang mudah untuk menggapai singgasana itu karena
harus bersaing dengan calon-calon lain. Itulah sebabnya ia perlu meminta restu
pada ayahnya.
Dalam
perjalanan menembus gerimis yang muali turun, Parikesit memikirkan sikap
Romonya yang kadang keras kepala. Ia tahu, Abimanyu bukanlah sosok orang tua
yang gampang dimintai restu, apalagi untuk urusan politis.
“Romo
pasti akan mengujiku dengan macam-macam tingkah,” batin Parikesit. Ya, Abimanyu
memang sosok ayah yang suka menguji putra-putrinya. Abimanyu sering memosisikan
dirinya sebagai wungkal, tempat
mengasah ketajaman dan kepekaan intuisi bagi anak-anaknya. Apalagi jika sudah
menyangkut persoalan ilmu batin dan daya linuwih lainnya, Abimanyu tak
segan-segan bersikap kejam pada Parikesit. Kejam dalam makna yang semestinya.
Namun
pada saat-saat tertentu, Abimanyu juga gemar melucu dan mengumbar
anekdot-anekdot segar yang memaksa pihak lain memamerkan gusinya. Atau kadang
bersikap nyleneh, yang tak semua pihak tahu maksudnya. Dulu, Abimanyu pernah
menyuruh Parikesit mengembara selama tiga tahun.
“Carilah
ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya untuk bekal kelak jika kamu dewasa dan
jadi penguasa. Ingat, jangan pulang sebelum tugas berakhir,” demikian pesan
sang father dengan mimik serius.
Syahdan,
dalam pengembaraannya, Parikesit melakukan laku batin yang luar biasa beratnya:
hidup di hutan belantara dengan cara ngerowot,
hanya makan ramban dan dedaunan seadanya. Tubuhnya yang ceking gering rupanya
tak tahan dengan pola makan ala kijang atau kambing. Karena tak tahan
menderita, malam-malam ia pulang berteman hujan lebat. Tapi, lantaran watak
Abimanyu yang killer tadi, Parikesit
tak diberi kesempatan secuilpun untuk masuk rumah, alias tidak dibukakan pintu.
Parikesit dibiarkan tidur kedinginan di teras rumah tanpa selimut. Itu saja
belum cukup. Pagi harinya Parikesit diusir mentah-mentah laksana kucing gering
pencuri ikan asin.
“Romo
kan pernah bertitah, jangan pulang sebelum genap tiga tahun,” bentak Abimanyu.
“Lanjutkan
pengembaraanmu! Jadi orang jangan cengeng dan gampang meriang. Teruslah
berjuang meski ribuan rintangan menghadangmu. Ingat, kau adalah calon pemimpin.
Harus punya wawasan luas dan mental cadas. Harus punya keberanian untuk
bersusah-susah dan perihatin. Harus berani tidak korupsi. Harus berani dihujat.
Mengerti?” Parikesit hanya bisa mengangguk, lalu kembali mengembara dari lembah
ke lembah dalam bimbingan seorang resi. Dalam pengembaraan itulah Parikesit
memperoleh macam-macam ilmu baik ilmu lahir maupun batin.
--000—
Parikesit
menambatkan kudanya pada sebuah tonggak bambu yang menancap di bawah pohon sawo
depan kesatriyan Plangkawati. Ia bergegas menemui Abimanyu di ruang pribadi.
Sembah-sungkem mengawali pertemuan antara anak dengan bapak.
“Ada
apa, Ngger. Kelihatannya kok serius amat,” sapa sang father dengan sangat
santai. Dada Parikesit terasa ngeplong karena melihat gurat wajah ayahandanya
tampak cerah. Ini artinya, Abimanyu sedang ceria dan bisa diajak diskusi,
berdebat sekaligus bercanda. Bila mungkin, diajak pamer kekuatan dan adu
kecerdikan. Sebab memang sudah waktunya Parikesit melaporkan hasil
pengembaraannya selama tiga tahun.
“Begini,
Romo. To the point saja, kedatanganku kemari, terus terang dan terang terus,
ingin meminta dukungan Romo sekeluarga.”
“Dukungan?”
“Exactly,
Romo.”
“Dukungan
dalam hal apa?”
“Nganu,
Romo. Seperti yang banyak diberitakan di koran dan televisi, saya ingin
mencalonkan diri menjadi raja Astina. Jadi Ndoro, Romo. Dukungan arus bawah
sudah kuat. Bukan hanya datang dari massa partai yang saya pimpin, tapi
pihak-pihak di luar partai juga turut mendukung. Bagaimana, Romo? Apakah Romo
juga mendukung?”
“Ha
ha ha….”
“Kenapa
Romo tertawa?”
“Karena
kamu lucu. Lucu-lucu bathok.”
“Apanya
yang lucu, Mo. Orang-orang menganggap serius, lha Romo malah celelekan.”
“Ini
bukan celelekan atau telelekan. Tapi soal hati nurani, bisikan hati yang paling
dalam.”
“Maksud,
Romo?”
“Sebelum
memutuskan sesuatu, mestinya kamu bertanya pada dirimu sendiri, apakah kamu
yakin mampu memimpin rakyat yang jumlahnya jutaan ini. Apakah kamu siap
menghadapi ujian dan segala resikonya. Menjadi raja itu tidak gampang lho,
Ngger. Modal dukungan arus bawah saja tidak cukup. Apalagi hanya modal
dengkul.”
“Saya
sadar, Mo. Tapi kenapa Romo bicaranya sengak begitu.”
“Makanya,
ukur dirimu dulu, sebab hanya kamu yang tahu persis seberapa jauh kapasitasmu
sebagai calon pemimpin. Boleh-boleh saja arus bawah mendukung dan mencalonkan
kamu karena mereka punya kepentingan. Tapi perlu diingat, mereka tidak tahu
persis siapa kamu sebenarnya. Mereka hanya menganggap kamu hebat, kamu sakti,
kesimpulan yang hanya berangkat dari mitos dan angan-angan. Pokoknya Romo tidak
akan memberi restu sebelum tahu persis tentang visi-missimu dalam memimpin
sebuah negeri. Dan yang tak kalah penting, Romo juga pengin tahu seberapa hebat
talenta politikmu, kok berani-beraninya berambisi jadi raja.”
“Lalu,
apa yangakan Romo lakukan?”
“Hari
ini kita adu kecerdikan dan kesaktian. Kecerdikan dan kesaktian adalah modal
dasar jadi raja, disamping modal-modal lainnya. Ayo kita mulai….”
“Sebentar,
Romo. Kenapa harus adu kecerdikan dan kesaktian?”
“Biar
romo bisa menakar kehebatanmu. Calon raja tak boleh ngisin-ngisini. Romo ikut
malu jika kamu kalah bersaing gara-gara kurang wawasan, kurang ilmu, apalagi
telmi.”
“Baiklah.
Sekarang apa yang Romo kehendaki?”
Huppp!
Tanpa bicara panjang, Abimanyu langsung terbang dan menghilang.
“Cari
aku sampai ketemu!” teriaknya.
Tertantang
oleh sikap ayahandanya, Parikesit segera memberdayakan kepintarannya. Baginya,
mengikuti jejak orang menghilang adalah hal gampang. Hanya dalam hitungan
detik, Parikesit berhasil menemukan ayahnya yang (ternyata) bersembunyi dalam
botol kecap di ruang dapur.
“Kamu
memang hebat, Ngger. Tapi Romo tak begitu yakin sebelum melihat kehebatanmu
yang lain.”
“Katakan,
apa yang Romo inginkan.”
“Suruh
burung-burung itu berkicau.” Parikesit menepuk telapak tangannya tiga kali
sambil bersiul. Seketika itu pula burung-burung dalam sangkar berkicau saling
bersahutan.
“Coba
hentikan,” pinta Abimanyu. Parikesit kembali bersiul. Kicaupan burung-burung
mendadak berhenti. Abimanyu manggut-manggut.
“Apalagi,
Romo?”
“Ini
yang terakhir. Jika kamu benar-benar hebat, cobalah menghilang dan bersembunyi
di tempatmanapun. Romo akan mencarimu. Jika dalam waktu lima menit Romo tak
berhasil menemukanmu, berarti kamu memang cerdik dan hebat.”
“Baik,
Romo.”
Sssttt…
Parikesit menghilang dan melesat entah ke mana. Abimanyu agak kelabakan
mengikuti jejak putranya. Abimanyu mondar-mandir masuk ruang dapur, kamar
tidur, bahkan sempat-sempatnya menjenguk WC, tapi tak berhasil menemukan
Parikesit. Setelah lebih dari lima menit, barulah Parikesit buka suara. Ia
cekikikan dan sedikit mengejek ayahnya.
“Lihat,
Romo! Saya ada di sini, dekat dada Romo! Hik hik hik…” Abimanyu terkejut.
Ternyata
Parikesit mampu mengerdilkan tubuhnya lalu bersembunyi dalam kantung baju
ayahandanya. Tak lama kemudianParikesit pun meloncat keluar dan kembali ke
wujud semula.
“Bagaimana,
Romo? Masih juga penasaran?”
“Cukup!
Romo akui kehebatanmu. Mulai detik ini Romo mendukung pencalonanmu jadi raja.”
“Terima
kasih, Romo…” Parikesit bersimpuh dengan hati gemuruh. Sekian!
0 on: "Kisah Dibalik Naik Tahtanya Parikesit"