Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Mungkin kita masih teringat ungkapan bijak klasik yang sering
kita dengar, jika padi semakin berisi, maka akan semakin menunduk. Jamaknya dalam
hidup yang selalu berpasangan, bagi sebagian orang ada yang menjadikan ungkapan
bijak ini sebagai falsafah hidupnya, tapi tak sedikit pula yang berlaku
sebaliknya. Ketika sudah menjadi orang, maka ia lupa akan kesusahannya dulu dan
berubah menjadi orang yang sombong, angkuh, tamak bahkan mencebir kaum yang
terpinggirkan.
Kisah dari bumi para
nata, Yogyakarta, yang akan saya narasikan kali ini setidaknya mengajarkan pada
kita untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Membekali diri dengan ilmu yang
banyak. Namun juga jangan lupakan satu hal, dengan ilmu itu janganlah takabur
dan sombong. Sebab setinggi-tingginya ilmu yang dipunyai, masih ada yang lebih
tinggi lagi. Di atas langit masih ada langit. Seorang yang berilmu hendaknya
meneladani filosofi padi, kian berisi kian merunduk. Dengan demikian ilmu bisa
bermanfaat bagi orang lain..
Tubuhnya terbilang kekar,
dengan blangkon hitam melingkar di kepalanya. Sebagai putra Panembahan Senopati,
ia biasa dipanggil Raden Ronggo. sebagaimana ayahnya, selain sangat sakti,
pemuda ini pantang menggunakan senjata ketika ia berlaga. Raden Ronggo senang
mengembara untuk belajar kesaktian, namun ia seringkali menggunakan kesaktiannya
pada hal yang tak berguna. Kesaktiannya hanya ditunjukkan pada orang bahwa
dirinya sebagai orang yang hebat. Sebagai lelaki yang amat tampan, ia juga
disukai banyak perempuan. Namun godaan setiap perempuan ditampiknya. Baginya
perempuan hanya batu penghalang meraih kesaktian yang lebih tinggi.
Siang itu, Ronggo
berjalan-jalan menyusuri jalanan yang banyak ditumbuhi pohon besar. Namun
betapa terkejutnya orang-orang ketika tiba-tiba saja Raden Ronggo mengamuk.
Dengan wajah merah padam, dicabutnya pohon besar di dekatnya. Padahal pohon
besar tersebut yang menanam adalah kakeknya, Sultan Hadiwijaya, itu pun
tumbang. Orang-orang berdatangan mendengar dentaman kayu besar itu.
“Arya Jipang telah
menelusup ke tubuh Raden,” gumam sebagian orang yang hadir.
“Siapa yang bilang saya
kerasukan?” rupanya Raden Ronggo mendengar gumaman itu.
Ditanya demikian,
menunduklah orang-orang. Raden Ronggo busungkan dada, kepala mendongak.
Panembahan Senapati yang mendengar kekisruhan tersebut kemudian segera menyuruh
seorang prajuritnya untuk memanggil Ronggo di dekat pohon itu, kemudian sang
prajurit pun menyampaikan titah Senapati.
Bukannya nurut, malah
Ronggo mengadu kepalanya dengan kepala prajurit utusan ayahnya itu hingga
kepala prajurit itu nyaris pecah. Lelaki tampan itu pun langsung nyelonong
begitu saja ke istana, menghadap ayahnya.
“Ngger, anakku yang
hebat dan sakti! Sebaiknya angger tidak selalu berbuat demikian. Orang sakti
itu bukan berarti selalu memamerkan kesaktiannya. Kesaktian itu tidak untuk
disalahgunakan,” kata Panembahan Senopati bijaksana.
Namun dinasehati
demikian bukannya Raden Ronggo luruh. Justru sebaliknya. Ditanggapinya nasehat
itu dengan hati yang marah.
“Sudah beberapa kali
Ananda pamer ilmu. Pertama ketika datang seorang utusan dari Kerajaan Banten,
Ananda menghajar mereka. Ketika Ananda berada di hutan Mentaok, Ananda
menangkap harimau sendirian tanpa senjata. Ramanda suka punya anak yang sakti,
tapi jika tidak disalahgunakan.”
“Tapi?” sahut Raden
Ronggo sembari menunduk.
“Bila itu terus
berlanjut, dapat membahayakan diri Ananda. Ananda bisa takabur,” Panembahan Senopati
memotong.
“Di dunia ini tak ada
orang yang sakti. Kau lihat gunung?” ia menunjuk keluar ke arah Gunung Merapi
yang ujungnya dikelilingi asap. Ronggo mengangkat kepalanya.
“Puncak yang tertinggi
ternyata bukan yang tertinggi,” lanjut Senopati.
Muka Raden Ronggo kian
merah. Ia menunduk di depan ayahnya. Kemudian Senopati menjulurkan telunjuknya
ke hadapan Ronggo.
“Kau lihat telunjuk
ini,” Senapati mengajukan telunjuknya.
“Jika kau orang sakti,
patahkan telunjuk Ramanda,” tantangnya.
Kemudian Ronggo
cepat-cepat memegang telunjuk itu. Matanya menatap wajah Senopati. Keduanya
saling tatap. Ronggo berusaha mematahkan telunjuk itu. Namun sia-sia. Ia pun
menunduk malu di hadapan Ramanda.
“Maafkan Ananda,
Ramanda,” katanya kemudian sambil menghaturkan sembah sungkem. Senopati
tersenyum. Namun lelaki perkasa itu masih ragu, apakah anaknya benar-benar
memohon ampun dengan ketulusan hati atau hanya pura-pura belaka? Maka
disuruhnya Raden Ronggo ke tempat sepi untuk bertapa.
“Di sana Ananda bisa
merenungkan nasehat-nasehat Ramanda!”
Lelaki tanggung itu tak
menyahut. Kepalanya terus menunduk. Mukanya mengernyit seolah menampakkan
kekecewaan atas dirinya dan Ramandanya yang telah mempermalukannya. Dengan nada
lebih keras, Panembahan Senopati menyuruh anaknya itu pergi ke Kadipaten Pati.
Ronggo meminta maaf kepada Ramanda. Ia pegang ibu jari kakinya. Kemudian
Senopati mengibaskan kakinya. Terpentallah Ronggo hingga keluar dari pasewakan.
Raden Ronggo meringis. Punggungnya seperti remuk. Ronggo tak menyangka bila
Ramandanya bisa sekeras itu kepadanya.
Karena tak ada pilihan
lain, Ronggo pun berkemas ke Pati di mana Adipati Wasis Jayakusuma tinggal.
Beberapa prajurit menyiapkan kuda untuknya.
Setelah beberapa hari
berkuda, sampailah Reden Ronggo di Kadipaten Pati. Hari masih pagi. Ia berjalan
gontai hendak menemui Adipati setelah menambatkan kekang kudanya di sebuah
pohon dekat Kadipaten. Dilihatnya sebuah tombak disandarkan di dinding rumah
yang berlukis seekor harimau.
“Apakah di dekat tempat
ini ada orang yang sakti?” seru Raden Ronggo.
Seruan itu bersahut.
Lalu tangan kanan Raden Ronggo menghampiri tombak itu dan menimang-nimangnya
sejenak. Bersamaan dengan itu seorang prajurit lewat. Tanpa ampun, tombak di
tangan Raden Ronggo bergerak cepat dan dihunjamkannya di dadanya sendiri.
Prajurit tadi terkesiap karena tombak itu tak sedikit pun melukai tubuh Raden
Ronggo. Malahan, ujung tombak itu jadi tumpul.
“Apakah di tempat ini
ada yang sakti?” serunya lagi sambil membusungkan dada.
“Ada Tuan. Beliau
sekarang bertapa di sebuah pohon yang rindang.”
“Kuharap kau
mengantarkanku pada orang itu.”
“I’iiya Tuan.”
Keduanya berlalu
melewati sebuah pematang. Tak ada ucap selama perjalanan itu. Hanya angin yang
meliuk ke lembah dan bukit-bukit. Ronggo berjalan di depan dengan gaya seorang
pembesar.
Tak seberapa lama,
terlihatlah sebuah pohon besar yang rindang dengan akar menghunjam kukuh ke
perut bumi. Di bawahnya tampak sesosok lelaki kurus kerempeng, matanya
terpejam, dan tangannya bersedekap di dada. Tubuh itu hanya tinggal tulang dan
sekujur tubuhnya kotor. Rambutnya menggerai tak beraturan. Namun walau terlihat
kotor, lelaki pertapa itu seperti dikelilingi butir-butir cahaya.
“Jangan mengganggu
kami!!” sebuah suara berseru dari balik pohon.
Raden Ronggo sejenak
melihat ke kanan dan ke kiri. Raden Ronggo pun mendekati pertapa kurus itu.
“Jangan ganggu kami!!”
suara itu lagi dari balik pohon. Raden Ronggo mendongak lagi mencari-cari
sumber suara itu. Namun ia tak juga menemukan si pemilik suara.
Raden Ronggo pun
berpikir, jika pertapa kurus kerempeng ini saja bisa bercahaya, mengapa ia yang
kekar, muda, sakti, tampan, amat disegani oleh orang banyak tidak bisa? “Tidak!
Aku bisa melakukan ini semua. Aku bisa,” gumamnya. Kemudian dengan amat sombong
dan congkak Raden Ronggo menemui pertapa itu.
“Tuan, kuharap Tuan
tidak mengganggunya,” pinta prajurit pengantar itu.
“Tahu apa kau? Bodoh!”
“Tuan, dia sedang
menjalankan amalan! Biarkan dia menyelesaikannya, Tuan!”
“Pulanglah kau
prajurit, pulang!!”
“Tapi Tuan?”
“Cepat pulang!” Raden
Ronggo membentak.
Prajurit itu
pelan-pelan pergi dari tempat itu, namun ia selalu menoleh, ia khawatir,
jangan-jangan Raden Ronggo mengganggunya. Prajurit itu terus menyusuri setapak,
namun matanya tak lepas mengawasi tingkah Raden Ronggo.
Raden Ronggo memegang
kepala pertapa itu. Prajurit itu terhenti. “Kuharap Tuan tidak melakukannya!”
teriaknya. Namun Raden Ronggo bergeming. Ronggo pun bertanya kepada pertapa itu
dari mana asalnya dan mengapa ia melakukan tapa di tempat ini? Pertapa itu tak
menjawab. Ronggo pun mengulangi lagi pertanyaannya. Pertapa tetap saja diam.
Setelah sekian kali
diabaikan, marahlah Raden Ronggo. Dipegangnya kepala pertapa itu lalu dengan
kekuatan penuh ditelungkupkannya kepala itu hingga menyusur tanah. Pertapa itu
pun mengerang. Ia mulai membuka matanya yang cekung. Tangannya memegang
dadanya. Cahaya mengkilau di tubuhnya. Ronggo kaget.
“Kau telah
menganiayaiku,” katanya perlahan.
“Pertapa bangsat!!!”
tukas Ronggo.
Namun pertapa itu hanya
menyeringai. Mulutnya berbusa. Napasnya tersengal. Detak jantungnya melambat.
Raden Ronggo mendekat dengan kemarahan yang tertahan.
“Terima kasih, Ronggo.
Kau telah mengantarku keluar dari dunia ini. Ha! Ha! Kau betul-betul amat
sombong anak muda, sesungguhnya pada gunung yang tinggi ada gunung yang lebih
tinggi lagi,” kata pertapa kurus itu.
Masih tersisa senyumnya
di sisa ajal itu. Ronggo agak kaget mendengar ucapan pertapa itu barusan. Sebab
ungkapan sama pernah diutarakan Ramandanya. Ronggo gemetar. Ronggo tiba-tiba
berpikir, jangan-jangan pertapa itu teman seperguruan Ramandanya?
Belum sempat Ronggo
bertanya lagi, pertapa kurus itu pun terkulai. Tubuh kerempeng tak bernyawa itu
tiba-tiba lenyap dari hadapan Raden Ronggo. Ia moksa.
“Tunggu balasanku anak
muda! Aku akan membalasmu kelak. Aku akan menjelma seekor ular.”
Ronggo tersenyum. Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian Ronggo memutuskan untuk pulang ke Jogjakarta.
Setiba di rumahnya, Senopati amat berang pada anak lelakinya yang sombong itu.
Ronggo minta maaf pada Ramandanya, namun yang masih terpikir oleh Ronggo,
kenapa Ramandanya tiba-tiba tahu kejadian itu, padahal tak seorang pun ada yang
memberi tahu. Apakah ia mendapat wangsit? Atau ia punya kemampuan meneropong
jarak jauh? Entahlah!
“Apa gunanya orang
sakti di dunia ini jika hanya akan menimbulkan malapetaka?”
Ronggo tak menyahut. Ia
hanya menunduk dan menunduk. Hingga sebuah teriakan histeris di halaman
Panembahan terdengar. Di sana para prajurit bergelimpangan di pintu gerbang.
Mengetahui keadaan yang gawat itu Panembahan Senopati dan Raden Ronggo keluar.
Seekor ular raksasa pun langsung menyerang. Melihat seekor ular mengamuk, Raden
Ronggo pun menyiapkan kuda-kudanya.
“Ini pasti si pertapa
itu,” gumamnya.
“Bajingan!!”
Ronggo menatap
Ramandanya seolah-olah mohon pamit pada lelaki tambun paruh baya itu. Ia
kemudian turun dari Panembahan menuju halaman. Kini Raden Ronggo terlibat duel
maut melawan ular raksasa itu. Segala tenaga dikeluarkannya. Prajurit-prajurit
memperhatikan dengan seksama pertarungan dua pendekar itu. Berkali-kali serangan
Raden Ronggo gagal. Malahan tubuh Ronggo kini terlilit ular raksasa sehingga
Ronggo tak bisa bergerak.
“Ha! Ha! Ternyata hanya
secuil kekuatannmu anak muda sombong! Ha? Hanya secuil. Ha! Ha!”
Kemudian Senapati
meminta lewat batinnya agar ular itu melepaskan anaknya. Diberitahunya ular itu
bahwa yang sedang dijepitnya itu anaknya, namun Senapati mengucapkan terima
kasih pada ular raksasa itu karena ia telah memberi pelajaran pada anaknya.
“Kembalilah, Kawan!!”
tukas Senopati.
Kemudian ular itu melepaskan
Ronggo. Tubuhnya lemas. Sementara ular raksasa itu seolah tersenyum dan
berpamitan pada Senapati. Mulai saat itulah Ronggo tak lagi bersikap sombong
pada siapa pun. Sekian.
Kalo cerita legenda-legend di indonesia emang banyak banget, termasuk cerita raden ronggo yg congkak di atas. Tapi hebatnya cerita2 tersebut terdapat pengakaran, ada pesan nasehat di situ. Hebat....
BalasHapus