Akarasa – Selamat datang kerabat akarasa. Jakarta? Ketika menyebut
nama kota satu ini, sebagaian besar yang terpikir pertama dalam benak kita
adalah ibukota negara, kemudian di susul banjir, macet, dan segundang
kompleksitas permasahan manusianya yang multietnis. Kota Jakarta yang pada
jaman kerajaan Tarumanegara bernama Sundapuran ini memang memiliki sejarah yang
sangat panjang.
Jakarta atau Ratu Dari Timur (julukan dari Belanda) dulu
dikenal sebagai salah satu pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Lokasinya di
muara sungat Ciliwung. Sedangkan ibukota kerajaan Sunda dikenal sebagai Dayeuh
Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), pada masa itu dapat ditempuh selama dua hari
perjalanan dari pelabuhan Sunda Kelapa. Dari literasi sejarah, Sunda Kelapa
merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda, slain pelabuhan
Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk.
Sunda Kelapa dalam teks sejarah berbahasa Portugis disebut
sebagai Kalapa, karena pelabuhan ini merupakan pelabuhan yang terpenting yang
dapat ditempuh dari ibukota kerajaan Dayo, yang dalam bahasa Sunda modern
disebut Dayeuh yang artinya ibukota, selama dua hari. Kerajaan Sunda sendiri
merupakan kelanjutan dari kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5, sehingga
pelabuhan Sunda Kelapa tersebut sudah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan
sebagai ibukota kerajaaan Tarumanegara yang disebut Sundapura. Untuk menyingkat
waktu, selengkapnya baca Sejarah
Perjalanan Kerajaan Sunda dan Hikayat
Aki Tirem dan Cikal Bakal Salakanagara.
Titimangsa selanjutnya, tepatnya sekitar abad ke-12,
pelabuhan Sunda Kelapa terkenal hingga ke mancanegara, karena dikenal sebagai
pelabuhan lada terbesar di dunia. Sehingga, pelabuhan ini menjadi pusat
berlabuhnya kapal-kapal dagang dari Eropa, Tiongkok, India, Jepang, dan Timur
Tengah dengan membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain,
wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah
yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Tetapi, pernahkan sampeyan membayangkan seperti apa kawasan
pemerintahan di Batavia zaman Hindia-Belanda dulu? Nah, untuk itulah saya akan
ajak kisanak untuk menjelajah melintas lorong waktu melalui barisan teks
sejarah kota Batavia ini.
Dan dari sejarah etimologinya bahwa nama Jakarta sendiri
digunakan sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas
Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia Belanda tahun 1905. Nama ini
dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta (Dewanagari), yang diberikan
oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan)
setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni
1527.
Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota
kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah
"kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha". Bentuk
lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de
Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara
dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten
(k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah
wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat
Sultan Banten dan Sajarah Banten (pupuh 45 dan 47) sebagaimana diteliti
Hoessein Djajadiningrat.
Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran
Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta). Sementara itu budaya
Jakarta itu sendiri merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari
beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang
menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami
Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari
penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar,
seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Pusat kota Jakarta pada jaman Hindia-Belanda dahulunya
berada disepanjang pesisir pantai. Namun sejak pemerintahan Hindia-Belanda
dipegang oleh oleh Gubernur Jendral Willem Herman Daendels (1808) berubah. Saat
itu, di Eropa sana ia mendapat tugas dari raja Lodewijk Bonaparte (adik
Napoleon Bonaparte), saat itu Perancis menguasai Belanda) agar memindahkan
pusak kota Batavia. Karena lokasi ibukota Batavia yang lama dianggap telah
menjadi sarang penyakit.
Daendels lalu memindahkan pusat kotanya sejauh 15 kilometer
dari Kota Tua, yaitu di daerah Weltervreden (sekitar Gambir). Berdasarkan catatan
sejarah, kawasan itu sebenarnya sudah berpenghuni sejak tahun 1648. Kala itu
pemerintah kolonial memberikan sebidang tanah kepada Antonij Paviljoun yang
kemudian dikembangkan menjadi rumah-rumah peristirahatan kecil Weltervreden,
yang bearti ‘suasana tenang dan puas’. Tahun 1693 tanah tersebut kemudian
menjadi milik Cornelis Chastelein, seoang anggota Dewab Hindia. Di sana ia lalu
membuat perkebunan kopi dengan memanfaatkan budak-budak yang diambilnya dari
Bali.
Selanjutnya pada tahun 1733, Justinus Vinck membangun dua
pasar besar di kawasan ini, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Dua tahun
kemudian, dia juga membuat jalan yang menghubungkan dua pasar besar tersebut.
Saat ini, jalan yang menghubungkan perdagangan di timur dan barat tersebut
dinamai Jl Prapatan dan Jl Kebon Sirih. Pesatnya pembangunan kawasan inilah
yang kemudian menjadi alasan utama Daendels membangun istana Paleis van
Daendels atau sebut juga Het Groote Huis menjadi pusat pemerintahannya yang
berhadapan leaknya dengan Lapangan Parade Watelooplein, atau sekarang dikenal
sebagai Lapangan Banteng. Istana tersebut dirancang Letnan Kolonel JC Schultze,
yang berpengalaman membangun Gedung Sosietet Harmonie di Batavia.
Meskipun kondisi keuangan pemerintahan Belanda pada waktu
itu mengalami krisis, pembangunan tetap dilaksanakan. Untuk menyelesaiakan
pembangunan tersebut, pemerintah Belanda mengambil bahan-bahan bekas dari
bangunan-bangunan dalam kastil Batavia di Kota Tua yang dirobohkan Daendels. Gedung
baru itu baru diselesaikan dengan sempurna pada masa pemerintahan Gubernur
Jendral Du Bus de Ghisignies yang berkuasa pada tahun 1826. Penyelesaian istana
tersebut tak lepas dari jasa seorang insinyur yang bernama Tromp.
Sedangkan untuk tempat latihan militernya, Daendels
mengalokasikan lapangan Buffersveild (Lapangan Kerbau) atau disebut Champs de
Mars. Lapangan itu sekarang menjadi Lapangan Monumen Nasional (Monas). Sementara
istana Daendels itu kini menjadi Kantor Kementerian Keuangan. Disebelah kiri
pintu gerbang kanan Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lama tersebut
terdapat prasasti bertuliskan ‘MDCCCIX CONDIDIT DAENDELS. MDCCCXXVII EREXIT DU
BUSW’ sebagai tanda peresmian Du Bus pada tahun 1928.
Pada 1 Mei 1848 gedung ini dipakai Departemen van Justitie
(kehakiman) yang kemudian dipakai sebagai gedung induk Departemen Keuangan. Hingga
kini, berbagai keputusan moneter negara, termasuk bailt out bank Century yang
bermasalah dan sarat korupsi itu, lahir di gedung ini. Kini, Gedung Kemenkeu
ini menjadi salah satu gedung cagar budaya.
Sampai awal abad ke-18, Batavia diibaratkan ‘Ratu Dari Timur’.
Ini sebagai ungkapan bagi sebuah kota yang indah. Pada masa itu, bahkan muncul
beberapa istilah untuk menyebut keindahan Batavia, antara lan dengan sebutan ‘Vanesia
dari Timur’.
Namun, pada masa Batavia mengalami kemunduran ketika terjadi
wabah penyakit akibat kota yang kumuh. Penyebab lain karena hancurnya ekologi
kota akibat genangan air dimana-mana, sehingga menimbulkan berbagai penyakit. Predikat
‘Ratu Dari Timur’ bagaikan reruntuhan goa yang berpenyakit. Sejak meletusnya
Gunung Salak pada 1699, mengakibatkan ancurnya peradaban pada masa awal
Batavia. Sebutan Batavia yang muluk-muluk pun beralih menjadi ‘Kuburan Orang
Belanda’.
Dalam buku Toponim Jakarta dan Kepulauan Seribu salah satu
babnya menyebutkan sejumlah tanah partikelir. Antara lain, Kwitang, milik
keluarga Alkaff, Kemayoran milik seorang mayor China, dan banyak lagi yang
terkait dengan kepemilikan pribadi yang kemudian dibeli kotapraja secara
bertahap.
Tahap selanjutnya adalah perluasan kota ke daerah
perkebunan, baik sayuran maupun buah-buahan. Antara lain Kebon Kacang, Kebon Jahe,
Kebon Kelapa, Kebon Kopi, Kebon Sayur, dan sebagainya. Selain itu juga dikenal
dengan adanya penamaan kampung atau daerah yang berkaitan dengan asal-usul
penghuninya. Antara lain Kampung Bali, Kampung Melayu, Kampung Makasar, Kampung
Ambon, Kampung Bugis, Kampung Bandan dan sebagainya.
Di Jakarta tak ada gunung. Tetapi nama gunung digunakan
untuk menyebut bbeerpa tempat, seperti Kampung Gunung di Kebayoran Baru,
Jaksel. Selain itu, dikenal juga dengan bukit. Antara lain Tanah Abang Bukit di
Jakarta Pusat dan Bukit Duri di Manggarai, Jakarta Selatan. Nama-nama kampung
atau wilayah yang berkaitan dengan dataran rendah juga dikenal. Misalya dengan
penggunaan nama ‘Tegal’ yang dalam bahasa Jawa dan Sunda mengacu pada daerah
rendah yang tidak ditanami. Misalnya, Tegalparang, Tegalalur, Tegalangus, dan
sebagainya.
Ada pula tipologi penamaan yang berkaitan dengan ‘Rawa’ dan ‘Pulo’
(pulau). Istilah rwa mengacu pada danau yang berawa-rawa, antara lain Rawasari,
Rwakepa, Rawabangke, Rawabelong, Rawadomba, Rawabadak, dan sebagainya. Sedangkan
istilah pulo merujuk pada daerah kering, seperti Pulogadung, Pulomas,
Pulomacan, Kramatpulo, Puloraya dan sebagainya.
Tak perlu heran juga jika ada tipologi penamaan yang
berkaitan dengan tanjung dan teluk. Antara lain Tanjung Priok, Tanjungbarat,
Tanjungduren, dan lain-lain. demikian pula yang berkaitan dengan kanal atau
kali. Istilah kanal atau kali adalah ‘Ci’ yang berasal dari bahasa Sunda ‘Cai’
(air). Sedangkan kali berasal dari bahasa Jawa. Tetapi dalam kasus penamaan kali
dan ci tidak konsisten.
Di wilayah selatan Jakarta ditemukan nama Ciliwung,
Cikarang, dan Citarum. Tetapi di bagian utara tidak ditemukan wilayah bernama ‘Ci’.
Yang muncul justru dengan awalan Kali. Misalnya, Kali Angke, Kali Besar, Kali
Sunter, Kali duren, dan sebagainya. Tentu ini merupakan suatu kajian yang
menarik untuk dicermati.
Jika dicermati lebih rinci, ada juga tipologi penamaan yang
berkaitan dengan kolam, sumur, atau tanah. Di Jakarta, dikenal sebagai istilah
umum, antara lain situ dan setu. Misalnya, Kampungsetu, Situbabakan,
Situgintung dan lain-lain. yang berkaitan dengan penampungan air pun banyak,
antara lain, Kampung Sumur, Sumur Batu, Sumur Bor, Pancoran, yang kurang lebih
artinya sama sebagai tempat penampungan air.
Penamaan wilayah dengan tanah cukup banyak, Tanahsereal,
Tanahtinggi, Tanahkoja, dan sebagainya. Demikian pula dengan menggunakan
karang, misalnya Karanganyar, Karangsembung. Tipologi persamaan dengan yang
berkaiatan dengan tumbuh-tumbuhan juga banyak digunakan untuk nama suatu
wilayah. Antara lain Gambir, Ketapang, Menteng, Pete (Cipete), Bidaracina, Asam
(Pangkalanasem), Manggis (Pasarmanggis), Mangga (Manggadua) dan lain
sebagainya.
Nah, dipenghujung tulisan ini memang benar ternyata Jakarta
memang sungguh unik sejarah dan budayanya yang sejak dulu banyak terinteraktif
dari berbagai bahasa dan budaya eknik serta bangsa lain yang masuk ke Jakarta
sejak dulunya. Namun sungguh disayangkan para generasi muda saat ini kurang
untuk memahami dan memperhatikan serta melestarikan budaya Ibu kota negara ini
yang begitu kental dengan ke-Bhinneka-annya, khususnya generasi muda putra
Jakarta itu sendiri. Mereka begitu mengagumi budaya asing tanpa mau peduli
budaya dan seninya Jakarta. Nuwun
Bumi Para Nata, Ngayogyokarto Hadiningrat, 17/05/2017
menambah pengetahuan sejarah, terimakasih,
BalasHapus