Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Jika kita membicarakan Kota Sumedang, paling cepat yang terpikir oleh
kita adalah Tahu. Padahal lebih dari sekedar kota Tahu, Sumedang adalah salah
satu daerah yang terbilang lengkap dalam hal kebudayaan, wisata, dan tepat yang
bersejarah. Nah, pada kesempatan kali ini saya ajak kisanak untuk menjelajah
lebih jauh tapak tilas sejarah kota Sumedang ini.
Berdasarkan tafsir sejarah,
runtuhnya kerajaan Padjadjaran pada abad ke 16 erat kaitannya dengan
perkembangan kerajaan Sumedang Larang ,
Kekuasan Padjadjaran berakhir setelah adanya serangan laskar gabungan dari
kerajaan Banten , Pakungwati, Demak, dan Angke. Pada waktu itu Sumedang Larang
tidak ikut runtuh karena sebagian besar rakyatnya sudah memeluk Islam yang
datang dari arah timur. Makanya, pengampu kerajaan Sumedang Larang kala itu,
yakni Pangeran Kusumadinata (1530-1578) lebih dikenal dengan sebutan Pangeran
Santri.
Namun jauh sebelum masa itu,
kisah Sumedang diceritakan tumbuh sejak seorang resi keturunan Galuh datang
untuk bermukim di pinggiran Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ada
juga yang menyebutkan didaerah Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang
kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja.
Daerah-daerah tersebut telah ada pada abad ke 8, dirintis oleh Cakrabuana.
Konon kabar resi itu bernama Prabu Guru Aji Putih. Ia adalah putra Ratu Komara
keturunan Wretikandayun (Galuh).
Prabu Guru Aji Putih menikah
dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten), yang mendapatkan 4 putra dari
perkawinan tersebut. Pertama atau sulungnya bernama Batara Kusuma atau Batara
Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela. Anak yang kedua
adalah Sakawayana alias Aji Saka, dan yang ketiga adalah Haris Darma. Sementara
yang terakhir atau keempat adalah Jagat Buana atau ada juga yang menyebutnya
Langlang Buana.
Jika kisah ini ditelusuri lebih
lanjut, tentunya masing-masing putra Wretikandayun dalam versi ini memiliki
sejarahnya yang mandiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak asing didengar telinga
masyarakat tatar Sunda yang dikisahkan secara turun temurun melalui cerita
lisan atau cerita pantun. Demikian pula kisah tentang Prabu Guru Aji Putih, didalam
kisah folklor masyarakat Sunda, terutama yang hidup di daerah Parahyangan
sangat meyakini bahwa cikal bakal berdirinya Sumedang Larang tidak dapat
dilepaskan dari kerajaan sebelumnya, yakni Tembong Agung yang didirikan Prabu
Guru Aji Putih.
Berdasarkan catatan sejarah yang
ada (dalam sejarah masyarakat Sumedang), sebelum menjadi Kabupaten Sumedang
telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya :
Pertama, pada mulanya kabupaten
Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya
bernama Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).
Kedua, pada masa pemerintahan
Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tajimalela, Kerajaan
Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedanglarang.
Didalam versi lain dijelaskan, kerajaan
Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu,
yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum keraton
Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan
kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan.
Yang pertama yaitu Kerajaan
Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh
Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu
Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu
Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku
dilahirkan; Aku menerangi.
Nah, kata Sumedang diambil dari
kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang
selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun
Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu
yang tidak ada tandingnya. Sebutan untuk kata Sumedang Larang dapat juga
diartikan sebagai “tanah luas yang jarang bandingnya” (Su=bagus, Medang = luas
dan Larang = jarang bandingannya).
Kemudian versi lainnya, Kerajaan Sumedang
Larang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di gunung Tembong
Agung, menurut Carita Parahyangan disebut Mandala Himbar Buana, sedangkan
Tajimalela disebut Panji Rohmayang putera Demung Tabela Panji Ronajaya dari
daerah Singapura. Sementara didalam versi lain lagi, Prabu Guru Aji Putih
dianggap pendiri dan penguasa Tembong Agung, yang merupakan cikal bakal dari
Sumedang Larang.
Barangkali juga kesejarahan
Sumedang pada masa lalu tidak sedemikian dikenal sebagai mana masyarakat
mengenal sejarah Sunda dan Galuh, karena kedua kerajaan tersebut dianggap
sebagai sentra kekuasaan dan budaya Urang Sunda, atau karena Sumedang Larang
statusnya sama dengan Talaga, kerajaan daerah yang tumbuh secara mandiri namun
berada dibawah Galuh.
Tentang gelar yang Prabu Guru Aji
Putih, tentunya menarik untuk ditelusuri lebih jauh tentang siapa Prabu Guru
Aji Putih tersebut, mengingat istilah – gelar lengkap yang diberikan adalah
Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang).
Sebutan Haji didepan Aji tidak
pula disalahkan jika ditafsirkan bahwa Prabu Guru Aji Putih telah memeluk agama
Islam (Haji), bahkan disebut Aji Purwa Sumedang. Padahal secara resmi Islam
menjadi ageman penguasa Sumedang sejak tahun 1529 M, pasca Praburesi Tajimalela.
Hal ini mengingatkan pada sebutan yang diberikan kepada Bratalegawa, salah
seorang putra Sang Bunisora (Sunda – Galuh). Ia mendapat gelar Haji Purwa
Galuh, karena dianggap sebagai Haji pertama dari Galuh.
Memang ada kaitannya gelar yang
menggunakan Sumedang dengan para penguasa yang berasal dari luar Sumedang,
seperti Mangkubumi Sumedang Larang, diberikan kepada Ki Gedeng Sindangkasih,
putra dari Niskala Wastukencana penguasa Sunda Galuh, mengingat Sumedang berada
di bawah Galuh. Kemudian ditemukan pula gelar Ki Gedeng Sumedang yang diberikan
kepada Pangeran Santri (rintisan masa silam sejarah Jawa Barat). Namun kedua
tokoh ini tidak ditemukan adanya data yang menyebutkan bahwa mereka pendiri
dari Sumedang Larang.
Sebagai perbandingan masa,
terlacak pula Praburesi Tajimalela diperkirakan memerintah pada tahun 1300 an
(koropak 410), sedangkan Mangkubumi maupun Ki Gedeng Sumedang eksistensi nya
disebut-sebut pada tahun 1500 an.
Pertanyaan kedua, apakah yang
dimaksudkan Prabu Galuh Haji Aji Putih (Aji Purwa Sumedang) orangnya sama
dengan Haji Purwa Galuh (Galuh), mengingat versi ini menambahkan nama Galuh,
yakni Prabu Galuh Hadji Adji Putih. Sekalipun demikian, para pemerhati sejarah
pada umumnya sepakat, pada masa Prabu Guru Aji Putih, Sumedang memang masih
berada dibawah protektorat Galuh dan belum ada pengaruh Islam didalam
pemerintahannya. Pengaruh Islam mulai merebak ketika Galuh telah dikalahkan di
Talaga oleh Cirebon, masa Susuhunan Jati. Sedangkan penguasa Sumedang pertama
yang beragama Islam adalah Pangeran Santri suami dari Setyasih – Pucuk Umum
Sumedang.
Dari masing-masing versi sejarah
yang dikisahkan diatas tentu pula tidak terlalu salah jika ada dua penafsiran
tentang pendiri dari Sumedang Larang, yakni Prabu Galuh Haji Aji Putih disatu
pihak dan Prabu Tajimalela dipihak lain. Mungkin akan sama dengan ambiguitas
dalam menetapkan hari jadi Cirebon, apakah sejak masa Pangeran Walangsungsang
mendirikan daerah Cirebon Larang atau ketika Syarif Hidayatullah menyatakan
Cirebon sebagai Kesultanan yang merdeka dan melepaskan diri dari Pajajaran.
Kedua tokoh tersebut terwadahi melalui penetapan hari jadi yang berbeda antara
pemerintahan kota dan kabupaten.
Terhadap penetapan pendiri
Sumedang Larang setidaknya perlu juga ditarik garis yang tidak menyalahi
kesejatian dari sejarahnya. Pertama, keberadaan Sumedang Larang tidak dapat
dipisahkan dari pendahulunya yang telah dirintis oleh Prabu Guru Aji Putih di
Tembong Agung, kemudian berganti nama menjadi Himbar Buana. Kedua, istilah Sumedang
Larang tidak dapat dipisahkan dari kisah Tajimalela yang mengucapkan kalimat
“Insun Medal, Insun Madang”, sehingga menjadi kata Sumedang. Tajimalela dikenal
pula sebagai cikal bakal yang melahirkan spirit Kasumedangan. Dengan demikian,
jika dilihat dari sejarah eksistensi Sumedang telah dirintis sejak jaman Prabu
Guru Aji Putih, sedangkan sebutan kata Sumedang Larang berawal dari jaman
Praburesi Tajimalela. Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang,
Ngayogyokarto Hadiningrat, 14/05/2017
0 on: "Selayang Pandang Sejarah Sumedang Larang"