Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Pengalaman ini sudah lama berlalu memang. Bahkan saya pun sudah lupa
pada pengalaman tersebut seandainya saja teman seperjalanan dalam pengalaman
tersebut tidak menghubungi saya petang kemarin. Kalau tak salah ingat, kejadian
yang akan saya ceritakan ini terjadi tahun 2002, bulan dan tanggalnya saya sudah
tak ingat lagi. Tapi yang jelas, kejadian tersebut beberapa hari setelah hari
raya Idhul Adha.
Rahmad, tapi kami sering
memanggilnya Kampret, asal Karanganyar, Jawa Tengah. Perkenalan saya dengan
Kampret ini bermula dari suatu proyek di Malinau, Kalimantan Utara, ketika ada
pemekaran wilayah ketika itu. Di Malinau ini, ada dua teman yang terbilang
dekat, selain Kampret ada satu lagi Surono, asal Tegal Dowo, Gunem, Rembang. Karena
sistem pekerjaan berdasar kontrak, saya dan Surono datang terlebih dahulu,
sementara Kampret datang selang dua atau tiga mingguan setelahnya.
Hampir setengah tahun, suka duka
kami lewati bersama. Kebetulan kami bertiga tinggalnya satu mes, sebagaimana
para perantau pada umumnya, rasa senasib sepenanggungan membuat kami sudah
selayaknya saudara. Karena kontrak kami, saya dan Surono telah habis, maka kami
berkesempatan tilik kampung. Meski sebenarnya ada tawaran untuk kembali terbuka
lebar. Namun kami sepakat untuk tidak balik lagi. Selang dua atau tiga minggu
kemudian, Kampret pun menyusul pulang karena selesai juga kontraknya. Karena sudah
janji sebelumnya, ketika pulang Kampret mampir dulu di rumah saya, Tuban.
Setelah sehari di rumah saya, kemudian saya diajak ke rumahnya di Klaseman,
Karanganyar, sedianya setelah dua atau tiga hari di rumahnya kami berencana ke
rumah Surono, di Gunem, Rembang.
Dengan berboncengan motor, saya
dan Kampret dari Solo menyusuri jalanan lengang bertepikan hutan menuju Tegal
Dowo, saya dan Kampret sama sekali tak paham daerah itu. Sama-sama baru sekali,
mungkin kalau dari Tuban, saya agak paham. Jangan tanya ada google map, belum
usum ketika itu kisanak. Kalau pun toh kami pakai hp, hasil dari kami merantau
itupun Nokia 3315, yang getarannya seperti lindu (gempa) itu.
Memasuki hutan itu, terasa
“tintrim” buatku, dan nampak temaram karena tingginya pohon-pohon jati lima
pelukan orang dewasa, ditambahan jalan aspal asal jadi selebar badan truk,
berkelok-kelok menghindari bukit-bukit
padas mengular, khas hutan jati. Tak ada rumah hampir sepanjang 5 km yang kami
lalui. Saya teringat waktu masih kecil diajak orang bapak ke Randublatung via
Blora, 20 km hutan jati perawan, rumah yang saya temui hanya rumah panggung
khas Polisi Hutan, yang lain sama sekali tidak ada. Keadaan yang saya lewati hampir
sama persis, untunglah saya dan Kampret sudah sempat mampir makan bakso di
pertigaan stasiun Jepon. Jadi kami tidak terlalu kelaparan, walau perut sudah
keluarkan status siaga merah.
“Lul, kok nggak sampai-sampai
ya?” keluh Kampret padaku, merasakan penat di pantat sejak pagi dari Solo
menuju lokasi.
“Sebentar lagi juga sampai,”
hiburku.
“Jangan-jangan petunjuknya Kempul
(Surono) salah, Lul!” serunya agak dongkol.
“Nggaklah!” jawabku. ”Lha ini bener to arahe ke sini”, tambahku memberi penegasan. Kampret nampak tidak puas dengan
jawabku, tapi dia tidak membantah, suasana terasa hening dan “tintrim”.
“Lul, kamu ngrasa nggak, keadaan
terasa makin mistis, sejak kita masuk belok dari pertigaan pos Polisi Hutan
tadi,” ujarnya memecah kesunyian.
”Perasaanku rasanya nggak karuan
sejak masuk melintasi portal tadi.”
“Maksudmu, pertigaan yang ada
palang pemeriksaan dan ada polisi tidurnya itu, Pret?” tanyaku.
“Betul”, sahutnya.
“Memang kayaknya di kasih palang
supaya truk yang nggak ijin nggak boleh masuk,” kataku beralasan agar tidak
terpancing perasaan mistis, meski saya sendiri juga merasakan hal seperti itu.
“Coba Lul, kamu nalar saja, masak
10 km nggak ada rumah sama sekali, hutan terus, pohon jatinya besar-besar nggak
lazim ada di Jawa, kok kayak di Malinau wae, setahuku paling satu dua yang
besar-besar, tapi ini banyak yang besar-besar,” komentar Kampret penasaran.
Tapi saya nggak mau mengiyakan Kampret meski akal merasakan ketidaknalarannya.
“Lha ya wajar to Pret, kita masuk
hutan lindung, hutan larangan sehingga hutannya pasti perawan, lha nggak pernah
dijamah orang, jangan berpikiran aneh-anehlah yang penting sampai!” sergahku
mengusir pikiran aneh dari benakku.
Kata hutan larangan malah
menggelitik pikiranku, jangan-jangan hutan larangan itu maksudnya orang tidak
boleh ke situ, karena tempat itu sudah dihuni sebangsa jin dan makhluk halus
untuk tetap hidup damai seiring dengan perluasan lahan huni dan lahan usaha
manusia seperti pertanian dan lain-lain, mengingat itu saya malah jadi
bergidik, “Nggaklah! Pergi! Pergi!” batinku mengusir ketakutanku.
“Lul, kayaknya kita sudah masuk
areal perkampungan, lha kuwo lihat dah ada ladang dan sawah!” serunya menunjukan
ke kejauhan.
Memang terasa kami sudah keluar
hutan, pohon-pohon tidak lagi banyak, bahkan di sisi yang lain aku sudah
melihat hamparan persawahan yang subur. Selang berapa waktu kami sudah memasuki
perkampungan. Matahari memang sudah turun mendekati peraduannya, hari telah mendekati petang. Beberapa penduduk
menyempatkan keluar rumah menyalakan “uplik” untuk penerangan luar. Rumah-rumah
yang ada sangat sederhana profil rumah pedesaan, rumah “gebyok”, rumah papan
untuk rumah utama dan gapitan “gelam”, kulit jati, untuk bagian belakang. Tampak
teratur, rapi dan bersih. Saya mendekati seorang bapak yang kebetulan melintas.
”Selamat sore pak, maaf ke Gunem
masih jauh tidak?” tanyaku, bapak itu
kelihatan bingung.
“Maaf, Kisanak, saya tidak tahu,
saya tidak pernah meninggalkan kampung ini, tanya saja sama Ki Ageng, maaf saya
duluan ya, rumah Ki Ageng itu yang paling besar, yang ada pendapanya,” sambil
tunjuk arah dengan jempolnya khas orang Jawa. Sebutan Ki Ageng membuat saya dan
Kampret penasaran.
“Kayaknya desa ini terisolir ya
Lul, sampai sebutannya masih menggunakan
istilah lama seperti jaman Kasultanan Jawa jaman dulu,” komentar Kampret.
“Ya mungkin mereka masih terikat
tradisi kayak suku Badui di Banten, atau mirip orang Samin di Klapaduwur,” imbuhku.
Segera, saya geret Kampret menuju ke pendapa Ki Ageng yang tidak terlalu jauh dari
jalan tempat kami bertanya.
“Kulanuwun, kulanuwun!” seruku
dalam bahasa Jawa yang artinya “permisi”.
“Mangga Kisanak!” bersama itu
muncul seorang tua gagah dari dalam rumah sambil tersenyum.
“Njanur gunung, tumben ada tamu
dari kota, sudi mampir ke rumah saya”.
“Mangga lenggah!” katanya.
“Terima kasih Ki,” sahut kami
berdua.
“Ada apa malam-malam ke sini
Kisanak?” tanyanya.
“Begini Ki, kami dari Solo mau ke
Tegal Dowo, Gunem, menurut petunjuk teman kami, kami sudah benar jalurnya, tapi
kok nggak sampai-sampai, mungkin Ki Ageng bisa menunjukan jalan kepada kami,”
jawabku menjelaskan sekaligus bertanya.
Sahut Ki Ageng, ”Kisanak,
sebetulnya Tegal Dowo sudah dekat, tapi ini sudah malam, Kisanak berdua masih
harus melewati satu bagian hutan lagi, saya kuatir Kisanak tersesat, terus
malah tidak bisa sampai ke tujuan.”
“Tapi Ki, kami malam ini harus
sampai, sudah kadung janji dengan teman kami,” kataku.
“Ya Ki, kami harus sampai malam
ini,” imbuh Kampret.
“Wah saya nggak yakin kalau malam
ini bisa sampai kalau diteruskan, hutan ini masih perawan, yang lewat saja
harus ijin perhutani, Kisanak lihat to, pohon-pohonnya besar, saya yang sudah
tinggal lama di sini, menyarankan Kisanak untuk tinggal menginap di sini,
terlalu berbahaya, masih banyak juga binatang liar yang berkeliaran di malam
hari, menginap saja di sini Kisanak, di sini terbuka untuk Kisanak berdua,”
kata Ki Ageng mendesak kami berdua untuk tinggal menginap di situ.
Dalam keadaan bimbang, kami
berdua berembug, tinggal atau tidak. Akhirnya kami mengambil kesepakatan untuk
tinggal, saya lebih senang lanjut saja, tapi Kampret sudah kecapaian selama
perjalanan, ia beralasan toh besok akan sampai juga ke Tegal Dowo, pagi-pagi,
kalau perlu, sudah harus berangkat.
“Bagaimana Kisanak, jadi
menginap?” tanya Ki Ageng.
“Maaf Ki, akhirnya kami terpaksa
merepotkan barang semalam, kalau boleh malam ini kami menginap,” jawab Kampret.
“Baik kalau begitu kita makan
dulu ya Kisanak, belum makan malam to?” ajak Ki Ageng sambil tersenyum. Jawabku
malu-malu, “Belum Ki.”
“Makan sederhana ya Kisanak, Kita
makan singkong rebus ya, maklum petani punyanya ya cuma hasil bumi,” jawab Ki
Ageng ringan.
“Nggak apa-apa Ki kami malah
senang sederhana dari ladang sendiri, tidak perlu beli,” aku menimpali.
“Sebentar ya Kisanak, Nyi!, nyi!
tolong sediakan singkong rebus yang tapi kita rebus! Tamu kita perlu untuk
makan malam,” seru Ki Ageng kepada istrinya.
“Ya Ki, ini sudah saya siapkan,”
terdengar suara merdu dan bening dari dalam rumah. Keluarlah perempuan paruh
baya, masih tampak guratan ke cantikan dalam dirinya, dari warna kulitnya ya
langsat itu, saya hampir yakin Nyi Ageng dari kalangan ningrat. Nyi Ageng
tersenyum melihat kami.
“Ini hasil kebun samping itu
Kisanak, semua alami, tidak pakai pupuk-pupuk buatan pabrik kok.”
“Silakan dinikmati Kisanak
mumpung masih hangat,” Ki Ageng menawarkan singkong rebus.
“Nyaman ya Ki, suasana di sini,
aman, tentram, damai, yang ada hanya suara jengkerik,”ujarku sambil merasakan
hangatnya singkong rebus dan secangkir kopi hangat.
“Yah begitulah Kisanak kalau
tinggal di desa, ini sejuk, karena bulan purnama, cerah, tenang dan angin semilir
menyejukkan,” jawab Ki Ageng.
“Tapi kok nggak ada ya Ki, yang
keluar rumah, jagongan, atau sekedar ngobrol, juga nggak ada suara radio atau
tv?” tanyaku menyelidik. Memang saya rasakan dari tadi kok rasanya sepi-sepi
saja, tidak seperti layaknya dukuh modern, anak berlari-larian atau sekedar
jalan, bahkan nonton tv tidak ada, ini agak membingungkan.
“Di sini tidak ada tv, radio atau
hiburan yang lain Kisanak, paling wayang, itupun yang nanggap orang lain, kalau
hari biasa ya begini ini, sunyi, sepi, mamring,” Ki Ageng menanggapi
pertanyaanku.
“Dari tadi saya juga nggak lihat
ada listrik ya Ki, setahuku hampir 80 persen jawa sudah ada aliran listrik,
tapi di sini kok nggak ada ya.”
“Memang begitulah masyarakat kami
Kisanak,” Ki Ageng menjelaskan.
“Kami memiliki aturan dan budaya
sendiri yang wajib di taati kalau mau selamat.”
Kata “selamat” membuatku agak
bergidik, sepertinya kampung ini punya rahasia sendiri, aturan sendiri yang
harus ditaati.
“Kampung ini ada ketentuan, kalau
tengah malam seluruh kampung harus gelap gulita, semua lampu harus mati, dan
tidak boleh ada tamu, makanya tadi Kisanak, penduduk kampung menyarankan untuk
menghubungi saya, karena kalau terpaksa, hanya saya yang boleh memutuskan tamu
boleh datang atau tidak, berhubung Kisanak tersesat dan sudah malam justru saya
yang minta Kisanak tinggal, sebab di luar kampung ini, saya tidak bisa menjamin
keselamatan Kisanak,” ungkapnya penuh misteri.
“Karena Kisanak bukan penduduk
asli dari sini, Kisanak saya beri tempat khusus, sebab juga kalau Kisanak
berada bersama kami keselamatan Kisanak tidak dapat saya jamin,” tambahnya semakin
misterius.
Saya dan Kampret makin bertambah
takut. Batinku, ”Tadi kalau nggak mampir lebih baik, tapi kalau tersesat ya
tidak tahu lagi, selamat atau tidak.”
“Oleh karena itu, Kisanak nanti
tinggal di atas sana,” Ki Ageng menunjuk ke atas. Saya dan Kampret kaget
setengah mati, karena kami akan tinggal di puncak joglo pendapa, atau orang
jawa sering menyebut “penuwun”.
“Jangan kuatir ya, nanti Kisanak saya sediakan
tangga, di atas juga sudah bersih sudah ada kasur, tadi mata batin saya sudah
merasakan bakal ada tamu, jadi saya sudah bersihkan,” katanya menepis
kekuatiran saya.
“Apapun yang terjadi di bawah
sini, jangan takut, kuatir dan jangan berteriak atau menangis, diam saja, dan
saran saya yang terakhir, nanti waktu mau tidur tolong tangganya ditarik saja
ke atas dan tutup lubang pintu masuk.”
“Ada apa to Ki Ageng kok kayaknya
misterius gitu?” tanyaku.
“Nggak apa-apa, pokoknya tenang
dan lihat sendiri, Kisanak bisa lihat dari sela-sela papan di atas, Kisanak
juga bisa lihat luar lewat sela-sela genting penuwun itu. Pokoknya ini sangat
istmewa untuk Kisanak berdua dan bisa dijadikan pengalaman hidup, yang penting
ikuti nasehat saya, saya sebagai kepala dusun mengijinkan Kisanak berdua
melihat keistimewaan kampung kami, paham?” tegas Ki Ageng penuh penekanan.
“Paham Ki, kami akan lakukan
nasehat Ki Ageng,” jawab kami berdua.
“Nah, ini sudah waktunya naik ke
kamar atas, lampu akan segera saya matikan, ingat apapun yang terjadi jangan
takut rekam baik-baik jadikan suatu pengalaman berharga,” segera Ki Ageng
mengambil tangga bambu dan mempersilakan kami naik ke penuwun. Ki Ageng
membantu membawakan “uplik” untuk penerangan kami sementara.
“Nanti kalau saya mematikan lampu
pendapa uplik ini dimatikan ya”.
Ki Ageng telah turun, tangga juga
saya tarik, Kapret menutup papan kayu tempat kami masuk tadi. Beberapa waktu,
saya lihat beberapa orang keluar rumah, mereka mulai mematikan “uplik”,
demikian juga Ki Ageng mematikan “uplik” pendapa.
“Pret!” bisikku, “Matikan
upliknya!” Kampet beringsut mendekati “uplik” lalu meniupnya.
Gelap gulita, tapi mataku mulai
terbiasa, ditambah lagi ada sinar rembulan menembus di sela-sela genting
penuwun. Aku mulai terbiasa melihat pendapa dari pantulan sinar rembulan yang
purnama itu, aku baru tahu kalau malam ini adalah purnama penuh.
Dari kejuhan saya dengar
gendingan mengalun dengan merdu seolah-olah ada orang punya gawe atau punya
hajatan. Syahdu, menyentuh, mengingatkan saya pada mendiang kakekku yang setiap
malam “ngeloni” radio mendengarkan wayang. Rasanya bulu kuduk meremang, berdiri
merinding. Sepertinya jiwaku merasakan sebuah fenomena lain yang tidak lazim,
ada hawa mistis yang merebak di hatiku, seiring dengan angin malam yang menusuk
kulitku, khas hawa hutan jati yang masih perawan, beriring bau bunga jati yang
mulai berjatuhan diterpa angin malam, sangat khas dan tak terlupakan.
Demikian juga dengan perasaan
Kampret, dia lebih lagi. Bercampur aduk, antara takut, kuatir, merinding dan
tertekan. Ia merasakan bahwa dirinya serasa di alam lain yang penuh misteri.
Tapi semua itu dengan tekan dengan kesah dan tarikan nafas, yang berkali-kali
dia lakukan. Setiap kali ia menarik nafas, terasa bergemuruh di telingaku,
seakan turut merasakan gejolak batinnya.
Dalam kilasan bulan purnama yang
kian sempuran terangnya, menunjukan bahwa waktu hampir tengah malam. Saya lihat
Ki Ageng keluar rumah bersama Nyi Ageng, meski agak remang temaram, saya
melihat jelas dalam sorotan cahaya rembulan. Saya lihat juga para penduduk
kampung mulai keluar rumah bersama istri dan anak-anak mereka. Mereka berkumpul
di tanah lapang yang tak jauh dari pendapa.
Gending Jawa berkumandang makin
jelas meski tak jelas dari mana asalnya, sanubariku terasa teriris seiring
dengan alunan rebab yang mengalun kian meninggi. Terdengar lolongan anjing ajag
atau anjing liar, bersahut-sahutan menambah alunan mistik, terasa mendera
siapapun yang mungkin mendengarnya, saya kira Kamret merasakan hal yang sama
seperti yang saya rasakan, memang sedari naik ke penuwun ia terdiam seribu
bahasa.
Tiba-tiba entah dari mana
datangnya, kabut tipis mulai melingkupi lapangan tempat Ki Ageng dan penduduk
berkumpul, atas pimpinan Ki Ageng semua orang duduk bersimpuh menundukan
kepala. Dengan pelan tapi pasti terjadi perubahan pada gerak tubuh mereka
termasuk Ki Ageng, saya tidak dapat melihat jadi apa mereka dalam perubahan
itu. Terasa semua sarafku menegang karena takut sekaligus takjub, Kampret yang
ikut memperhatikan mulai pelan-pelan menempel di sebelah saya, terasa tubuhnya penuh
keringat dingin. Meski saya takut perubahan itu, tetapi proses itu tetap saya
perhatikan dengan seksama, kabut tipis itu mulai bergerak dari saf ke saf, dari
depan ke belakang meliuk dan melingkupi semua orang. Mata hatiku seakan
dibukakan atas semua fenomena itu.
”Ya Allah, mereka semua jadi
celeng!” seruku dalam hati. Mereka
berubah wujud menjadi babi hutan, yang terdepan, tentu Ki Ageng berubah menjadi
celeng yang hampir sebesar sapi, penduduk desa berubah masih pada ukuran celeng
pada umumnya. Ratusan celeng itu mulai berkeliaran di sekitar kampung, kemudian
mereka bergerak dalam keberapa kelompok menuju ke lain-lain tempat, mungkin
mereka mencari makan atau apalah di dalam hutan. Saya menggigil gemetar melihat
ke anehan itu.
“Pret!” bisikku. “Kamu lihat tadi
khan?” tanyaku dengan gemetar, ku seka peluhku yang yang mulai sebesar butiran
jagung.
“Ya!” sahut Kampret, “Aku mau pingsan rasanya, Lul.”
“Tahan aja Pret, jangan pingsan
dulu, ini sudah tengah malam paling jam 4 pagi sudah normal kok,” hiburku.
Tiba-tiba satu rombongan celeng,
mendekat ke pendapa, “Grok. Grok, grok “ bersahut-sahutan seolah memberi komando,
saya mulai resah suara itu kelihatan amarah, kepala yang bersiung itu mendengus
ke sana kemari, mungkin mereka membaui manusia yang mengancam jiwa mereka.
Nampaknya ada beberapa celeng
yang tahu kami di penuwun. Mereka mulai menabrak berulang ulang hendak
merobohkan empat pilar joglo tempat kami bersembunyi, joglo terasa bergetar
hebat, kami mulai panik, tapi kami mencoba untuk terus berdiam diri.
“Lul, kalau kita mati di sini
bagaimana ya? Matilah aku!” seru Kampret menahan tangis.
“Pasrah aja Pret, baca ayat apa
saja yang kamu ingat, mohon pertolongan Gusti Allah,” nasehatku dengan suara bergetar
juga menahan takut, saya sebetulnya juga plas-plas, rasanya menyesakkan dada
seiring pendapa yang terus bergoyang kian hebat. Dalam keadaan kritis itu,
muncullah Ki Ageng yang sudah menjelma menjadi celeng raksasa, ia menabrak
semua celeng yang brutal tadi. Tak tertandingi kiprah Ki Ageng, semua
kocar-kacir dibuatnya, dan tak ada satupun yang berani mendekat, apalagi
melawan. Mereka tunduk kepada Ki Ageng, mereka segera berlalu dengan suara
parau dan tertunduk pilu.
Nampak dari tubuh Ki Ageng keluar
asap tipis yang berbau harum bunga melati berpadu dengan cendana, asap itu
terus naik menembus atap papan tempat saya dan Kampret bersembunyi dengan
ketakutan, asap itu menghipnotis kami, saya melihat pendapa itu tak lagi sebuah
rumah joglo, tetapi sebuah pohon besar menyerupai beringin dan saya berada di
puncak yang tertopang ranting-ranting, saya mulai takut dan berteriak sekenanya
juga Kampret berteriak ketakutan, dalam ketakutan itu saya limbung tak sadar
diri, saya sudah tak tahu lagi nasib Kampret, yang ada cuma gelap, gelap dan
gelap, dan makin bertambah pekat. Saya merasa dikejar-kejar celeng besar, saya
berlari, terus berlari, sampailah di tepi jurang lalu saya berteriak
sekuat-kuatnya, “Tolong! Tolong! tolong!” Celeng itu tak peduli, saya diterjangnya
sampai masuk ke jurang. Saya menggapai semua yang ada di sekitarku, dan akhirnya..
“Gubrak, glodak....!”
“Mas! Mas! Mas!” seseorang
menggoyang-goyang tubuhku, hidungku membaui minyak kayu putih, saya agak pening,
“Mas, sadar! Sadar! sadar!”
Saya membuka mataku mencoba
menguasai keadaan, selain minyak wangi, saya mencium aroma menyan madu, saya
lihat di sudut ruang ada kepulan asap api arang yang membubung meninggi. Saya
mencoba duduk, seorang lelaki yang sudah ubanan yang tak taksir berusia 70
tahunan dengan iket wulung di kepalanya mendekatiku.
“Nak, minum dulu air putih ini, agar cepat
pulih kesadarannya, mbah jamin 30 menit lagi pasti segar lagi.”
Tiga puluh menit kemudian, benar
juga, saya sudah segar. Saya lihat ada beberapa Polisi Hutan yang
mendampingiku.
“Sudah segar mas?” tanyanya
sopan.
“Ya begitulah pak, sudah, tapi
perasaan saya masih kacau, maaf ya pak, teman saya ada dimana?” tanyaku kuatir.
“Ndak apa-apa mas, dia seperti
mas juga, dia agak shock rupanya, tapi 30 menit lagi pasti pulih, apa lagi Mbah
Narto sudah turun tangan,” kata Polhut itu.
Saya baru tahu, rupanya lelaki
tua tadi bernama Mbah Narto, dari perkataan Polisi tadi berkesan kalau Mbah Narto
seorang paranormal.
“Sini sudah hafal mas, kalau ada
begituan Mbah Narto itu pakarnya,” Polisi itu menambahkan.
“Begituan apa to Pak maksudnya?”
tanyaku mengejar Pak Polisi.
“Nanti saja mas, biar dijelaskan
sama Mbah Narto saja, beliau yang lebih tahu,” tukasnya.
Setelah makan pagi dan minum teh
yang disediakan oleh Polisi Hutan, yang tentu menu seadanya, maklum kami
ternyata sudah berada di rumah jaga Polisi Hutan. Rumah jaga itu berupa rumah
panggung, tempat aparat ini menyiapkan diri patroli atau pelepas lelah saat
mereka pulang patroli.
“Mari duduk sini nak, ngobrol-ngobrol
sama mbah,” Mbah Narto mempersilakan kami duduk di pojok teras sambil menikmati
udara pagi hari.
“Sebenarnya anak berdua, dari
mana dan mau kemana, kok sampai nyasar kemari,” tanya Mbah Narto kalem.
Kampret yang sejak tadi diam
mulai angkat bicara, ”Kami berdua dari Solo mbah, hendak ke rumah teman kami di
Tegal Dowo. Tetapi setelah belok pos jaga yang berpalang ke arah Sumber,
rasanya kok nggak sampai-sampai, sebenarnya kami agak curiga, perasaan kami
sudah tidak nyaman, tapi berhubung sudah gelap kami menginap di rumah Ki Ageng”.
“O begitu ya ceritanya, “ kata
Mbah Narto manggut manggut sambil tersenyum, nampak lelaki tua ini tidak heran,
kemudian ini menambahkan, “Sebenarnya hutan setelah pos jaga itu, memang hutan
lindung atau masyarat mengatakan hutan larangan, tidak ada seorang pun yang
berani lewat di atas pukul lima, Polisi Hutan selepas jam 5 sore lebih banyak
ngepos di sini.”
Beliau menghela nafas meneruskan,
”Dini hari menjelang pagi sekitar pukul 3 pagi, seorang anggota pos yang piket
jaga mendengar jeritan dan ketakutan dari dalam hutan. Dia yakin jeritan itu
pasti manusia walau lamat-lamat terdengar, dia lalu membangunkan komandan
peleton, komandan memerintah 2 orang untuk menjemput mbah, yah rumah mbah
memang tak jauh dari tempat ini, paling 500 meter, secara spiritual mbah hapal
daerah sini.”
Beliau terdiam sejenak lalu
menyerutup seteguk kopi, lanjutnya, ”Pak komandan tidak mau ambil resiko,
karena hal yang sama pernah terjadi sekian tahun silam, semua personil bersiaga
dan merambah hutan, menerobos jalur, kami tahu kemana harus mencari, jadi tak
butuh waktu lama, cuma yang ditakutkan adalah gerombolan celeng yang berjumlah
cukup banyak.”
“Tapi mbah tahu, kalau lokasi itu
adalah kerajaan siluman celeng,” kata Mbah Narto bergetar.
”Lewat Kontak batin, mbah minta
Ki Ageng penguasa kerajaan siluman supaya bisa mengendalikan anak-anaknya, Ki
Ageng juga minta jaminan, tak boleh satupun anak buahnya ada yang terluka,
karena mereka hanya mendengar perintah Ki Ageng, celeng itu tetap celeng ketika
menjadi celeng, nalurinya juga celeng, oleh karena itu hanya kontak dengan Ki
Ageng maka celeng-celeng itu bisa dikendalikan, celeng-celeng itu sesungguhnya
makhluk halus yang pada waktu tertentu menjadi celeng untuk bisa menembus dunia
manusia. Hanya Ki Ageng yang seratus persen nalarnya manusia, meski tubuhnya
celeng pada waktu tertentu atau kalau ia mau menemui manusia.“
“Kami menemukan kalian tersangkut
di pohon beringin, kami temukan, kalian berteriak, mengigau, meronta-ronta
ketakutan terus pingsan, untunglah polhut kita ini membawa berbagai kelengkapan
selain senjata untuk berjaga-jaga, kami berhasil membawa kalian, tapi maaf nak,
motornya baru nanti siang kita upayakan untuk dibawa ke sini, mbah minta kalian
ikut ya, jangan takut mbah nanti akan ikut menyertai,” ujar Mbah Narto.
Siang itu, tampak serombongan
kecil bergerak menyusuri jalan setapak menembus hutan, saya dan Kampret sebetulnya
was-was, tapi sebagaimana janji Mbah Narto, saya yakin, kalau lelaki tua ini
mampu mengatasi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kami tiba di suatu
tempat agak lapang di tengah rimbunan pepohonan, ada satu pohon yang
menakjubkan di lapangan kecil seluas 2
kali lapangan voli. Menurut taksiranku sebesar 8 pelukan orang dewasa, dan di
pojok lapangan itu terparkir manis sepeda motor GL Max kesayangan Kampret.
Kampret geleng-geleng kepala, “
Bagaimana aku bisa naik motor sampai ke sini, jalan rata saja tidak ada?”
katanya heran sekaligus bingung. Ia segera bergerak mendekati motor, tetapi
segera dicegah oleh Mbah Narto.
“Tunggu dulu nak!” seru Mbah
Narto tegas melarang, “Kita mohon ijin dulu dengan Ki Ageng, percaya tidak
percaya, daerah ini adalah kekuasaannya.”
“Mbah mohon bapak-bapak tunggu di
sini dulu!” katanya pada Polisi Hutan, “Mbah dengan anak berdua akan mohon ijin
dulu.”
Mbah Narto memberi kode kepada
kami berdua untuk mengikutinya, pada jarak 5 meter dari pohon besar, kami
segera berhenti langsung duduk bersila. Mbah Narto menyilangkan tangannya di
dada sedekap, sambil komat-kamit, tiba-tiba entah dari mana, tampak
bayang-bayang Ki Ageng berdiri di bawah pohon itu.
“Anakku berdua, aku mengijinkan
kalian mengambil motor itu, tapi ingat, jangan merusak apapun di daerah
kekuasaanku,” kata Ki Ageng berbisik di telingaku seiring dengan terpaan angin
sepoi-sepoi.
”Ingatlah bahwa pengalaman itu
sangat berarti dan mengandung pengertian, meski kamu dan aku berbeda alam, tapi
masing-masing perlu tempat untuk hidup, katakan kepada semua orang bahwa aku
dan kaumku tidak mau diusik, kamu berdua menjadi dutaku untuk menjaganya, agar
kaumku dan manusia dapat hidup dengan nyaman dan damai di tempat masing-masing,
camkan itu.” Perlahan bayangan itu hilang lenyap, seiring dengan menghilangnya
kabut tipis di bawah pohon itu.
Kami terpaksa memikul bergantian
membawa motor ke pos Polisi Hutan, meski lelah tapi pelajaran yang di dapat
amatlah besar. Saya berjanji secara pribadi, berkomitmen untuk ikut terlibat
dalam melestarikan hutan, bukan semata-mata karena pengalaman mistik itu,
tetapi juga karena kesadaran pentingnya hutan sebagai paru-paru lingkungan
hidup.
Masih terdengar di telinga ku,
“Camkan, camkan, camkan!” seiring langkah kami meninggalkan tempat itu. Saya
berdoa mohon petunjuk Yang Kuasa, kiranya pengalaman itu berarti bagiku untuk
membangun hidup ku di kemudian hari, bagaimanapun semua makhluk mempunyai
tempat untuk hidup dengan damai. Semoga!
Bumi Para Nata, Kaliurang,
Ngayogyokarto Hadiningrat, 15052017
Baguus kisahnya entah betul atau tidak tp orang jaman dulu patuh kalau ada hutan larangan. Beda jaman sekarang ga perduli asal tebang aja padahal pohon2 itu juga kita butuhkan buat hidup
BalasHapusEsensi kisah ini adalah mengajak bijak dengan alam. Terlepas dari kisah yang kami alami itu bukanlah penting, sangat subyektif. Maksih mbak rawuhe..
HapusNuwun
ini bener ya kejadianya? maksih
BalasHapusKejadian nyata pak, lokasinya lebih tepatnya di jalur Blora dan Randublatung..
HapusPanjenengam asli Tuban mana mas ?
BalasHapusTuban Kota mas
Hapusmaaf mau ijin,
BalasHapusbolehkah saya membawakan beberapa cerita di aksara untuk saya buat cerita di yutub?
Monggo, meski sebait dua bait harap akarasa disebut. nuwun
HapusKalau menilik cerita bahwa ketika perjalanan setelah makan bakso di jepon, dan cerita waktu belok masuk hutan melewati pos polhut dengan pos polhut saat di temukan, dan lokasi sudah deket dengan tegaldowo gunem, daerah tsb berada di antara jalan hutan gayam sampai irung petruk dukuh sumber wungu, desa tahunan kec sale rembang jawa tengah
BalasHapus