Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Miris. Itulah kata yang pas mengenai nasib kata satu
ini, Mistik. Lho memangnya kenapa, begitu kan pertanyaannya? Ahemm… (batuk dulu biar
berkesan sepuh.. hehehehe)
Begini kisanak. Entah sudah
sadar sebelumnya atau mungkin ndak eling, bagi sebagian orang ketika mendengar
kata atau istilah Mistik langsung timbul konotasi negatif? Meskipun bermakna
sama, namun perbedaan bahasa dan istilah yang digunakan, terkadang membuat sebagian
orang dengan mudah terjerumus ke dalam pola pikir yang sempit.
Selama puluhan tahun,
kata-kata mistik dikuya-kuyo (mengalami intimidasi) dari berbagai kalangan
terutama kaum modernism, westernisme dan agamisme. Miris banget nasib kata
mistik ini. Bahkan kaum mistisisme mendapat pencitraan secara negative dari
kalangan kaum tertentu sebagai paham sesat dan sumber kemusrikan. Rasanya pandangan
itu tidak objektif !
Saya rasa penilaian
tersebut sangat tendensius dan lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya
sendiri, dan kepentingan egoisme (keakuan). Penilaian ini juga sarat dengan kontaminasi
pola-pola pikir primordialisme dan fanatisme golongan, diikuti oleh pihak-pihak
tertentu hanya berdasarkan sikap ikut-ikutan, ela-elu, tuturut munding, dengan
tanpa mau memahami arti dan makna istilah mistis yang sesungguhnya.
Khusus pada tulisan
ini, saya ajak sampeyan untuk menggali makna yang sejati dari kata atau istilah
Mistis ini. Hal ini akan menjadi penting agar kita tidak terjebak pada taklit
buta dalam menilai seseorang atau suatu kelompok, dan cara pandang masyarakat
tertentu. Wolak-waliking jaman kisanak, di mana orang salah akan berlagak
selalu benar. Orang bodoh menuduh orang lain yang bodoh. Emas dianggap Loyang
(besi). Besi dikira emas. Burung bangau dianggap dandang (alat menanak nasi). Asli
dianggap palsu, yang palsu dibilang asli. Semua serba salah kaprah,
kacau-balau, chaos, dan hidup penuh dengan kepalsuan-kepalsuan.
Eksistensi Mistik dapat
dipahami sebagai eksistensi tertinggi kesadaran manusia, di mana ragam
perbedaan (kulit) akan lenyap, eksistensi melebur ke dalam kesatuan mutlak hal
ikhwal, nilai universalitas, alam kesejatian hidup, atau ketiadaan. Kesadaran
tertinggi ini terletak di dalam batin atau ruhaniah, mempengaruhi perilaku
batiniah (bawa) seseorang, dan selanjutnya mewarnai pola pikirnya. Atau
sebaliknya, pola pikir telah dijiwai oleh nilai mistisisme yakni eksistensi
kesadaran batin.
Meskipun demikian,
eksistensi Mistik yang sesungguhnya tidaklah berhenti pada perilaku batin
(bawa) saja, lebih utama adalah perilaku jasad (solah). Artinya, mistik
bukanlah sekedar teori namun lebih kearah manifestasi atau mempraktikkan
perilaku batin ke dalam aktivitas hidup sehari-harinya dalam berhubungan dengan
sesama manusa dan makhluk lainnya.
Apakah misalnya ingin
menjadi seorang agamis, yang hanya terpaku pada simbol-simbol agama/ajaran
berupa penampilan fisik, jenis pakaian, cara bicara, bahasa, gerak-gerik, bau
minyak wanginya atau atribut tertentu. Ataukah sebaliknya ingin menjadi seorang
praktisi (penghayat) akan teori-teori tersebut sehingga tidak hanya sekedar
berbicara. Hal iini menjadi hak setiap orang untuk memilih, masing-masing akan
membawa dampak yang berbeda-beda.
Setidaknya ada 5 ciri khas
yang paling lekat dari istilah mistis atau mistikisme ini.
- Mistisisme adalah persoalan praktek.
- Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual.
- Jalan dan metode mistisisme adalah cinta kasih sayang.
- Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata.
- Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.
Jika kita cermati dari
kelima ciri mistikisme di atas dapat ditarik benang merah bahwa mistik berbeda
dengan sikap klenik, gugon tuhon, bodoh, puritan, irasional. Sebaliknya mistik
merupakan tindakan atau perbuatan yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar
dorongan dari budi pekerti luhur atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman
spiritual, yakni sebentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi
antara logika rasio dengan logika batin. Pelaku mistik dapat memahami eksistensi
di luar diri (gaib) sebagai kenyataan yang logis atau masuk akal. Sebab akal
telah mendapat informasi secara runtut, juga memahami rumus-rumus yang terjadi
di alam gaib.
Sebagai contoh saja, kenapa
simpanan uang di Bank tidak ada yang hilang di curi makhluk pesugihan,
contohnya tuyul atau babi negepet? Atau perhiasan emas di toko emas tidak bisa
hilang digondol sejenis jin atau pun siluman pesugihan?
Secara logis-rasional,
makhluk pesugihan yang sering mencuri uang atau perhiasan di rumah-rumah
penduduk seharusnya bisa mencuri uang dan perhiasan di kedua tempat tersebut.
Namun kenyataannya kedua jenis harta kekayaan tersebut tidak bisa dicuri oleh
makluk gaib sejenis pesugihan manapun. Hal ini jarang sekali terfikirkan atau
buat apa dipikirkan. Kurang gawean po!
Agama maupun Ajaran adalah
sebagai sarana menggapai tataran spiritual. Sedangkan spiritual adalah
kesadaran tinggi akan nilai-nilai transenden atau “ketuhanan”. Mistisisme
adalah wujud kesadaran dalam laku perbuatan konkrit. Dengan adanya kesadaran
yang cukup memadai akan bagaimana sesungguhnya yang terjadi di alam gaib hal
itu membuka pola pikir kita sehingga mampu memahami eksistensi kegaiban secara
logis. Hal ini menjadikan para pelaku spiritual memiliki kemantapan tidak hanya
sekedar yakin, tetapi dapat dikatakan bisa menyaksikan sendiri bagaimana ‘rumus-rumus
halus’ akan bekerja, antara pengetahuan spiritual dengan tindakan nyata seiring
seirama. Bagaikan lirik dengan syairnya. Sastra dengan gendhingnya.
Sinergis dan harmonis
antara pengetahuan spiritual dengan perbuatannya tersebut, menjadikan para
pelaku spiritual justru terkesan lebih santun dan memiliki kepakaan yang
tinggi, baik itu kepakaan sosial, solidaritas dan toleransi, kepedulian
lingkungan social dan alam yang sangat mendalam. Perilaku-perilaku yang
menunjukkan sikap arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan ini ketimbang
orang-orang bergaya sok “suci”
(kesadaran simbolik) yang terkadang perilakunya lepas kendali, sewenang-wenang
dan beringas, emosional dan reaksional. Karena merasa diri menjadi sangat kuat
telah menjadi orang yang memegang hak istimewa (privilege) di hadapan Sang
Maha.
Narasi panjang mengenai
makna harfiah tentang mistik dia atas dapat diambil benang merah bahwa “mistik
local” atau kearifab lokal adalah laku spiritual berdasarkan pandangan hidup
atau falsafah hidup Jawa. Karena yang paling utama dalam laku spiritual, adalah
perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun
yang mengaku menghayati falsafah hidup lokal namun perangainya masih mudah terbawa
api emosi, angkara murka, sektarian, dan primordialisme, sejatinya mereka ini
belum memahami secara baik apa itu nilai-nilai dalam falsafah hidup.
Mistik lokal merupakan
bagian dari ribuan mistik yang ada di bumi ini. Setiap masyarakat, bangsa dan
budaya di muka bumi memiliki nilai-nilai tradisi mistik yang dipegang teguh
sebagai pedoman hidup. Sekedar contoh, misalnya mistik Islam, dikenal dengan
tradisi tasawuf, orang-orang yang mendalami disebut orang-orang zuhud, dan para
sufistik. Mistik Budha atau Budhisme, mistik Hindu atau Hinduisme, dan masih
terdapat ratusan bahkan ribuan lagi banyaknya mistik-mistik di dunia ini.
Mistik lebih fleksibel
jika dibandingkan dengan agama/ajaran, sebab mistik tidak mempersoalkan apa
latar belakang ajaran, agama, budaya orang yang ingin menghayati. Hal itu tidak
menimbulkan resiko terjadinya benturan nilai-nilai, karena dalam tradisi mistik
yang sesungguhnya, keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu mengambil sisi
maknawiahnya yang bersifat hakekat atau esensial.
Orang Jawa, Hindu,
Kristen dan Budha, bisa saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula
sebaliknya, umat Islam bisa pula mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja,
kecenderungan kekuasaan akan membuat batasan-batasan tegas kepada para
penghayat mistik dengan mistik itu sendiri. Bahkan sering terjadi penghakiman,
pencitraan secara subyektif, yang berdasarkan kepentingan.
Jangankan terhadap
lintas budaya dan agama, kita ambil contoh sederhana saja misalnya, sebagian
umat Islam melarang sesama umat Islam lainnya masuk ke dalam wilayah mistik
Islam. Pelarangan dilakukan dengan dalih agama pula, sehingga pelarangan
seringkali bekerja secara efektif membelenggu dinamika kesadaran umat, yang
terjadi adalah umat yang terkesan “agamis” tetapi sangat miskin pencapaian
spiritualnya.
Tentang Kearifan Mistik
Lokal
Kepercayaan/ajaran
lokal tentu saja tidak memiliki kitab suci sebagaimana layaknya semua
agama-agama yang ada. Karena bukanlah agama melainkan pandangan hidup yang
sudah turun temurun ribuan tahun, melalui proses asimilasi dan sinkretisme
dengan nilai-nilai agama yang pernah ada di bumi Nusantara. “Kitab Suci” nya
adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meliputi jagad gumelar. Terdiri dari
kehidupan sehari-hari, kesejati di dalam diri, dan apa yang ada di dalam
lingkungan alam sekitarnya. Semua itu disebut sebagai “kitab satra jendra”.
Cara membacanya bukan
dengan ucapan lisan, melainkan dengan perangkat ngelmu titen yang berlangsung
turun-temurun. Membaca “kitab sastra jendra” dengan menggunakan elmu titen,
indera yang digunakan adalah indera keenam (six-sense) atau indera batin.
Keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam mengolah
rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.
Di samping nilai-nilai
kearifan lokal yang adiluhung, menjadikan nilai-nilai “impor” yang dinilai
berkualitas sebagai bahan baku yang dapat diramu dengan nilai kearifan lokal.
Keuntungannya justru terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam
pandangan hidup orang Jawa. Jika di definisikan, mistik Kepercayaan/ajaran
lokal merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi
sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, dan
monotesime hingga saat ini.
Sikap terbuka,
menghargai dan toleransi, serta dasar spiritual cinta kasih sayang membuat
mudah menerima anasir asing yang positif. Nilai-nilai dalam falsafah hidup Jawa
bersifat fleksibel dan selalu berusaha mengolah nilai-nilai kebudayaan asing
yang masuk ke nusantara misalnya Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya.
Yang terjadi bukanlah kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri,
sebaliknya justru mengalami penyempurnaan seiring perjalanan waktu.
Hingga terdapat anekdot,
kalau nilai agama masuk sampai mendarah daging, pandangan hidup Jawa bahkan
mbalung-sungsum sehingga tidak pernah lapuk dan selalu eksis. Tidak hanya pada
usia tua, bahkan masyarakat usia muda banyak pula yang diam-diam menghayati dan
mengakui fleksibilitas dan kedalaman falsafah lokal. Seperti kekuatan
misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan tiba-tiba muncul dengan
sendirinya seperti panggilan darah.
Ritual, yang dilakukan
oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang keagamaan
masyarakat Jawa berbeda-beda, namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana
ritual Jawaisme. Bedanya hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra.
Namun hakekat dari ritual adalah sama saja yakni bertujuan untuk selamatan.
Selamatan adalah tata laku untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri kepada yang Mahasuci. Maka dalam
ritual banyak terdapat ubo rampe, atau syarat-syarat sesaji, di dalamnya banyak
sekali mengandung maksud permohonan doa kepada sang pencipta.
Misalnya pada saat
bulan Ruwah merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan nyadran. Bulan
ruwah tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan
para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan
suci. Dibuatlah ketan, kolak dan kue apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun
pangapunten. Mohon ampunan atas segala kesalahan semasa hidup.
Apem berarti affuwwun,
adalah lambang permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau
ziarah dan gotong royong bersih-bersih serta merawat makam para leluhurnya
sebagai wujud tindakan nyata rasa berbakti dan memuliakan pepundennya yakni
para leluhurnya. Karena bagi masyarakat mistik Jawa, berbakti kepada orang tua,
dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun saat sudah meninggal dunia pun
anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara bersih
desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu
menghargai alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan yang Mahapemurah.
Istilah ritual
seringkali diartikan secara kurang proporsional, dianggap hanya sekedar menjadi
basa-basi tradisi yang irasional. Kadang malah dianggap pula sebagai kegiatan
buang-buang waktu, biaya dan tenaga alias mubazir. Secara ekstrim ritual
dikonotasikan sebagai kegiatan yang melenceng dari kaidah atau norma. Tuduhan
sepihak, karena tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang tidak mampu
memahami apa makna yang sesungguhnya dari mistik dan ritual.
Padahal, ritual adalah
tata laku yang melekat tidak bisa dipisahkan dari setiap agama, ajaran, tradisi
dan budaya manapun di dunia ini. Dalam Budhisme dan Hinduisme, Islam, Yahudi,
Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dll banyak sekali terdapat berbagai ritual
keagamaan. Mulai dari peringatan hari besar keagamaan hingga berbentuk tradisi
agama. Bahkan masyarakat modern, tradisi Barat, masyarakat akademik, masyakarat
medik, semua memiliki ritual-rutual khusus yang dutujukan untuk meraih
kesuksesan termasuk keselamatan.
Dalam masyarakat Jawa
ritual selamatan atau slametan menjadi mainstream penghayatan perilaku mistik.
Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji, mantera, ubo rampe,
syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe sesaji mengandung makna yang dalam.
Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai pakan setan. Bagi
masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan” atau makhluk halus bukan untuk
diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara adil dan bijaksana karena
disadari bahwa mereka semua adalah makhluk ciptaan Tuhan juga.
Manusia lantas tidak
boleh bersikap negatif dan destruktif dengan mentang-mentang, semena-mena,
takabur, arogan atau sombong kepada makhluk halus. Karena sikap negatif itu
hanya akan membuat manusia jatuh pada derajat yang hina. Itulah keluhuran
pandangan hidup manusia yang sering dituduh sebagai masyarakat engan kesadaran
primitif dan tidak masuk akal.
Sesaji merupakan bahasa
yang digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal maupun horisontal.
Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai konsekuensinya harus
menghindari tabiat buruk tong kososong berbunyi nyaring, tetapi enggan
menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka dalam berdoa pun tidak cukup
diucapkan melalui mulut. Rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam
berdoa apabila tidak diwujudkan dalam berbagai simbol yang terdapat dalam
sesaji.
Misalnya; doa yang
beragam hendaknya dilakukan secara tulus, suci, hati yang “putih bersih” tidak
terpolusi nafsu duniawi, dan ditujukan hanya kepada Hyang Widhi atau Yang
Mahatunggal. Maka hal itu diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi putih berbentuk
kerucut, besar di bawah, runcing di bagian atas. Bubur merah dan bubur putih
dalam bancakan weton sebagai lambang ibu dan bapa. Hendaknya anak selalu ingat
pada pengorbanan orang tua sejak ia di dalam kandungan ibu, lalu dilahirkan dan
diasuh hingga dewasa dan mandiri.
Bubur merah silang
bubur putih, merupakan gambaran hubungan ibu dengan bapa diikat dengan tali
cinta kasih yang tulus, sampai membuahkan anak sebagai anugrah buah cinta,
dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni bubur putih ditumpangi parutan kelapa
dan gula merah. Masih banyak lagi contoh yang dapat kita pelajari satu persatu
maknanya secara esensial.
Tentang Ilmu Kesaktian Sejati
Kesimpulan dari semua
itu, merupakan ilmu metafisika yang transenden dan bersifat terapan. Perilaku
mistik merupakan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka mendekatkan diri
kepada Tuhan YME. Mendekatkan diri, atau upaya manunggal jati diri dengan
kehendak Tuhan (sumarah). Sikap sumarah merupakan wujud dari sikap manembah
kepada YME. Sikap manembah inilah yang menjadi pedoman utama dalam menghayati
mistik lokal.
Muara dari perjalanan
spiritual pelaku mistik tersebut, tidak lain untuk menemukan “lautan”
rahmatNya, berupa manunggaling kawula kalawan Gusti, atau sifat roroning
atunggil (dwi tunggal). Eneng ening untuk masuk ke alam sunya ruri. Meraih
nibbana menggapai nirvana, jalan wushul menuju wahdatul wujud. Dengan
pencapaian pamoring kawula-Gusti, akan menciptakan ketenangan batin sekalipun
menghadapai situasi dan kondisi yang sangat gawat. Karena antara manusia
sebagai mahluk dengan “Tuhan” sebagai Sang Pencipta terjadi titik temu yang harmonis.
Batin manusia selalu tersambung dengan getaran energiNya, menjadi dasar atas
segala tindakan yang dilakukannya. Atau diistilahkan sebagai sesotya manjing
embanan, ing batin amengku lair.
Sesotya adalah ungkapan
yang mengandaikan sang pencipta bagaikan permata yang tiada taranya. “Permata”
yang menyatu ke dalam embanan. Embanan sebagai ungkapan dari jasad manusia,
yang “bersemayam” di dalam batin (immanen), melimputi seluruh alam semesta ini.
Jika manusia berhasil manembah, otomatis ia akan menjadi manusia yang sekti
mandraguna. Kesaktian sejati, bukan berasal dari usaha yang instan hanya dengan
rapal wirid semalam suntuk, atau membeli dengan mahar. Namun kesaktian itu
diperoleh seseorang apabila berhasil menghayati sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair.
Seseorang selalu
manembah dalam setiap perbuatannya. Ciri khas orang yang kesaktiannya berkat
manembah (kesaktian sejati) apabila perilaku dan perbuatan sehari-harinya
selalu sinergis dengan sifating Gusti; Welas tanpa alis (kebaikan tanpa pamrih
jasad/nafsu/duniawi), tidak menyakiti hati, tidak mencelakai, dan merugikan
orang lain. Dilakukan dalam kurun waktu lama, tidak angin-anginan atau
plin-plan, dilakukan secara konsisten, teguh, dan penuh ketulusan serta kasih
sayang tanpa pilih kasih. Nuwun.
0 on: "Makna Mistik dan Ilmu Kesaktian Sejati dalam Perspektif Spiritual Jawa"