Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Ngarit, mungkin bagi sebagian dari sampeyan-sampeyan semua istilah
tersebut adalah hal yang asing. Malah bisa jadi baru mengenalnya dari tulisan
ini. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi, terutama bagi sampeyan yang lahir dan
besar di kota. Tapi bagi kami, yang lahir dan besar di kampung, ngarit adalah
aktifitas sepulang dari sekolah. Ngarit adalah aktifitas mencari rumput untuk
pakan ternak peliharaan kami di rumah.
Tadi pagi, sepulang dari suatu urusan
di daerah Tajem, pulangnya saya memintas jalan melalui Wedomartani. Selalin
relatif jalannya agak sepi juga lebih dekat untuk sampai rumah. Nah, dalam
perjalanan pulang tersebutlah saya ketemu dengan bapak-bapak yang jatuh membawa
rumput hasil aritannya. Sepertinya kelebihan beban, karena dua karung di kopel
jadi satu hingga bapak-bapak tersebut tidak bisa menguasai kendaraannya.
Sekedar saya bantu memegangi onthelnya, sementara bapak tersebut membetulkan
muatan suketnya (rumput) akhirnya meski sedikit ogel-ogel bapak tersebut
berhasil menguasi onthelnya.
Saya jadi teringat aktifitas masa
kecil saya ini. Guru ngaji saya bilang, konon kata ngarit ini berasal dari
bahasa Arab, yakni dari kata ‘ardhu. Lho kok bisa, bukannya jauh kata ngarit
dar ‘ardhu, begitu kan pertanyaannya?
Begini kisanak penjelasannya, kembali
lagi tentang ngelmu gothak-gathuk mathuk. Didalam aksara Jawa tidak ada huruf ‘ain,
adanya dalam aksara Jawa adalah huruf ‘ngo’. Setelah mengalami akulturasi
pelafalan lidah Jawa dalam melafalkan huruf ‘ain, maka kata ‘ardhu dilafalkan
ngardu. Seperti juga dalam pelafalan nama Asyari menjadi Asngari, salah satu
contohnya. Makna dari ngardu atau ngarit sendiri adalah membumi, mencari rizki
dibumi dan seisinya.
Ngardu atau ngarit terhadap sifat
manusia adalah sifat membumi, yaitu tawadhu’ / rendah hati, selalu bersyukur
terhadap nikmat Gusti Allah dan menjauhkan diri dari sifat sombong, takabur dan
tamak. Makna lain dari ngardu adalah bahwa komponen utama bumi setelah air
adalah tanah, sedangkan manusia berasal dari tanah dan akan kembali pula
menjadi tanah.
Ngarit adalah kegiatan sederhana dan
selalu dianggap pekerjaan sepele dan terhina. Generasi muda kita sudah jarang
yang bersedia menjalankan kegiatan ngarit ini. Memang tidak bisa dipungkiri
lagi perubahan jaman menjadi penyebab utama orang enggan ngarit. Generasi muda
kita merasa gengsi dan minder melakukan kegiatan bernama ngarit.
Padahal, kalau kita graito
(renungkan), filosofi ngarit dalam kehidupan sehari-hari dapat menghasilkan
sifat atau karakter yang tekun, jujur, ulet, rajin, disiplin, hati-hati,
pemberani, pantang menyerah, dan beberapa sifat terpuji lainnya. Karakter itu
terbentuk secara alamiah dari kegiatan ngarit. Apapun aktifitas kita, maka
filosofi ngarit dapat kita adopsi. Filosofi ngarit akan sangat bermanfaat pula
kita terapkan dalam lingkup pekerjaan kita.
Sebelum memulai kegiatan ngarit harus
dipersiapkan dulu peralatannya berupa arit dan wadah. Arit yang akan digunakan
terlebih dahulu harus diasah supaya tajam dengan menggunakan “wungkal”.
Maknanya adalah siapkan mental dan fisik dan utamanya adalah niat sebelum
memulai pekerjaan. Pikiran harus diasah sehingga nanti arah dan tujuan bisa
tercapai dengan sukses.
Setelah peralatan siap maka kita
mengawalinya dengan perjalanan yang kadang mudah, tetapi kadang pula berliku.
Kadang tanpa rintangan, namun terkadang penuh rintangan seperti banjir, dan
lainnya. Semua rintangan seperti panas, hujan, gatal-gatal dan serangan hewan
berbahaya harus kita hadapi. Kemudian kita harus dapat mencari dan menentukan
tempat mana yang sesuai dengan kebutuhan rumput yang akan diambil. Rumput yang
diambil harus sesuai kebutuhan hewan ternak. Rumput tua untuk ternak sapi, dan
rumput umur sedang untuk kambing atau domba.
Perencanaan yang matang adalah kunci
utama keberhasilan. Jika salah dalam perencanaan tentu saja pekerjaan tersebut
akan lama terselesaikan. Kegiatan ngarit membutuhkan kecepatan, ketepatan,
kehati-hatian dan kecermatan. Kita dalam bekerja juga harus menerapkan empat
hal tersebut. Kecepatan dalam bekerja harus diimbangi dengan ketepatan,
kehati-hatian dan kecermatan.
Saat ngarit, waspada terhadap adanya
hewan berbahaya seperti ular, kalajengking, dan ulat. Hati-hati juga dengan
arit yang kita gunakan, sebab bagaimanapun arit yang tajam tersebut bisa
melukai anggota tubuh kita sendiri jika tidak cermat menggunakannya. Pastikan
pula rumput yang kita ambil aman dari pestisida atau obat-obatan lain yang berbahaya.
Inti kegiatan ngarit adalah hasil kita
merumput. Rumput yang dibawa harus bagus dan aman bagi hewan ternak. Rumput
yang dibawa harus dengan takaran yang pas, tidak kurang dan tidak pula
berlebihan. Jika kurang maka dipastikan ternak kita masih lapar karena tidak
cukup, namun jika berlebih itu berarti sia-sia /mubadzir. Jika berlebihan tentu
kita tidak sanggup membawanya akibat beban yang terlalu berat. Apabila
menginginkan stok rumput yang banyak tentu kita bisa “mbaleni” atau “ngunjal”
rumput tersebut.
Memikul atau menyunggi rumput
merupakan tanggungjawab kita setelah selesai ngarit. Dari sini bisa diambil
hikmah bahwa segala sesuatu itu harus sesuai ukuran. Kita harus pintar dalam
mengukur kemampuan diri sehingga pekerjaan yang kita jalani masih sebatas
kemampuan kita. Demikian pula jika pekerjaan tersebut banyak maka kita bisa
lembur agar pekerjaan cepat terselesaikan. Hewan ternak kita haruslah
mendapatkan rumput sesegera mungkin, maka pastikan pulang dengan tepat waktu.
Perlakukan hewan ternak sebagaimana
jika kita menganalogikan hewan ternak tersebut adalah anak dan istri kita.
Hewan ternak harus mendapatkan makanan dan minuman yang cukup. Jangan sampai
terlambat apalagi mampir-mampir saat ngarit. Anak istri kita selalu menunggu di
rumah dengan perasaan was-was terhadap suami dan ayahnya. Mereka menunggu
nafkah kita.
Filosofi ngarit tentu saja selangkah
lebih maju daripada filosofi ngopi. Filosofi ngopi adalah perencanaan atau
pemikiran saja, sedangkan filosofi ngarit adalah tindakan positif nyata.
Filosofi ngopi dibutuhkan sebagai “entertainment” atau refeshing otak yang
penat. Filosofi ngarit adalah “reality show” atau dalam bahasa sinetronnya
adalah kisah nyata. Bedanya, ngopi sering membuat manusia terlena dengan
duniawi, sedangkan ngarit adalah dunawi untuk dunia akhirat. Ngopi dan ngarit
adalah hal penting yang tumbuh di masyarakat. Tradisi kearifan lokal yang
seharusnya terus kita lestarikan keberadaannya. Nuwun.
hehe artikelnya mas ini unik banget, mengangkat kata-kata jawa yang mungkin sekarang banyak orang tidak tahu,
BalasHapus.dulu waktu kecil sering di ajak ngarit orang tua di sawah hehe, jadi nostalgia ini hehe
.jngan lupa back ya kak
yukgas dot id
Loh punya pengalaman seperti itu juga toh, meski hanya ngikut.
HapusUdah kunbal, bagus blognya, ringan, cuma saya mau komentar ga nemu kolomnya..
epi blogging...
Arghhh....Kisanak, dikau mengingatkanku waktu SMA. Usai pulang sekolah, saya ngarit. Bapak punya kambing (wedhus, dalam bahasa Banyumasan) tiga.
BalasHapusAda satu kenangan yang tidak saya lupakan hingga detik ini. Waktu itu disuruh bapak ngarit, tapi saya malah ketiduran di hutan. Sebab, malemnya habis nonton film layar tancep.
Begitu terbangun, ternyata hari hampir petang. Sementara keranjang (raga) beru berisi setengah. Akhirnya, saya mbabad tanaman milik tetangga. Esok paginya saya di sidang. Hehehe...
Tidak dinyana, ternyata jadi orang Jawa banyak filosofinya. Dan terima kasih telah membuat saya mengerti filosofi ngarit.
Salam Kenal, Mas?
Salam kenal balik, Mas. Walah ternyata oh ternyata alumnus pengarit juga toh. Kasus njenengan pernah juga ngalami juga, Mas. Maklumlah, apalagi kalau lagi musim dolanan gasing atau layangan, pinginnya cepat pulang, konsekuensinya kadang ngawur juga, lebeti daun jagung kalau lagi musim. Tentunya kalau ketahuan juga akan di sidang seperti pengalaman njenengan. Begitulah..
HapusOrang Jawa, Mas. Dalam gerak kehidupan yg paling sederhana pun kadang tersirat makna yang ternyata tak lekang oleh jaman. Sama-sama belajar juga, Mas.
Salam kenal dari Jogja..
Nuwun..