Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Tak perlu munafik untuk mengakui, kita menjadi orang yang sangat
toleran dengan kata ‘kebetulan’. Ya, hampir semua yang terjadi pada hidup, baik
yang terjadi pada hidup kita maupun kejadian dalam konteks umum yang tanpa direncanakan
selalu dianggap ‘kebetulan’. Memangnya siapa pemilik rencana semua ini?
Kita sering lupa ada ‘sang
pemilik’ rencana hidup kita. Kita ini semua titipan dan pasti ada ‘sutradara’ di
balik kehidupan kita. Sejatinya, hanya logika dan akal manusia yang beranggapan
ada ‘kebetulan’ dalam hidupnya. Kebetulan, apapun bentuknya, sejatinya hanya bahasa
kita, bahasa manusia semata. "Kebetulan" itu kata kita. Karena kita
tidak mampu memahami kesengajaan Gusti Allah. Kebetulan itu bahasa
ketidaksanggupan manusia. Seperti halnya dengan fenomena tanggal 10 November
yang sedang kita bincang ini.
Ada apa dengan tanggal 10
November? Tentu pada tanggal ini ada sebagian dari sampeyan yang merupakan
tanggal lahirnya. Tapi yang jelas, umum kita ketahui bersama, tanggal 10
November kita lebih mengenalnya hari pahlawan. Kita mengamini bersama pada
tanggal tersebut sebagai titimangsa dimana sebagai tanggal keramat sebuah pertempuran
untuk melawan segala bentuk penjahan ataupun invasi asing. Bener demikian? Saya
yakin semua sepakat itu.
Tidak banyak yang tahu, ketika
kita menilik bidal-bidal lama sejarah bangsa ini, ternyata sejarah itu berulang
dan tak hanya pertempuran 10 November 1945 yang kabarnya cukup heroik itu.
Ternyata, sejak jaman dahulu tanggal 10 November terdapat pertempuran-pertempuran
yang penting dalam membela kedaulatan dan kemandirian suatu bangsa. Nah, pada
kesempatan pada ramadhan hari ke 5 ini saya ajak kisanak untuk menelisik
catatan sejarah yang berkaitang dengan tanggal 10 November ini.
Perjalanan sejarah tanggal
keramat ini di mulai pada tanggal 10 November 1032, pada masa pemerintahan Airlangga yang gelar abhisekanya cukup
panjang, yakni Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa. Pada tanggal keramat ini, Airlangga dibantu Patih Mpu
Narotama melakukan pertempuran dengan Raja Wura Wari dari Kerajaan Wuratan
(daerah Blora sekarang), dalihnya adalah untuk membalaskan dendam Wangsa Isyana
yang kesemuanya dibunuh oleh Raja Wura Wuri ketika peristiwa Medang Pralaya, yaitu
peristiwa dimana ketika terjadi pesta pernikahan Airlangga.
Raja Wura-Wuri menyerang kerajaan
Medang Kawulan (daerah Maospati, Magetan sekarang) sehingga semua keluarga kerajaan
terbunuh termasuk mertua Airlangga yang juga Raja Medang Kawulan yaitu
Dharmawangsa Teguh. Namun alasan sebenarnya adalah bahwa Airlangga membenci
keberadaan penguasa asing di Tanah Jawa yaitu Rajendra Coladewa raja
Colamandala dari India yang telah menguasai Sriwijaya pada waktu itu dan
Sriwijaya mempunyai seorang Raja Bawahan juga yang bernama Raja Wura Wuri tersebut.
Dari sikap inilah bahwa Raja
Airlangga memberikan pelajaran bahwa meskipun bangsa sendiri asalkan dia
mempunyai sikap kerdil dengan mengabdi kepada bangsa lain maka harus di tumpas.
Airlangga sangat percaya diri bahwa bangsa ini bisa mandiri dan besar tanpa
campur tangan asing. Meskipun kerajaannya masih kecil namun Airlangga percaya
dengan keterbatasan tersebut ia mampu menjadikan menjadi kerajaan yang di
segani seperti ketika zaman pemerintahan mertuanya.
Kemudian Tanggal 10 November 1293
ketika di perpecahan sungai Kalimas atau sekarang lebih dikenal daerah Jagir
bersumber dari berita Cina, catatan Gao Xing, Kidung Ronggolawe dan Kidung
Harsawijaya. Bahwa Narayana Shang Ramawijaya atau lebih dikenal dengan nama
Raden Wijaya dibantu oleh Panglima Perangnya yang terkenal Ronggolawe membantai
Pasukan Mongol pimpinan Kubhilai Khan sendiri yang bermaksud akan menghukum dan
menaklukan kerajaan Singosari namun ternyata di tanah Jawa sudah terjadi
pergantian kekuasaan.
Pada waktu tersebut siapakah yang
tidak kenal pasukan badai gurun pasir julukan Mongol dimana wilayah
kekuasaannya meliputi Polandia sampai jepang dan daratan Siberia sampai daratan
Indochina di Asia Tenggara. Sepak terjang pasukan Mongol dalam membantai dan
membungihanguskan kerajaan-kerajaan lain sudah masyhur mulai kerajaan Kwarizmi,
Kota Bhukara, Baghdad, Allepo dan Bucharest. Namun prestasi yang sedemikian
gemilang pasukan Mongol dalam pertempuran-pertempuran yang dilakukannya tidak
membuat ciut nyali Pasukan Tanah Jawa.
Dalam pertempuran tersebut
pasukan Raden Wijaya sukses menaklukan Pasukan Mongol yang diperkirakan
berjumlah 300.000 yang diakhir peperangan konon hanya tersisa 75.000 prajutit. Dalam
catatan sejarah dunia disebutkan Kubhilai Khan meninggal Tanggal 18 Februari
1294. Namun sebenarnya Tanggal 18 februari 1294 itu adalah bulan ketika mayat
Khubilai Khan dan sisa pasukannya sampai di negeri Cina. Pasukan Mongol
tidaklah sekuat yang digembar-gemborkan. Tradisi perang Bangsa mongol adalah
infantri, sedangkan Pasukan Jawa selain kuat di pertempuran infantri juga kuat
di pertempuran terbuka, pertempuran gerilya ataupun pertempuran laut.
Sedangkan rujukan dari Pararaton,
data yang di pararaton sudah dimanipulasi (oleh penterjemah yang rata-rata
ilmuwan Belanda) untuk kepentingan penguasa Hindia Belanda. Mereka takut
apabila para pribumi Bangsa Indonesia mengetahui yang sebenarnya tentang
sejarahnya, yaitu kita adalah bangsa yang besar dan berdaulat pada masa dahulu.
Bangsa yang pernah menaklukkan Bangsa besar lainnya yaitu Mongol. Namun
kekalahan perang di tahun 1293 ini tidak membuat bangsa Mongol kapok (patah
arang) untuk kembali menjajah tanah Jawa.
Pada tahun 1321 seorang pengembara
misionaris bernama Odorico da Pordenone mengunjungi Pulau Jawa dan sempat
menyaksikan pemerintahan Jayanagara. Ia mencatat pasukan Mongol kembali datang
untuk menjajah Jawa, namun berhasil dipukul mundur oleh pihak Majapahit. Hal
ini mengulangi kegagalan mereka pada tahun 1293. Namun hubungan antara
Majapahit dengan Mongol kemudian membaik.
Catatan dinasti Yuan menyebutkan
pada tahun 1325 pihak Jawa mengirim duta besar bernama Seng-kia-lie-yulan untuk
misi diplomatik. Tokoh ini diterjemahkan sebagai Adityawarman putra Dara
Jingga, atau sepupu Jayanagara sendiri. Kita sudah sama mengetahui pemerintahan
Jayanegara adalah pemerintahan yang terlemah dalam sejarah Majapahit namun
masih bisa menghajar pasukan super hebat sekelas bangsa Mongol yang sangat
kesohor pada masanya. Ini menggambarkan dalam keadaan terlemahpun bangsa kita
bisa menghajar dan menaklukan bangsa super hebat pada waktu tersebut.
Tanggal 10 November 1828, seorang
pemuda usia 19 panglima perang Pangeran Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa
(1825 – 1830) bernama Sentot Ali Basyah Prawirodirjo menghancurkan benteng
lambang supremasi pasukan tempur Belanda di Plered. Pasukan Belanda yang anti
perang gerilya yang di sebut morsase itu memang hebat. Berbekal pengalaman
pernah melakukan perang Paderi di Tanah Minangkabau namun itu tidak membuat
meraka unggul dalam pertempuran di daerah Plered Yogyakarta.
Padahal pasukan Jawa pimpinan
Pangeran Diponegoro 10 hari sebelumnya kehilangan ulama motivator
kharismatiknya, pembimbing spritualismenya, penasehat perang dan ahli siasat
strateginya yaitu Kyai Maja di tanggal 31 Oktober 1928. Namun kehilangan
sesepuh pasukan tidak membuat pasukan Jawa pimpinan Sentot Ali Basyah
Prawirodirjo tidak oleng, tidak goyah, tetap semangat meneruskan perjuangan bahkan
peristiwa penangkapan sesepuh pasukan bahkan menjadikan suatu semangat dan
peringatan tertentu kepada bangsa asing Belanda bahwa pasukan Jawa belumlah
habis, belum kehilangan arah tujuan perjuangannya.
Strategi cerdik yang dilakukan panglima
belia pasukan Jawa tersebu dapat dikatakan sangatlah brialian sekali. Bagaimana
Sentot Ali Basyah Prawirodirjo melakukan perang psikologis dan intel hingga
salah satu komandan pimpinan pasukan Belanda memihak kepada pihak Pangeran
Diponegoro. Tidak itu saja, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo pun juga membentuk
pasukan sabotase yang sampai bisa masuk ke dalam benteng-benteng Belanda. Tugas
utama pasukan penyusup ini adalah melakukan huru hara yang fungsinya bisa
digunakan untuk menarik perhatian belanda serta memberikan efek kejut Belanda
ataupun untuk menghancurkan gudang logistik Belanda.
Dalam perang Jawa ini di gambarkan
bahwa para pimpinan pasukan Belanda banyak yang melakukan bunuh diri karena
tidak tahan terhadap suasana perang Jawa. Namun hal yang sebaliknya terjadi
pada pasukan diponegoro dan rakyat sekitarnya. Mereka berduyun duyun memberikan
bantuan berupa apapun dan bahkan tidak sedikit yang bergabung dengan pasukan
Diponegoro. Perang yang di dukung semua lapisan masyarakat dan nilai terpenting
adalah bahwa ketika kehilangan sesepuh perjuangan itu tidak serta merta
mengendurkan semangat juang.
Meski pada akhirnya perang
Diponegoro ini di menangi oleh Pihak Belanda dengan siasat tipu muslihat. Namun
jika ditilik dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik pukul mundur dan penghadangan. Suatu perang modern
yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
Perang ini juga komplit juga dengan
taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta
provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam
pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak
saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan
lawannya. Dunia sangat detail mempelajari siasat perang Jawa ini namun sampai
dengan hari ini sedikit anak bangsa yang mau mempelajari detail sisi perang Jawa
ini dan mengambil pelajaran darinya.
Tanggal 10 November 1945 sejarah
pertempuran besar terulang kembali di kota Surabaya, terjadi pertempuran heroik
dari arek-arek Suroboyo denga pasukan sekutu, pasukan yang menang dalam PD II
dan pertempuran ini di kemudian hari diperingati sebagai hari pahlawan. Sekutu
yang saat itu berkuasa setelah Jepang menyerah, datang dengan diboncengi
Belanda dengan tujuan mengambil alih kekuasaan Indonesia yang dianggap wilayah
jajahan Jepang yang secara otomatis dikuasai oleh Sekutu sebagai pemenang
perang. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung
Perak Surabaya dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby.
Kedatangan sekutu ini dan Belanda
di Surabaya mendapatkan respon dari Presiden Soekarno dan kemudian Presiden
Soekarno menyakan tentang perihal tersebut kepada KH Hasyim Asyari dan dengan
tegas KH hasyim Asyari umat Islam jihad fisabilillah untuk NKRI. Pada 23
Oktober, Hasyim Asyari melalui wakilnya Kiai Wahab Chasbullah mendeklarasikan
seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Ada
tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim baik tua dan
muda, miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan
Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut
syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah
belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.
Pada akhir Oktober Brigjen
Mallaby dan pasukannya berada dalam posisi sulit, setiap gerakannya menjadi
pusat perhatian warga yang tampak semakin gelisah. Awalnya, mereka disambut
baik karena bertugas mengungsikan tentara Jepang. Namun keadaan berubah, ketika
warga menyaksikan kotak senjata yang jatuh berantakan di rel kereta api berisi
senjata api yang sebelumnya mengaku bahwa kotak-kotak itu berisi bahan makanan.
Pada 27 Oktober, ketika selebaran
disebarkan dari udara berisi perintah agar rakyat Indonesia segera menyerahkan
senjata apa pun dalam tempo 48 jam segera memicu kemarahan. Pertempuran besar
tak terhindarkan antara 6 ribu pasukan Inggris dengan 120 ribu pemuda Indonesia
yang terdiri dari para santri dan tentara bekas PETA. Akibat kalah jumlah,
Brigjen Mallaby meminta bantuan Jendral Hawthorn agar pihak Indonesia
menghetikan pertempuran. Jendral Hawthorn meminta Soekarno agar mau membujuk
panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran.
Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Muhammad Hatta pun akhirnya datang dari Jakarta untuk berunding dengan
Brigjen Mallaby. Namun tidak lama setelah rombongan Sukarno kembali ke Jakarta,
pada 30 Oktober pukul 17.00, pertempuran kembali berlangsung. Pada waktu
tersebut, Brigjen Mallaby adalah satu-satunya jendral dari pihak sekutu yang
pertama kali mati di medan pertempuran. Sebelumnya tidak pernah ada sejarah
dalam PD II seorang jendral mati di dalam medan pertempuran.
Setelah terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan
ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan
dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah
jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945. Ancaman itu mendapat tantangan yang di
luar dugaan pasukan Inggris. Arek-arek Suoboyo menggelar perjuangan semesta. Para
Ulama, Santri, Buruh kerja, kaum sosialis - komunis dan golongan masyarakat
lainnya bersatu padu untuk melawan ancaman yang dilontarkan pasukan inggris.
Masyarakat ulama-santri
menganggap ini adalah perang jihad fisabillillah dalam mempertahankan Tanah
Air. Masyarakat sosial komunis menganggap bahwa perang ini adalah untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya dari suku Jawa dan Madura
saja yang berperang, namun ada suku Ambon dan Bugis, bahkan mereka bertempur di
garda paling depan yaitu bertempur di arean Tanjung Perak dan sekitarnya.
Perang berlangsung selama 3
minggu, waktu yang jauh perkiraan dari pasukan Inggris yang dengan sombong
mereka akan menaklukan Surabaya dalam waktu 1 hari saja .Meskipun pada akhirnya
Surabaya dapat dikuasai oleh Inggris dan sekutunya setelah di tinggalkan para
pejuang dengan membentuk daerah pertahanan baru di selatan Sidoarjo dan
Mojokerto namun Inggris Kehilangan 2000 orang tentara dan selanjutnya
permasalahan tentang negara Indonesia diserahkan Inggris ke Amerika Serikat.
Pertempuran di Surabaya ini
menimbulkan trauma yang luar biasa bagi Inggris hingga di hari-hari berikutnya
mereka tidak lagi mencampuri urusan proses perjuangan kemerdekaan Republik
Indonesia. Inggris benar-benar tidak pernah menghadapi perjuangan rakyat selama
PD II kecuali perjuangan Arek-Arek Suroboyo dalam mempertahankan kotanya.
Begitu sakralnya tanggal 10
November sebagai tanggal bersejarah sejak zaman dahulu maka sepatutnya sebagai
penerus perjuangan kita bisa mengambil pelajaran dan makna-makna luhur dari proses
pertempuran, peperangan dan perjuangan pendahulu kita. Memperingati hari
Pahlawan 10 November sepatutnya menjadi bahan renungan begitu hebatnya bangsa
Indonesia dalam keadaan – suasana apapun menghadapi mara bahaya ancaman negara
asing dengan rasa optimis mampu menghadapinya di samping strategi, kepercayaan
diri, persatuan yang kokoh, tidak mudah tergantung pada keadaan, kerjasama
menjadikan titik tolak untuk menggapai cita – cita yaitu mewujudkan Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang besar dan mandiri. Bukan malah gontok-gontokan
dengan bangsa sendiri. Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang,
Ngayogyokarto, 31/05/2017
Demian Aditya melakukan tantangan dengan mengkikuti America's Got Talent,
BalasHapus