Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Malam itu, tapi udah lama banget, duapuluhan tahun yang lalu, Abdul
Hamid, tapi kami sering memanggilnya Kamid datang ke rumah sambil membawa
selembar poto Halimah berukuran 3x3. Menatap foto hitam putih berseragam
tersebut, saya jadi teringat dengan wajah artis India, khususnya matanya, entah
siapa namanya. Halimah adalah anaknya seorang Calak (tukang khitan) yang juga
paranormal. Ia laksana mawar mekar penebar wangi. Para kumbang berlomba
memetiknya meski ada duri di sisinya.
“Ambil saja, Ndaa” kata Kamid.
“Foto ini untukku?” tanyaku
heran.
“Ya, sekalian ambil orangnya juga
ndak papa. Sekarang, antara aku dan dia tak ada urusan apa-apa. Putus, tus!”
Orang sekampung tahu, Kamid
adalah putra Pak Ramelan, juragan polowijo yang juga punya penggilingan padi.
Tak ada yang menduga, hubungan cinta Kamid dengan Halimah kandas tanpa alasan jelas.
Rumor yang beredar, Halimah punya pacar baru, seorang pemuda asal desa sebelah.
Namun keluarganya menentang keras hubungan mereka. Gara-gara ketahuan
berkencan, Halimah dicaci dan dihajar habis-habisan oleh bapaknya.
“Atau, mungkin jika kamu yang
memacari, orang tuanya merestui. Kamu kan pemuda alim. Tidak brangasan seperti
aku,” kata Kamid.
Disebut pemuda alim, dadaku
merekah, namun seketika itu pula teringat peribahasa lokal yang dihapal warga
secara turun-temurun yakni Alim Kucing. Ini peribahasa paling pendek yang
pernah kukenal. Biasanya diungkapkan untuk mengutuk seseorang yang suka
memamerkan kesalehan hanya lewat penampilan lahiriyah. Orang demikian disamakan
dengan kucing yang suka tampil manis di depan tuannya, namun giliran tuannya
lengah, seluruh ikan dalam almari disikat habis. Kucing pun pintar menutupi
kebusukannya sendiri dengan menimbun kotorannya.
“Aku mau serius, Ndaaa (ini
panggilan pergaulan, seperti dab atau bro). Tak sekadar cari pacar sementara,
tapi pacar seumur hidup.” sergahku.
“Iya aku tahu. Umurmu makin tua.
Ibumu juga ingin segera menimang cucu.”
“Tapi, Halimah mau sama aku nggak
ya?”
“Jelasnya langsung tembak saja,
entar keduluan orang. Siapa tahu dia jodohmu dunia akhirat.”
“Ehm, gimana ya?”
“Kamu suka gak sama dia.”
“Suka sih, tapi aku tak punya pengalaman
mencolek perempuan.”
“Begitu saja pusing. Kamu kan
jago bikin puisi. Ungkapkan saja perasaanmu lewat puisi. Tulis di kertas yang
wangi, kirim ke dia, beres kan?”
“Ndaa, kamu yakin Halimah belum
punya pacar?”
“Ya embuh. Memang banyak cowok
yang suka dia, tapi yang serius sepertinya belum ada. Menurutku, baiknya sih dekati
saja kelinci cantik itu diterkam musang. Saat ini Halimah butuh penolong.
Cepatlah melangkah, kawan!”
* * *
Malam hari biasanya Halimah nonton
tivi di rumahnya. Tahun 1990-an, belum banyak warga yang punya televisi
berwarna, satu dari beberapa tivi berwarna yang ada di kampung saya salah
satunya di rumahnya Pak Sahlan, bapaknya Halimah. Kampung saya tahun 1990-an
belum banyak disentuh teknologi. Satu-satunya media hiburan paling murah
hanyalah televisi. Dari lusinan kepala keluarga, hanya beberapa gelintir orang
yang punya layar kaca. Satu dari mereka yang rela tv-ya ditonton tetangga yang
setiap sore di taruh di teras adalah Pak Sahlan.
Hampir tiap malam rumah Pak
Sahlan dipenuhi warga, tua maupun muda. Kami rela duduk berdesakan di halaman.
Acara paling disukai saat itu adalah sinetron Siti Nurbaya yang dibintangi
Novia Kolopaking dan Gusti Randa. Sinetron tersebut diadaptasi dari novel karya
Marah Rusli yang terbit pertama pada 1922. Menceritakan jalinan cinta antara
Samsul Bahri dan Siti Nurbaya yang kandas.
Samsul dan Sitti Nurbaya adalah
sepasang remaja teman sekelas, merupakan anak dari bangsawan Sutan Mahmud Syah
dan Baginda Sulaiman. Mereka saling memendam perasaan cinta dan baru mengakui
setelah Samsu hendak ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan pendidikannya.
Sebelum berpisah keduanya berkencan di sebuah perbukitan.Tingkah keduanya
diketahui ayah Nurbaya, maka Samsul dikejar dari Padang dan pergi ke Batavia.
Sementara, Datuk Meringgih, yang
iri atas kekayaan Sulaiman berusaha menjatuhkannya. Kekayaan milik Sulaiman
dilenyapkan oleh anak buah Meringgih hinggaSulaiman terbelit hutang pada
Meringgih. Saat ditagih, Nurbaya yang disodorkan untuk menjadi istri dengan
syarat hutangnya dianggap lunas. Meringgih setuju.
Karena muak dengan sikap
Meringgih yang kasar, Nurbaya berusaha menyusul Samsul ke Batavia dan cinta
keduanya bersemi kembali. Suatu ketika Nurbaya menerima surat dari kampung
halamannya, bahwa ayahnya telah meninggal, Nurbaya pulang ke Padang. Namun
tragis, dia meninggal setelah makan kue yang ternyata telah diberi racun oleh
anak buah Meringgih. Begitu tahu kekasihnya meninggal,Samsu berusaha bunuh diri
di taman umum, namun gagal.
Sepuluh tahun kemudian, Meringgih
memimpin suatu revolusi melawan pemerintah Hindia Belanda sebagai protes atas
kenaikan pajak. Tanpa diduga, Samsul ternyata menjadi prajurit di bawah
pimpinan Belanda dan menyamar dengan nama Letnan Mas. Samsul berhasil membalas
dendam dan membunuh Meringgih, tetapi dia sendiri terluka berat. Setelah
bertemu dengan ayahnya dan memohon maaf, Samsul meninggal.
Cerita itu berhasil mengaduk-aduk
emosi penonton. Mereka hanyut dalam suasana iba dengan nasib Nurbaya dan Samsul.
Sebaliknya, mereka dongkol dengan kelakuan Datuk Meringgih seolah ingin
melenyapkan dan mencincang laki-laki congkak itu.
***
Malam itu, di halaman rumahnya,
kutunjukkan selembar foto di hadapan Halimah. Sontak ia bangkit dari duduknya
dan berusaha merebut dari tanganku. Aku berkelit.
“Dari mana kamu mendapatkan foto
ini?” tanyanya.
“Dari seseorang,” jawabku santai.
“Seseorang siapa? Cepat serahkan
padaku!”
“Pokoknya seseorang.”
“Ayo cepat serahkan!”
“Foto ini akan kusimpan dalam
dompet.”
“Aku tak rela. Kamu tak berhak
menyimpan fotoku.”
“Benarkah kau tak rela?”
“Sungguh! Ayo serahkan padaku!”
Dari kejadian tersebut, aku
berkesimpulan, Halimah bukanlah jodohku. Mungkin dia sudah punya pilihan lain.
Maka foto itu kuserahkan. Sadis! Foto hitam putih itu langsung dirobek-robek di
depanku. Serpihan-serpihannya dibanting ke tanah dan diinjak-injak sendiri.
“Halimah! Kenapa kaurobek-robek?”
tanyaku heran.
“Biarkan...” sahut Halimah tanpa
beban.
Dua pekan setelah kejadian itu,
Halimah tidak muncul lagi.Tersiar kabar, Halimah kena penyakit liver. Beberapa
kali berobat ke dokter, namun penyakitnya makin parah. Suatu sore saya bertemu
Halimah di sebuah pertigaan jalan, sedang membeli bakso Pak Bakir. Pak Bakir adalah
pedagang bakso keliling yang rajin mengunjungi kampung kami. Saya lihat wajah
Halimah pucat, tubuhnya kurus.
“Traktir dong...ah, tidak ding.”
selorohnya padaku. Itulah kalimat terakhir yang saya dengar dari Halimah.
Beberapa hari kemudian tersiar kabar, Halimah meninggal dunia. Lahumul fatihaaah!
Nda nda iki mesti wong kediri, salam kenal yo mas
BalasHapusHahahaaa.. salam kenal balik Mas!
Hapus