Kapitayan adalah
keyakinan yang dianut masyarakat kuno Nusantara semenjak era Paleolithikum,
Messolithikum, Neolithikum, Megalithikum, yang berlanjut pada era perunggu dan
besi. Masa ini jauh sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Indus dan kebudayaan
China yang kedatangannya di Nusantara ini pada awal abad masehi.
Penyebar pertama kali
agama kuno Kapitayan ini adalah Dang Hyang Semar, putera Sang Hyang Wungkuham
keturunan Sang Hyang Ismaya. Konon kedatangannya ke Nusantara ini Sang Hyang
Semar disertai oleh adiknya, yakni Sang Hantaga (Togog) akibat banjir besar di
negeri asalnya. Diriwayatkan, Semar kemudian menetap di tanah Jawa dan Togog
menetap di luar Jawa, tepatnya dimana tidak diceritakan. Sementara saudaranya
yang lain, yaitu Sang Hyang Manikmaya, menjadi penguasa alam ghaib kediaman
para leluhurnya yang disebut Ka-Hyang-an.
Agama Kapitayan secara
sederhana dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan
utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa, Kosong, Suwung, atau
Awang-Uwung. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan
dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra. Orang Jawa kuno
mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa” alias
tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Kata Awang-uwung bermakna ada tetapi
tidak ada, tidak ada tetapi ada. Untuk itu, supaya bisa dikenal dan dapat
disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat
Ilahiah yang disebut Tu atau To, yang bermakna “daya gaib“ bersifat adikodrati.
Tu atau To adalah
tunggal dalam Zat. Satu pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang
Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ketidakbaikan. Tu yang
bersifat kebaikan disebut Tu-han yang sering disebut dengan nama Sanghyang
Wenang. Sedang Tu yang bersifat ketidakbaikan disebut dengan nama Sang
Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sanghyang Manikmaya pada
hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu, baik Sanghyang
Tunggal, Sanghyang Wenang, maupun Sanghyang Manikmaya pada dasarnya bersifat
gaib, tidak dapat didekati dengan pancaindra maupun dengan akal pikiran.
Sanghyang Tunggal hanya diketahui sifat-Nya saja.
Oleh karena Sanghyang
Tunggal dengan dua sifat gaib, untuk memujanya dibutuhkan sarana-sarana yang
bisa didekati pancaindra dan alam pikiran manusia. Demikianlah, di dalam ajaran
Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Sanghyang
Taya yang mempribadi, yang disebut Tu atau To itu tersembunyi di dalam segala
sesuatu yang yang memiliki nama berkait dengan kata Tu atau To seperti: wa-Tu
(batu), Tu-gu, Tu-ngkup (bangunan suci), Tu-ban (air terjun), dan lain-lain.
Dalam rangka melakukan
puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan menyediakan sesaji
berupa Tu-mpeng, Tu-mpi (kue dari tepung), Tu-mbu (keranjang persegi dari
anyaman bambu untuk tempat bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk
dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada
segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti Tu-ngkup, Tu-nda,
wa-Tu, Tu-gu, Tu-nggak, Tu-k, Tu-ban, Tu-rumbukan, Tutu-k. Para penganut
Kapitayan yang punya maksud melakukan Tu-ju (tenung) atau keperluan lain yang
mendesak, akan memuja Sanghyang Tunggal dengan persembahan khusus yang disebut
Tu-mbal.
Kalau dalam Islam ada
tingkatan-tinggkatan ibadah seperti Syari’at, Thariqah, Hakikat dan Makrifat,
sedangkan di Kapitayan praktek di atas adalah proses ibadah tingkatan syari’at
yang dilakukan oleh masyarakat awam kepada Sang Hyang Tunggal. Untuk para sufi-
nya Kapitayan, mereka menyembah langsung kepada Sang Hyang Taya dengan
gerakan-gerakan tertentu, mula-mula, sang sufinya Kapitayan yang sembahyang
melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutu-k (lubang ceruk) dengan kedua
tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam Tutu-d (hati).
Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan
didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep (memegang
ke-aku-an diri pribadi).
Proses Tu-lajeg ini
dilakukan dalam tempo yang relatif lama. Setelah Tu-lajeg selesai, sembahyang
dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yang juga
dilakukan dalam tempo yang relatif lama. Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi
Tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki).
Yang terakhir,
dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya). Selama
melakukan Tu-lajeg, Tu-ngkul, Tu-lumpak, dan To-ndhem dalam waktu satu jam
lebih itu, sang sufi Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga
keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang Hampa) yang sudah disemayamkan
di dalam Tutu-d (hati). Sedangkan tempat ibadahnya di sebut Sanggar, yaitu
bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang
kehampaan, kalau kesulitan mbayangke modelnya mungkin agak mirip musholla di
desa-desa pada umumnya.
Seorang hamba pemuja
Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat
positif (Tu-ah) dan yang bersifat negatif (Tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai
Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat.
Mereka itu digelari sebutan: ra-Tu atau dha-Tu. Dalam keyakinan
Kapitayan, para ra-Tu dan dha-Tu yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah,
gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh Pi, yakni kekuatan rahasia Ilahiah
dari Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-Tu atau dha-Tu, menyebut
diri dengan kata ganti diri: Pi-nakahulun.
Jika berbicara disebut
Pi-dato. Jika mendengar disebut Pi-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut
Pi-wulang. Jika memberi petuah disebut Pi-tutur. Jika memberi petunjuk disebut
Pi-tuduh. Jika menghukum disebut Pi-dana. Jika memberi keteguhan disebut
Pi-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut Pi-tapuja yang
lazimnya berupa Pi-nda (kue dari tepung), Pi-nang, Pi-tik, Pi-ndodakakriya
(nasi dan air), Pi-sang.
Jika memancarkan
kekuatan wibawa disebut Pi-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut Pi-tara.
Seorang ra-Tu atau dha-Tu adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya.
Seorang ra-Tu adalah citra Pribadi Sanghyang Tunggal. Itulah sekilas tentang
agama yang dianut masyarakat kuno Nusantara jauh sebelum Hindu, Buddha, Islam,
Kristen dan agama-agama lain masuk ke Nusantara. Nuwun.
Dikutip bebas dari buku
Atlas Walisongo, Agus Sunyoto.
0 on: "Mengenal Kapitayan : Agama Paling Purba di Nusantara"