Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Sultan Hamengkubuwono II (selanjutnya saya tulis HB II) atau terkenal
juga dengan nama lainnya, yakni Sultan Sepuh. Sultan Sepuh adalah putra ke 3
dari Sultan Hamengku Buwono I (lahir tahun 1750), dalam sejarah perjuangan
Bangsa memang terkenal sebagai salah seorang Sultan yang berani melawan
Belanda. Ia memerintah Kasultanan Yogyakarta mulai tahun 1792 dan kemudian
ditangkap oleh Daendels pada tahun 1810. Pada 1811 dikembalikan ke tahta
Ngayogyakarta, tetapi baru satu tahun, 1812 Sultan HB II ditangkap dan dibuang
ke Pulau Pinang oleh Raffles, bahkan kemudian dipindahkan ke Ternate selama 14
tahun.
Pada tahun 1826 dikembalikan ke Jawa
dan diangkat lagi dengan suatu upacara besar – besaran di Istana Bogor, namun
hal ini sebenarnya hanya siasat Belanda agar Sultan Sepoeh mau menghentikan
pemberontakan Pangeran Diponegoro (kemenakannya = Putra SPKS HB III), namun
beliau tidak bersedia. Sri paduka kanjeng Sultan Hamengku Buwono akhirnya wafat
pada tahun 1828 dalam usia 78 tahun dan disemayamkan di Makam Agung Pasargede
(Kota Gede)
Selain hal tersebut di atas, Sultan HB
II dikenal juga ‘Raja Pembangun Pesanggrahan’. Bahkan sebelum jumeneng nata,
tepatnya saat masih sebagai putra mahkota atau adipati anom ia sudah memulai
membangun pesanggrahan, beberapa diantaranya yaitu; Pesanggrahan Rejawinangun,
Purwareja, Pelem Sewu, dan Reja Kusuma.
Pesanggrahan Rejawinangun terletak di
dekat Sungai Gajah Wong atau sekitar Kebun Binatang Gembira Loka sekarang,
tapak pesanggrahan tersebut saat ini menjadi nama sebuah kampung, yaitu Kampung
Rejawinangun. Sebagaimana disebutkan Gubernur Jan Greeve, dalam kunjungannya ke
Pesanggrahan Rejawinangun pada 13 Agustus 1788, bahwa pesanggrahan tersebut
disamping sebagai tempat pesiar juga untuk tempat latihan prajurit putri Langen
Kusumo bentukan Putra Mahkota. Saat ini tinggalan yang masih tersisa, yaitu di
sisi barat sungai di daerah kampung Warung Bata. Berupa kolam dan beberapa
bangunan gedong, benteng pesanggrahan di dekat SD di kampung Peleman dan
Tinalan, dan patung manuk beri.
Demikian juga Pesanggrahan Rejakusuma
pada perkembangannya menjadi beberapa nama kampung atau dusun, antara lain, Dusun
Rejakusuman, Sokowaten, Segaran, Umbul, dan Tamanan. Tinggalan yang masih ada
yaitu Gedong Temanten dan beberapa reruntuhan gedong, serta struktur pagar di
persawahan. Letak pesanggrahan tersebut di tenggara kota, yaitu antara Sungai
Code dan Gajah Wong, Desa Tamanan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Selanjutnya, setelah jumeneng nata
atau menjadi menjadi raja antara 1792 – 1810, HB II membangun banyak
pesanggrahan lagi di sekeliling khutagara dan negara agung, sebut saja diantaranya,
yaitu ;
Sanapakis dan Tlogo Ji, Ambar Ketawang
(barat kota); Gua Seluman, Pengawat Reja, Wana Catur, Cendhanasari dan
Tanjungtirta (sekitar Lapangan terbang
Adisutjipto dan kawasan Kecamatan Banguntapan, Bantul sekarang); Pelem Sewu
(sekitar Jetis); Tegal Yasa, Kuwarasan, dan Demak Ijo (barat laut kota sebelah
timur Sungai Bedog); Madya Ketawang, Bantul Karang Kepek, dan Toyatemumpang
Kanigoro, dan Indrakila (selatan dan barat daya kota); Kudur Brubuh Kadisana (sekarang
daerah Berbah, Sleman).
Serta beberapa pesanggrahan yang perlu
dilacak keberadaan dan keletakannya, antara lain, Alas Jeruk Legi, Alas Prapti,
Redi Cemara, Gunung Prau, Sukarini, Banyak Sak, Preh Binatur, dan Tegal Pengawe
(Seret Rerenggan Kraton, 1981, Babad Mangkubumi, 1981, Punika Pemut Yasan Dalem
Kelangenan, 1830, dan 200 tahun Kota Yogyakarta, 1956).
Pesanggrahan-pesanggrahan tersebut
sebagian besar sudah sulit dikenali secara utuh, yaitu tinggal reruntuhan
gugusan bangunan, sebagian menjadi toponimi kampung atau desa, dan ada yang
hilang sama sekali. Hal ini tentunya menantang siapa saja yang concern untuk
menggali dan melakukan eksplorasi serta pendokumentasian pusaka budaya
tersebut.
Perselisihan antara HB II dengan
Susuhunan Surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels
memaksa Hamengkubuwono II turun tahta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya
bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828, yaitu akhir 1811 ketika
Inggris menginjakkan kaki di Jawa sampai pertengahan 1812 ketika tentara
Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan
Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan
Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnya Sri Sultan Hamengku Buwono
II.
Saat menjadi putra mahota misalnya, ia
mengusulkan untuk dibangun benteng ktraton untuk menahan seragan tentara
inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang
kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon.Sultan HB II
adalah raja di Kesultanan Yogyakarta yang memerintah antara tahun 1792 dan
1828. Ada dua fenomena menarik dari pribadi sultan pada saat berkuasa.
Pertama adalah masa pemerintahannya
yang ditandai dengan pergolakan politik yang belum pernah terjadi di Jawa pada
periode sebelumnya. Pada periode tersebut, Jawa menjadi bagian dari perubahan
besar yang berlangsung sebagai konsekuensi konstelasi politik di Eropa. Hal ini
ditandai dengan terjadinya perubahan empat kali rezim kolonial dalam kurun
waktu kurang dari setengah abad, yaitu dari VOC, Prancis, Inggris dan Belanda.
Perubahan rezim yang juga menimbulkan
pergantian kebijakan kolonial ini mengakibatkan terjadinya instabilitas politik
dari penguasa kolonial khususnya tindakan pemerintah kolonial terhadap
raja-raja pribumi. Kondisi ini meningkatkan eskalasi konflik yang cukup tajam
antara penguasa kolonial dan penguasa Jawa.
Fenomena kedua adalah pribadi Sultan HB
II yang cukup kontroversial. Sejauh ini berbagai sumber data yang ditinggalkan
oleh para penguasa kolonial memuat laporan dan gambaran negatif terhadap raja
Jawa ini. Sultan HB II digambarkan sebagai seorang raja yang keras kepala,
tidak mengenal kompromi, kejam termasuk terhadap kerabatnya sendiri, dan tidak
bisa dipercaya. Informasi yang terkandung di dalam data kolonial tersebut masih
mendominasi historiografi baik yang ditulis oleh sejarawan asing maupun
sejarawan lokal. Hal ini menimbulkan daya tarik tersendiri sebagai bahan kajian
dalam penelitian sejarah khususnya yang menempatkan para tokoh atau penguasa
pribumi sebagai fokusnya.
Kredibilitas informasi yang dimuat
dalam data kolonial tentang Sultan HB II perlu dikritisi terutama lewat studi
komparasi dengan sumber-sumber yang diperoleh dari naskah lokal yang sezaman
(Jawa). Dari hasil perbandingan tersebut dapat diketahui bagaimana pribadi
Sultan HB II yang sebenarnya dan peristiwa penting apa yang terjadi selama masa
pemerintahannya. Di samping itu juga bisa diungkapkan karya apa yang
diwariskannya dan motivasi apa yang mendasarinya.
Sebelum Menjadi Raja
Sultan HB II dilahirkan pada hari
Sabtu Legi tanggal 7 Maret 1750 di lereng gunung Sindoro, daerah Kedu Utara.
Ketika lahir, Sultan HB II diberi nama Raden Mas (RM) Sundoro. Nama ini
diberikan sesuai dengan nama tempat kelahirannya yang berada di lereng gunung
Sindoro. RM Sundoro adalah putra Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi
raja pertama di Kesultanan yogyakarta pada tahun 1755 dengan gelar Sultan
Hamengku Buwono I.
Meskipun berstatus sebagai putra raja,
masa kecil RM Sundoro tidak dialaminya dengan penuh fasilitas dan kebahagiaan
layaknya seorang pangeran. Pada saat dilahirkan, ayahnya sedang bergerilya
untuk melawan VOC dan Kerajaan Mataram, di bawah Sunan Paku Buwono III. Medan
perang Mangkubumi yang terbentang dari Kedu di utara sampai pesisir selatan dan
dari Banyumas di barat hingga Madiun di timur membuat RM Sundoro hampir tidak
pernah bertemu dengan ayahnya.
Sejak lahir hingga usia lima tahun, RM
Sundoro diasuh oleh ibunya, Kanjeng Ratu Kadipaten, permaisuri kedua Pangeran
Mangkubumi. Ketika perjuangan Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya
Perjanjian Giyanti tanggal 13 Pebruari 1755, Kerajaan Mataram dibagi menjadi
dua (palihan nagari). Sebagian kerajaan ini tetap dikuasai oleh Sunan Paku
Buwono III yang bertahta di Surakarta, dan sebagian lagi diperintah oleh
Mangkubumi yang menjadi raja baru. Kerajaan yang baru diberi nama Kesultanan
Yogyakarta dan Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja pertama yang bergelar
Sultan Hamengku Buwono I.
Setelah peristiwa palihan nagari ini,
Sultan HB I membangun kompleks kraton baru di Yogyakarta dan membawa seluruh
keluarganya ke kraton, termasuk GKR Kadipaten bersama putranya RM Sundoro.
Sejak saat itu, RM Sundoro mulai tinggal di kraton dengan status sebagai
seorang putra raja. Kecintaan dan kepercayaan Sultan HB I terhadap RM Sundoro
mulai tampak sejak mereka tinggal bersama. Ini terbukti dengan keinginan Sultan
HB I menunjuk RM Sundoro sebagai putra mahkota pada saat ia dikhitan pada tahun
1758.
Sultan HB I mengetahui sifat putranya
yang memiliki kekerasan jiwa sebagai akibat dari pengalaman hidupnya di wilayah
pengungsian. Pengalaman hidup inilah yang membentuk watak RM Sundoro yang kelak
dianggap sebagai pribadi yang keras dan tegas dalam pengambilan keputusan.
Meskipun ada beberapa orang calon lain, khususnya dari permaisuri pertama GKR
Kencono yang berputra dua orang, Sultan HB I tetap memilih RM Sundoro sebagai
putra mahkota. Keyakinan ini semakin kuat ketika dua putra dari GKR Kencono
dianggap tidak memenuhi syarat sebagai putra mahkota.
Setelah Sundoro mulai tumbuh dewasa,
Sultan HB I mulai berpikir tentang calon pendamping hidup RM Sundoro khususnya
yang akan memperoleh status sebagai permaisuri. Sebagai seorang putra raja, RM
Sundoro hendaknya berdampingan dengan seorang wanita yang juga keturunan raja.
Untuk itu Sultan HB I berniat menjodohkan putranya dengan putri Sunan PB III.
Ketika RM Sundoro berkunjung ke kraton Surakarta, tahun 1763 dan 1765, Sundoro
disambut langsung oleh Sunan PB III.
Harapan yang ada dari kedua orang raja
Jawa itu adalah bahwa dengan ikatan perkawinan ini, ketegangan politik yang
selama ini terjadi antara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akan
berkurang. Akan tetapi, usaha tersebut gagal akibat adanya campur tangan
Pangeran Adipati Mangkunegoro I yang juga menginginkan putri yang sama.
Akibatnya RM Sundoro tidak berhasil mempersunting putri PB III. Kejadian ini
membuat hubungan kedua raja Jawa ini menjadi renggang.
Faktor lain yang memicu ketegangan
antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta adalah sengketa perbatasan
daerah. Sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti, pembagian daerah antar kedua
kerajaan itu tidak didasarkan pada batas-batas alam melainkan didasarkan atas
elit setempat yang berkuasa. Pembagian wilayah ditentukan oleh adanya ikatan
kekerabatan dan hubungan darat antara setiap penguasa daerah dan masing-masing
raja. Akibatnya, pembagian wilayah milik Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan
Surakarta tidak ditentukan oleh batas yang jelas tetapi letaknya tumpang
tindih.
Hal ini sering mengakibatkan
terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat bawah yang memicu konflik
vertikal antarsesama penguasa daerah. Proses ini berlangsung hampir dua puluh
tahun lamanya dan baru berakhir dengan perjanjian yang difasilitasi oleh
Gubernur VOC van den Burgh tanggal 26 April 1774 di Semarang. Dalam perjanjian
ini batas wilayah masing-masing raja Jawa dipertegas dan diatur kembali dengan
tujuan agar konflik tersebut tidak terjadi lagi.
RM Sundoro mulai menyadari bahwa baik
dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755 maupun Perjanjian Semarang tahun 1774,
kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Sebaliknya, wilayah VOC
menjadi semakin luas. Perluasan wilayah dan kekuasaan VOC ini berlangsung
seiring dengan meningkatnya intervensi VOC dalam kehidupan kraton raja-raja
Jawa. Dengan adanya pembagian wilayah baru, VOC memperoleh kesempatan semakin
besar untuk melakukan eksploitasi ekonomi yang berbentuk pemborongan
sumber-sumber pendapatan raja-raja Jawa seperti tol, pasar, sarang burung,
penambangan perahu, pelabuhan laut dan penjualan candu (yang dimaksudkan
sebagai tol adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh orang yang akan
melewati wilayah atau jembatan tertentu. Tol ini biasanya diborongkan kepada
pihak ketiga).
Tekanan ekonomi dan politik VOC
semakin intensif ketika kondisi fisik raja-raja Jawa baik Sultan HB I maupun
Sunan PB III semakin merosot setelah tahun 1780. Hal tersebut menumbuhkan
kebencian RM Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing pada umumnya. Sultan
HB I menyadari hal ini dan mengetahui bahwa RM Sundoro adalah putra yang
diharapkan mampu mempertahankan kewibawaan dan menjaga keutuhan wilayah
Kesultanan Yogyakarta dari ancaman dan rongrongan pihak asing. Pandangan ini
memperkuat tekad Sultan HB I untuk mengukuhkan status Sundoro.
Sebagai Putra Mahkota
Meskipun ada penentangan dari para
pejabat VOC yang sudah menyadari sikapnya, Sultan HB I tetap menjadikan RM
Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785. Dengan statusnya yang
baru, RM Sundoro memiliki wewenang yang lebih besar. Hampir semua tindakan yang
berhubungan dengan Kesultanan Yogyakarta disetujui oleh ayahnya.
Setelah diangkat menjadi putra
mahkota, langkah pertama yang diambilnya adalah melindungi kraton Yogyakarta
terhadap ancaman VOC. Ia menyadari bahwa ancaman VOC semakin besar dengan
pembangunan benteng Rustenburg oleh Komisaris Nicolaas Harstink pada tahun
1765, yang sebagian materialnya dibebankan kepada Sultan HB I. Ia berusaha
mencegah agar benteng Rustenburg tidak terwujud. Dengan segala upaya ia
berhasil menghambat pembangunan benteng itu. Akibatnya, hingga tahun 1785,
bangunan benteng itu belum juga selesai.
Ketika Johannes Siberg datang ke
kraton Yogyakarta dalam acara pelantikan RM Sundoro sebagai putra mahkota,
Siberg mengingatkan kepada Sultan HB I tentang kewajibannya membantu
pembangunan benteng itu. Desakan Siberg membuat RM Sundoro menghentikan
aktivitasnya. Meskipun setelah peristiwa itu pembangunan benteng dapat
diselesaikan, RM Sundoro tidak menghentikan aktivitasnya melawan VOC. Ia
meminta izin ayahnya untuk memperkuat pertahanan kraton Yogyakarta sebagai
perimbangan kekuatan menghadapi benteng VOC yang berada di depan kraton.
Setelah memperoleh izin dari ayahnya,
RM Sundoro memerintahkan pembangunan tembok baluwarti yang mengelilingi
alun-alun baik utara maupun selatan kraton Yogyakarta. Di bagian depan bangunan
ini diperkuat dengan pemasangan 13 buah meriam. Senjata ini diarahkan ke depan
menghadap benteng Rustenburg. Pembangunan yang dimulai pada tahun 1785 itu
terus berlangsung hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan HB II.
Kebijakan Politik dan Konflik
Pada saat yang hampir bersamaan dengan
memuncaknya ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC pada akhir tahun
1780-an, di Surakarta terjadi pergantian tahta. Sunan PB III wafat pada tanggal
26 September 1788. Tiga hari kemudian putra mahkota RM. Subadyo diangkat
menjadi Sunan PB IV. Sifat-sifat Sunan PB IV yang juga diketahui anti-Belanda
telah mengalihkan perhatian Jan Greeve sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa
(Noord-ootkust) dan Andries Hartsink sebagai Komisaris Kraton Jawa dari
Yogyakarta ke Surakarta. Hal ini dilakukan setelah terbongkarnya rencana
konspirasi Sunan PB IV (6 ANRI, surat Siberg kepada Sultan HB I tanggal 10
Pebruari 1785, bundel Semarang ) dengan para penasehat santrinya untuk membunuh
orang-orang Belanda di Kesunanan Surakarta pada bulan September 1790.
Peristiwa tersebut tidak hanya
mengakibatkan pengawasan yang semakin ketat terhadap Kesunanan Surakarta,
tetapi juga memulihkan hubungan baik antara Kesultanan Yogyakarta dan
Mangkunegaran. Membaiknya hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dan
Mangkunegaran ini disebabkan oleh permintaan bantuan VOC kepada mereka untuk
menghadapi Sunan PB IV. Bersama-sama dengan VOC keduanya menemukan kesempatan
untuk saling bekerja sama.
Kondisi seperti ini tidak berlangsung
lama. Sunan PB IV bersedia menghentikan rencananya dan menyerahkan tujuh orang
santri penasehatnya kepada Hartsink bulan Oktober 1790. Ketenangan di kraton
Jawa kembali terusik, ketika Sultan HB I wafat pada tanggal 24 Maret 1792.
Perhatian para pejabat VOC kembali beralih ke Yogyakarta. Sesuai tradisi dan
kesepakatan yang dibuat dengan VOC, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Pieter
Gerard van Overstraten
Mengukuhkan RM Sundoro dan melantiknya
sebagai Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792.Sejak itu masa
pemerintahan Sultan HB II dimulai. Selama masa pemerintahannya, sifatnya yang
antikolonial semakin jelas. Sultan HB II menyadari bahwa orang-orang Belanda
merupakan ancaman utama terhadap keutuhan wilayah dan kewibawaan raja-raja Jawa
khususnya di Kesultanan Yogyakarta.
Berbeda dengan Sunan PB IV yang
berambisi untuk memulihkan kekuasaan ayahnya sebagai raja Mataram, Sultan HB II
tidak berpikir untuk mengembalikan wilayah Kerajaan Mataram lama di bawah satu
pemerintahan. Sebaliknya, tujuan utama Sultan HB II adalah menjadikan
Kesultanan Yogyakarta sebagai suatu kerajaan Jawa yang besar, berwibawa dan
disegani oleh para penguasa lain termasuk oleh orang-orang Eropa. Harapan
Sultan HB II adalah Kesultanan Yogyakarta menjadi penegak dan pendukung utama
tradisi budaya dan kekuasaan Jawa. Bertolak dari konsep ini, Sultan HB II
bertekad untuk menolak semua intervensi Belanda yang mengakibatkan merosotnya
kewibawaan raja Jawa dan berkurangnya wilayah kekuasaan raja-raja Jawa.
Konflik terbuka pertama terjadi antara
Sultan HB II dan VOC. Peristiwa ini berlangsung tidak lama setelah
pelantikannya. Gubernur van Overstraten meminta kepada Sultan HB II agar dalam
setiap acara pertemuan dengan sultan, kursinya disejajarkan dan diletakkan di
sebelah kanan kursi sultan. HB II beranggapan bahwa ia harus menghormati orang
yang duduk di samping kanannya pada forum resmi di depan semua kerabat dan
rakyatnya.
Sultan HB II dengan tegas menolak
tuntutan Overstraten itu. Karena tidak berhasil memaksakan kehendaknya,
Overstraten melaporkan hal itu ke Batavia. Sebaliknya pemerintah VOC di Batavia
yang sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan dan menghadapi blokade
Inggris bermaksud mencegah insiden yang bisa menimbulkan konflik dengan
raja-raja Jawa. Gubernur Jenderal Arnold Alting melarang Van Overstraten
bertindak lebih jauh. Sampai ia diganti oleh J.R. Baron van Reede tot de
Parkeler pada tanggal 31 Oktober 1796, tuntutan itu tidak pernah dikabulkan
oleh Sultan HB II. Utusan Belanda tetap diperlakukan seperti seorang utusan
para penguasa taklukan di depan Sultan HB II.
Parkeler yang mengetahui diri Sultan
HB II dari van Overstraten bertindak hati-hati. Pertemuan politik pertama
dengan sultan ini terjadi pada bulan Agustus 1799 ketika Parkeler menghadiri
acara pemakaman Patih Danurejo I. Menurut perjanjian tahun 1743, raja Mataram
wajib meminta pertimbangan VOC sebelum menunjuk seseorang menjadi patih. Sultan
HB II berusaha menghindari hal itu dengan alasan bahwa Kesultanan Yogyakarta
bukan Kerajaan Mataram dan Sultan berhak mengangkat patihnya sendiri.
Parkeler bertindak hati-hati dan lebih
banyak menggunakan jalur diplomatik untuk mencegah ketegangan dengan Sultan.
Melalui perundingan dan pembicaraan yang dilakukan, akhirnya Parkeler berhasil
membujuk Sultan HB II untuk memperbaharui perjanjian itu. Pada bulan September
1799 Sultan HB II bersedia menandatangani perjanjian baru dengan Parkeler yang
memuat pengangkatan patih baru. Setelah perjanjian ini disahkan, Sultan HB II
mengangkat Tumenggung Mangkunegoro, cucu Patih Danurejo I, yang bergelar Patih
Danurejo II. Pada saat yang bersamaan Sunan PB IV juga menandatangani
perjanjian yang intinya menghindari konflik terbuka ketika terjadi ketegangan
dengan Kesultanan Yogyakarta dan meminta VOC untuk menengahinya. Sekian.
0 on: "Sisi Lain dari Pribadi Sultan Sepoeh (HB II)"