Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Tulisan yang sampeyan baca ini adalah kelanjutan tulisan sebelumnya
dalam tulisan seri yang mengupas sejarah Sumedang Larang. Agar tidak parsial,
alangkah baiknya sampeyan baca dulu tulisan sebelumnya, Harisbaya
: Wanita dalam Lingkar Kuasa Sumedang Larang.
Pada tulisan sebelumnya sudah saya
paparkan jika Geusan Ulun merupakan raja Sumedang Larang pertama yang memiliki
keabsyahan sebagai penerus tahta Pajajaran, setelah Jayaperkosa menyerahkan
atribut raja Pajajaran dan 44 Kandaga Lante serta 4 umbul, namun ia juga raja
terakhir dari Kerajaan Sumedang Larang, karena para penerusnya hanyalah
setingkat bupati.
Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian
gelap bulan Kartika tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 , Ia
dimakamkan di Dayeuh Luhur. Sebagai pengganti Geusan Ulun ditunjuk Pangeran
Arya Suriadiwangsa putranya dari Harisbaya. Didalam Babad Pajajaran Pangeran
Arya Suriadiwangsa disebut Pangeran Seda (ing) Mataram.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang
istri, pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru ; istri kedua Ratu Harisbaya, dan
istri ketiga Nyi Mas Pasarean. Namun yang menjadi pertanyaan sampai sekarang,
alasan apakah yang mendorong Prabu Geusan Ulun memberikan tahtanya kepada
Pangeran Aria Suradiwangsa, padahal ia anak dari istri kedua, bukan kepada
Rangga Gede putanya dari istri pertama, sebagai kebiasaan yang dilakukan para
raja sebelumnya.
Dugaan pemberian tahta kepada
Suriadiwangsa dimungkin karena ada kesepakatan antara Geusan Ulun dengan
Harisbaya, sehingga Harisbaya mau dinikahi dan meninggalkan Panembahan Ratu.
Hal tersebut diuraikan di dalam buku rintisan penelusuran masa silam sejarah
Jawa Barat (rpmsJB).
Menurut babad, Harisbaya tergila-gila
oleh Geusan Ulun. Demikianlah waktu tengah malam ia meninggalkan suami yang
tidur lelap disampingnya lalu masuk kedalam tajug keraton untuk mengajak Geusan
Ulun melarikan diri ke Sumedang. Bila benar demikian keadaannya, Geusan Ulun
tentu tidak perlu menjanjikan atau memberikan jaminan apa-apa kepada Harisbaya.
Ternyata kemudian yang ditunjuk adalah putranya Harisbaya, padahal putra
sulungnya adalah Rangga Gede putra Nyi Gedeng Waru istri Geusan Ulun yang
pertama.
Penunjukan Suryadiwangsa, putra
Harisbaya tak mungkin terjadi tanpa pernah ada “jaminan” dari Geusan Ulun
kepada putri Pajang berdarah Madura ini. Hal ini merupakan indikasi bahwa bukan
hanya Harisbaya yang “tergila-gila” melainkan harus dua-duanya. Jaminan itu
pula tentu yang mendorong Harisbaya berbuat nista sebagai istri kedua seorang
raja. Di Cirebon tidak mungkin kedudukan “ibu suri” diperolehnya.
Pangeran Aria Suriadiwangsa
Tentang sirsilah dari Suriadiwangsa
sampai sekarang masih menjadi perdebatan, karena ada versi yang menjelaskan, ketika
Harisbaya dipersunting oleh Geusan Ulun, ia telah mengandung, sehingga
Suriadiwangsa dianggap sebagai putra Panembahan Ratu, suami pertama Harisbaya.
Hardjasaputra, didalam bukunya Bupati
Priangan, cukup lugas menjelaska bahwa, setelah Prabu Geusan Ulun wafat,
pemerintahan Sumedang diteruskan oleh anak tirinya, Raden Aria Suriadiwangsa
(1608-1624). Namun dalam Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat (rpmsJB)
menjelaskan dengan menguraikan waktu peristiwa, bahwa : “Suriadiwangsa benar-benar putra dari Geusan Ulun. Menurut Babad
Pajajaran, masa idah Harisbaya itu 3 bulan 10 hari. Jadi, idah bisa menunjukan
bahwa waktu dilarikan, Harisbaya tidak dalam keadaan mengandung.”
Dalam pembahasan rpmsJB sebelumnya
menjelaskan pula, bahwa : “menurut
Pustaka Kertabhumi I/2 peristiwa pelarian Harisbaya terjadi pada tahun 1507
Saka atau 1585 Masehi, sedangkan pernikahan Geusan Ulun dengan Harisbaya
terjadi pada tanggal 2 bagian terang bulan Waisaka tahun 1509 Saka (kira-kira
10 April 1587), jadi ada selisih waktu dua tahun lamanya sejak Harisbaya dilarikan
dari Pakungwati ke Sumedang dengan pelaksanaan pernikahannya”.
Disisi lain tidak pernah ditemukan
adanya kisah yang menjelaskan, bahwa Suriadiwangsa dilahirkan sebelum Harisbaya
dinikahi oleh Geusan Ulun. Kiranya memang Suryadiwangsa adalah putra dari
Geusan Ulun.
Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa
ada dua peristiwa yang berpengaruh terhadap sejarah Sumedang, yakni penyerahan
Sumedang kepada Mataram pada tahun 1624, dan masalah yang terkait dengan
penyerangan Mataram ke Madura. Pada tahun yang sama, Pengeran Arya
Suriadiwangsa wafat, sehingga banyak yang menafsirkan ia dijatuhi Hukuman Mati
oleh Sultan Agung (Mataram).
Berserah Ke Mataram
Pada mulanya diwilayah Priangan hanya
ada dua daerah yang berdiri sendiri, yakni Sumedang dan Galuh. Sumedang muncul
setelah Kerajaan Sunda (Pajajaran) diruntuhkan oleh Banten (1579). Sumedang
Larang menggantikan kekuasaan Pajajaran di Parahyangan ketika masa Geusan Ulun,
sedangkan Galuh telah lebih dahulu direbut Cirebon dalam peperangan 1528 – 1530,
kemudian menjadi Kabupaten sendiri yang berada dibawah daulat Cirebon.
Menurut Hardjasaputra, “Pada tahun 1595 Galuh dikuasai oleh Mataram
dibawah pemerintahan Sutawijaya (Panembahan Senopati) yang memerintah Mataram
pada tahun 1586 – 1601”. Sedangkan Sumedang Larang setelah wafatnya Prabu
Geusan Ulun digantikan oleh Raden Aria Suriadiwangsa.
Penyerahan Sumedang Larang kepada
Mataram tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik negara
disekitar Sumedang Larang, seperti Mataram dan para penguasa di sekitar Jawa
Barat (Banten, Cirebon) dan Kompeni Belanda yang selalu berupaya menguasai
Nusantara.
Kekuasaan Sumedang Larang pada waktu
sebelumnya, yakni pada masa Prabu Geusan Ulun, dianggap berhak meneruskan
Pajajaran. Hal ini dibuktikan pada saa diistrenan Geusan Ulun menggunakan
atribut raja-raja Pajajaran, ia pun diserahi 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul,
namun suatu yang tidak dapat disangkal lagi jika ia pun merupakan penguasa
Sumedang Larang terakhir yang merdeka, terlepas dari negara lain, karena pasca
wafatnya Prabu Geusan Ulun maka Sumedang Larang menjadi suatu daerah setingkat
kabupaten yang berada dibawah daulat Mataram.
Pada masa pemerintahan Suriadiwangsa
kekuasaan Mataram telah dipegang oleh Sultan Agung (1613-1645), Mataram (Islam)
mengalami masa kejayaannya dan menjadi negara yang kuat. Pada masa inilah
Sumedang diserahkan kepada Mataram (1620).
Banyak kisah yang menjelaskan tentang
alasan Pangeran Aria Suriadiwangsa menyerahkan Sumedang menjadi dibawah daulat
Mataram. Paling tidak ada yang menarik dari versi yang bersebarangan ini
tentang akibatnya dari pernikahan Harisbaya dengan Geusan Ulun, terutama
kaitannya dengan posisi Pangeran Aria Suriadiwangsa, sebagai putra tiri atau
anak kandung “pituin” Geusan Ulun.
Hardjasaputra menjelaskan, bahwa :
“Ada dua faktor yang mendorong Pangeran Aria Suriadiwangsa bersikap demikian.
Pertama, ia merasa bahwa Sumedang Larang terjepit diantara tiga kekuatan, yaitu
Mataram, Banten, dan Kompeni (Belanda) di Batavia. Oleh karena itu, ia harus
menentukan sikap tegas bila tidak ingin menjadi bulan-bulanan dari ketiga
kekuatan tersebut. Kedua, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan penguasa
Mataram dari pihak ibu Harisbaya (menurut Widjajakusumah dan R. Moh. Saleh,
Ratu Harisbaya adalah saudara Panembahan Senopati, raja Mataram tahun 1586-1601).
Alasan Hardjasaputra diatas yang tidak
memperhitungkan adanya kekhawatiran Sumedang Larang terhadap Cirebon, mengingat
ia berpendapat bahwa Pangeran Aria Suradiwangsa adalah bukan putra Geusan Ulun,
melainkan putra Harisbaya dari Panembahan Ratu Cirebon, sehingga tidak mungkin
Cirebon menyerang Sumedang.
Hal tersebut berlainan dengan pendapat
para penulis rpmsJB yang meyakini Pangeran Arya Suriadiwangsa adalah asli anak
Harisbaya dari Geusan Ulun. Penafsiran rpmsJB ini berakibat pula ketika
memberikan alasan tentang penyerahan Sumedang kepada Mataram. Menurutnya,
“Suriadiwangsa menyerah tanpa perang kepada Mataram. Hal ini merupakan bukti
bahwa Sumedang sebenarnya lemah dalam kemiliteran. Salah satu penyebabnya ia
kebiasaan rajanya mendirikan ibukota yang baru bagi dirinya. Pemerintahnya tak
pernah mapan karena tiap ganti raja pusat kegiatannya selalu berpindah. Faktor
lainnya yang mendorong Sumedang menyerah “secara sukarela” (prayangan) adalah
menghindari kemungkinan adanya serangan dari Cirebon”.
Kekhawatiran terhadap serangan Cirebon
tentunya sebagai akibat, pertama, peristiwa Harisbaya menyebabkan perseteruan
Cirebon (Panembahan Ratu) dengan Sumedang (Geusan Ulun). Kedua, kekhawatiran
Suriadiwangsa terhadap Mataram akan membantu Cirebon karena ada kekerabatan
Mataram dengan Cirebon, Permaisuri Sultan Agung adalah Putri Ratu Ayu Sakluh
kakak Panembahan Ratu, maka dengan berlindung dibawah Mataram diniscayakan
Cirebon tidak akan menyerang Sumedang.
Penyerahan Sumedang kepada Mataram
tentunya disambut baik oleh Sultan Agung. Dari persitiwa ini maka seluruh
wilayah Priangan ditambah Karawang praktis menjadi bawahan Mataram. Dan Sultan
Agung memproklamirkan ini kepada Kompeni. Dengan demikian di Jawa barat hanya
Banten dan Cirebon yang masih dianggap memiliki kedaulatan.
Tentang status penguasa Sumedang pasca
penyerahan kekuasaan kepada Mataram dijelaskan, sebagai berikut, “untuk
mengawasi wilayah Priangan dan mengkoordinasikan para kepala daerahnya, Sultan
Agung mengangkat Raden Aria Suriadiwangsa menjadi Bupati Priangan (1620-1624 M)
sekaligus bupati Sumedang, dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata,
yang terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Sejak itulah di Priangan terdapat
jabatan atau pangkat bupati, dalam arti kepala daerah, dengan status sebagai
pegawai tinggi dari suatu kekuasaan”. (Hardjasaputra, hal 22).
VASSAL
MATARAM
Penyerahan Sumedang menjadi bawahan
Mataram tentunya bertujuan agar Sumedang dapat dilindungi oleh Mataram dari
gangguang luar. Konsekwensi logis dari penyerahan ini adalah harus tunduknya
para penguasa Sumedang terhadap titah Mataram. Dilain sisi, Sultan Agung
memilki strong leadership, jika suatu misi yang diperintahkannya tidak berhasil
maka ia tak segan-segan untuk memberikan punishment (hukuman).
Dari kisah Sumedang paling tidak ada
dua orang Wedana Bupati yang dikenakan punishment hukuman mati oleh Sultan
Agung, yakni Pangeran Aria Suriadiwangsa atau Rangga Gempol I (jika memang
benar ia dihukum mati) dan Dipati Ukur.
Rangga Gempol I
Pada tahun 1624 Rangga Gempol I
diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menaklukan Madura, namun setelah Madura
ditaklukan Mataram, pada tahun yang sama Rangga Gempol I wafat di Mataram.
Peristiwa tersebut menimbulkan
beberapa spekulasi. Ada yang menyatakan kematian Rangga Gempol I di Mataram
akibat dihukum mati oleh Sultan Agung, sementara pendapat lain menyatakan bahwa
misi yang ditugaskan kepada Rangga Gempol I dianggap berhasil, karena sekalipun
terjadi peperangan dan pasukan Madura sangat gigih bertahan, namun Madura dapat
ditaklukan Mataram.
Dari salah satu sumber Sumedang
menjelaskan, bahwa : “Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk
membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara
dipegang oleh Rangga Gede.
Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol
tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati
Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibu,
Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga
Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke
Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan
yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari
Sumedang. Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di
Lempuyanganwangi”.
Didalam catatan sejarah lain,
menjelaskan, bahwa : Di Madura terdapat lima kerajaan, yakni Arosbaya, Sampang,
Balega, Pamekasan dan Sumenep. Kelimanya bersatu untuk menghadapi serbuat
Mataram, ketika itu pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Sujonopuro.
Pasukan Madura berhasil menahan laju serangan Mataram, bahkan Tumenggung
Sujonopuro tewas pada serangan malam hari yang dilakukan pasukan Balega. Pada
serangan kedua akhirnya pasukan Madura dapat dikalahkan.
Dalam peristiwa tersebut memang Rangga
Gempol berhasil membujuk bupati Sampang untuk menyerah secara damai, namun ia
tidak berhasil membujuk bupati lainnya, sehingga terjadi perang hebat.
Peristiwa ini dimungkinkan ditafsirkan sebagai kegagalan Rangga Gempol I
menjalankan misinya, ia dijatuhi hukuman mati. Karena memang Sultan Agung
selalu menghukum para bawahannya yang gagal melaksanakan tugas.
Pendapat yang berbeda, seperti yang
dimuat didalam rpmsJB, menyatakan, bahwa : pada tahun yang sama ia dihukum mati
di Mataram, bukan karena tidak berhasil menjalankan misinya, namun menurut
rpmsJB yang menyimpulkan dari Rutjatan Sadjarah Sumedang memaparkan, bahwa:
keberhasilan Rangga Gempol tersebut menjadikan ia sombong dan sesumbar, tanpa
Sultan Agung pun ia mampu menaklukan Madura. Ucapannya terdengar oleh Sultan
Agung, alasan inilah yang menyebabkan ia dihukum pancung.
Pada saat Rangga Gempol I menjalankan
misinya ke Madura, jabatan Wedana Bupati Priangan dikuasakan kepada Rangga
Gede, adiknya. Pangeran Dipati Rangga Gempol I meninggalkan 5 putera – putri,
salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II yang
menuntut haknya sebagai putra mahkota. Akan tetapi Rangga Gede menolaknya
sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk
merebut kabupatian Sumedang dari Rangga Gede. Dalam suatu serangan, Rangga Gede
tidak mampu menahan laju serangan Banten dan melarikan diri ke Mataram,
sehingga ia diberikan sanksi politis dan ditahan di Mataram.
Kisah ini agar berbeda dengan versi
lainnya. Menurut sumber Sumedang dijelaskan, bahwa serangan Banten ke Sumedang
untuk memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa terjadi pada masa Pangeran
Panembahan (1656 – 1706). Namun dalam catatan sejarah manapun, bahwa pada
peristiwa ini memang Rangga Gede tidak sanggup menahan pemberontakan
Suradiwangsa II, iapun melarikan diri ke Mataram. Sedangkan jabatan Wedana
Bupati oleh Sultan Agung diserahkan kepada Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Kegagalan Rangga Gede mengakibatkan
Sultan Agung menyerahkan jabatan Wedana Bupati Priangan kepada Wangsanata yang
dikenal dengan sebutan Dipati Ukur, penguasa tanah Ukur yang berpusat di
Bandung Selatan (Krapyak). Ketika itu kekuasaan Dipati Ukur membawahi wilayah
Sukapura, Sumedang, Bandung, Limbangan, sebagian daerah Cianjur, Karawang,
Pamanukan dan Ciasem. Dipati ukur berasal daerah Purbalingga (Banyumas), ia
menikah dengan Nyi Gedeng Ukur, putri Umbul Ukur. Kedudukannya sebagai Dipati
Ukur karena menggantikan jabatan mertuanya.
Sultan Agung pada tahun 1628
memerintahkan Dipati Ukur untuk menyerang benteng Batavia, namun Dipati Ukur
mengalami kegagalan dan ia tidak melaporkan ke Mataram, akibatnya ia di cap
melakukan pemberontakan.
Tentang kisah Dipati Ukur, Soeria di
Radja (1927) menemukan delapan versi, tentunya ada persamaan dan ada
perbedaannya. Versi-versi tersebut, seperti dari Sumedang, Bandung Sukapura,
Galuh, Banten, Talaga, Mataram dan Batavia (Hardjasaputra, 23). Mungkin jika
saat ini diinventaris akan lebih banyak lagi, baik yang bersumber dari hasil
penelitian sejarah maupun dari kepustakaan.
Versi sejarah resmi di terbitkan pada
tahun 1990 an, diperuntukan bagi konsumsi anak-anak pelajar SMP Kelas 3 di Jawa
Barat, diterbitkan Geger Sunten – 1990. Buku tersebut menjelaskan sebab musabab
Dipati Ukur melakukan pemberontakan, sangat jarang diuraikan didalam sejarah
dan catatan lainnya, kecuali kegagalan Dipati Ukur melakukan serangan kebenteng
Batavia yang menyebabkan pembangkangan serta penangkapannya yang dilakukan oleh
para umbul Priangan.
Didalam buku sejarah tersebut intinya
menjelaskan, bahwa : Sultan Agung melihat adanya kekuatan Kumpeni Belanda di
Batavia yang berhasil menyaingi Banten, ia mengajak Kumpeni untuk menaklukan
Banten dan ditolak Kumpeni. Sultan Agung kemudian meminta kepada Kumpeni agar
diakui sebagai pertuanan atas wilayah Jayakarta, ditolak Kumpeni. Pada tahun
1624 ia pun meminta kepada Kumpeni untuk bersama-sama menaklukan Surabaya, juga
ditolak Kumpeni, kemudian mendorongnya untuk menyerah Batavia dan mengusir
Kumpeni dari daerah perbentengan di Batavia. (Hal. 78).
Pada tahun tahun 1628 Sultan Agung
memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di
Batavia. Dalam catatan sejarah pada umumnya hanya disebutkan, bahwa Dipati Ukur
gagal menunaikan tugasnya dan ia melakukan pembangkangan karena takut dihukum.
Jarang diuraikan penyebab kegagalannya sebagai akibat komunikasi antara Dipati
Ukur dengan Tumenggung Bahureksa.
Gelombang serangan pertama Mataram
dilakukan melalui laut, dipimpin Tumenggung Bahureksa, selain itu Sultan Agung
memerintahkan pasukan Priangan untuk membantu serangan melalui darat yang
dipimpin oleh Dipati Ukur. Kedua pasukan tersebut ditentukan untuk bertemu di
Karawang. Ternyata pasukan Priangan lebih dahulu tiba di Karawang.
Setelah ditunggu satu minggu pasukan
Bahureksa belum juga tiba, pada akhirnya Dipati Ukur berinisiatif menyerah
Batavia tanpa bantuan pasukan Bahureksa. Pasukan Dipati Ukur berhasil dipukul
mundur, karena tidak cukup kuat untuk menyerang benteng Batavia yang sangat
kokoh. Selang beberapa saat pasukan Bahureksa tiba di Karawang, namun ia tidak
menjumpai pasukan Dipati Ukur. Dengan sangat marah ia pun menyerang benteng
Batavia, ia pun berhasil di pukul mundur dan kembali ke Mataram.
Sultan Agung sangat marah atas
kegagalan ini, ia memerintahkan pasukan Mataram untuk memanggil Dipati Ukur.
Sayangnya pasukan Mataram tidak menemukan Dipati Ukur di krapyak, karena saat
itu Dipati Ukur masih memusatkan kekuatannya diperbatasan Jayakarta untuk
menyerang benteng Batavia kembali. Namun ia mendapat laporan dari salah satu
wanita penduduk Tatar Ukur yang berhasil meloloskan diri, bahwa : pasukan
Mataram di tatar ukur melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dan
mengganggu kehormatan wanita-wanita. Kondisi inilah yang memicu pemberontakan
Dipati Ukur. Berkat bantuan tiga orang umbul Priangan, yakni : Kiwirawangsa
Umbul Sukakerta ; Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti ; Ki Somahita Umbul
Sindangkasih, pihak Mataram dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur pada
tahun 1632.
Hal yang patut diketahui, bahwa :
dengan dikuasainya wilayah Priangan oleh Mataram, maka kedudukan penguasa
daerah di wilayah itu menjadi turun derajatnya, dari bupati dalam arti raja
yang berdaulat penuh atas daerah dan rakyatnya, menjadi bupati vassal dalam
arti pejabat tinggi yang wajib mengabdi kepada raja Mataram.
Kisah penangkapan Dipati Ukur yang
selama ini kita dilakukan oleh tiga umbul Priangan, namun Naskah Leiden
Oriental menjelaskan Dipati Ukur ditangkap oleh Bagus Sutapura (Adipati
Kawasen) untuk kemudian dibawa ke Galuh. Naskah tersebut ditulis oleh
Sukamandara yang pernah menjadi Jaksa di Galuh. Peristiwa penangkapannya
menurut Prof. DR. Emuch Herman Somantri terjadi pada hari Senin tanggal 1 bulan
Jumadil Awal 1034 H sekitar pertengahan tahun 1632.
Kisah penangkapan Dipati Ukur oleh
Bagus Sutapura diuraikan didalam Sejarah Galuh, disusun oleh Raden Padma
Kusumah. Naskah ini disusun berdasarkan naskah yang dimiliki oleh Bupati Galuh
R.A.A Kusumah Diningrat 1836-1886, bupati Galuh R.T Wiradikusumah 1815 dan R.A
Sukamandara 1819. Naskah tersebut antara lain menjelaskan, sebagai berikut :
255 : Heunteu kocap dijalanna – Di
dayeuh Ukur geus Neupi – Ki Tumenggung narapaksa – Geus natakeun baris – Gunung
Lembung geus dikepung – Durder pada ngabedilan – Jalan ka gunung ngan hiji
-Geus diangseug eta ku gagaman perang.
256 : Dipati Ukur sadia – Batuna
digulang galing – Mayak – Gagaman di lebak – Rea anu bijil peujit – sawareh
nutingkulisik – Pirang-pirang anu deungkeut – kitu bae petana – Batuna sok
pulang panting – Ki Tumenggung Narapaksa rerembugan
257 : Urang mundur ka Sumedang –
Didinya Urang Badami – Nareangan anu bisa – Nyekel raheden Dipati – Bupati pada
mikir – Emut ku Dhipati galuh – Ka Ki bagus Sutapura – Waktu eta jalma bangkit
– Seg disaur ana datang diperiksa
258 : Kyai bagus Sutapura – Ayeuna
kawula meureudih – Dipati Ukur sing beunang – Ditimbalan dijeng gusti – Nanging
kudu ati-ati – Perkakasna eta batu – Gedena kabina-bina – Dikira sagede leuit –
Dingaranan Batu Simunding lalampah.
259 : Kyai bagus Sutapura – Perkakasna
ngan pedang jeung keris – Datang kana pipir gunung – Tuluy gancangan nanjak –
Geus datang kana tengah-tengah gunung – Batu Ngadurungdung datang – Dibunuh
geus burak-barik.
260 : Nu sabeulah seug dicandak –
Dibalangkeun nyangsang dina luhur kai – Nu matak ayeuna masyhur – Ngarana batu
layang – Kocap deui Kyai bagus Sutapura ngamuk – Balad Ukur enggeus ruksak –
Ukur ditangkap sakali.
276 : Hariring katu nimbalang – Eta
maneh bener Kyai Dipati – Eh ayeuna Tumenggung – Tumenggung Narapaksa – Karep
kamenta Ngabehi anu tilu – Ayeuna angkat Bupati
279 : Kyai bagus Sutapura – ayeuna
ngarana kudu diganti – Bari diangkat Tumenggung – Tumenggung Sutanangga – Jeung
bere cacah 7000 – Ayeuna Geus tetep linggih
Terhadap perbedaan versi ini sangat
mungkin terjadi dan dapat menambah pengayaan pengetahuan masyarakat, khususnya
di tatar sunda agar mengetahui kebenaran sejarahnya. Suatu hal yang perlu
dicermati dari masing-masing versi tentang paradigma para penulis terhadap
Dipati Ukur, apakah diakui sebagai pahlawan atau pembuat onar. Jika saja
pembuat onar, maka keonaran tersebut harus dibaca sebagai pemberontakan orang
tanah ukur – Priangan terhadap para tuan yang menguasai Priangan saat itu.
Paling tidak, ada kenyamanan penguasa dan sekeselernya yang terganggu oleh
Dipati Ukur, sehingga dikonotasikan negatif.
PEMBAGIAN AJEG
Pemberontakan Dipati Ukur berlangsung
dari 1628-1632. Hal tersebut menggambarkan, betapa sulitnya Mataram melakukan
pengawasan terhadap Priangan yang memang jauh letaknya dari pusat kekuasaan.
Berdasarkan latar belakang ini konon kabar Sultan Agung berupaya untuk menjaga
stabilitas diwilayah Priangan dan Karawang dengan cara melakukan reorganisasi
terhadap daerah-daerah tersebut.
Pembagaian wilayah tersebut menurut
Hardjasaputra (hal 23) menjadi sebagai berikut : Pertama, Daerah Karawang,
lumbung padi dan garis depan pertahanan Mataram bagian barat, dijadikan
kabupaten, dengan statusnya tetap berada dibawah kekuasaan Wedana Bupati Priangan.
Kedua, pada tanggal 9 tahun Alip
(menurut Hole : 20 April 1641) Wedana Bupati Priangan Tengah dibagi menjadi
empat Kabupaten. Kabupaten Sumedang diperintah oleh Pangeran Dipati
Kusumadinata (Rangga Gempol II), merangkan sebagai Wedana Bupati Priangan.
Ketiga, daerah Priangan diluar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga
kabupaten, yaitu Sukapura, Bandung dan Parakanmuncang.
Untuk memerintah tiga
kabupaten tersebut, Sultan Agung mengangkat tiga orang kepala daerah yang
dianggap berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur, yakni : Ki Wirawangsa
Umbul Surakerta menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha ; Ki
Astamanggala Umbul Cihaurbeuti menjadi Bupati Bandung, dengan gelar Tumenggung
Wiraangunangun ; dan Ki Somahita Umbul Sindangkasih menjadi Bupati
Parakanmuncang, dengan gelar Tumenggung Tanubaya. Pengangkatan tersebut
sebagaimana ditulis dalam suatu Piagem.
Ketiga, Daerah Priangan Timur, yakni
Galuh dipecah menjadi empat daerah, yaitu Utama, Bojonglopang (Kertabumi),
Imbanagara, dan Kawasen.
Berdasarkan kisah dari sumber lainnya,
: Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati
Jayanagara, Bojonglopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen
diperintah oleh Bagus Sutapura. Konon kabar Bagus Sutapura pada tahun 1634
diberikan jabatan Bupati di Kawasen karena ia dianggap berjasa menaklukan
Dipati Ukur. Sementara Dipati Imbanagara yang dicurigai berpihak kepada Dipati
Ukur, pada tahun 1636 dijatuhi hukuman mati.
Pasca Sultan Agung
Sultan Agung wafat pada pada tahun
1645, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Sunan Amangkurat I atau Sunan
Tegalwangi (1645 – 1677).
Kebijakan Sunan Amangkurat I terhadap
daerah bawahannya pada umumnya sama dengan yang dilakukan Sultan Agung,
terutama dalam hal melakukan reorganisasi kabupaten. Wilayah Mataram di bagian
barat pada tahun 1656 – 1657 dibagi menjadi 12 Ajeg (setingkat Kabupaten),
sembilan ajeg saat ini berada diwilayah Jawa Barat dan tiga ajeg saat ini
termasuk wilayah Jawa Tengah.
Alasan Sunan Amangkurat I membagi
daerah tersebut dikarenakan pasca pemberontakan Dipati Ukur di Priangan,
khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping itu ada kekhawatiran
terhadap kedudukan Kompeni Belanda di Batavia semakin kuat dan Banten sedang
melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. Oleh karena itu ia pun beranggapan
untuk memperkuat Priangan Barat.
Sembilan ajeg yang berada diwilayah
Jawa Barat tersebut, yakni :
- Sumedang didperintah oleh Pangeran Rangga Gempol III.
- Parakanmuncang diperintah oleh Tumenggung Tanubaya.
- Bandung diperintah oleh Tumenggung Wiraangunangun.
- Sukapura diperintah oleh Wiradadaha.
- Karawang diperintah oleh Tumenggung Panatayuda.
- Imbanagara diperintah oleh Ngabehi Ngastanagara.
- Kawasen diperintah oleh Mas Managara.
- Galuh oleh Wirabaja.
- Sekace.
Khusus Sakace terdapat perbedaan versi
antara Babad Cirebon dan Babad Pasundan, karena babad Cirebon tidak mengenal
daerah Sekace melainkan Sindangkasih, sama dengan yang dijelaskan para penulis
dalam rpmsJB.
Reorganisasi ini juga menghapuskan
jabatan wedana bupati di Priangan, terakhir dijabat oleh Pengeran Rangga Gempol
III atau dikenal pula dengan sebutan Pangeran Panembahan, bupati Sumedang pada
periode 1656 – 1706.
Reorganisasi daerah Priangan
mengakibatkan jabatan bupati Sumedang, yang semulai bergelar “Pangeran” menjadi
sederajat dengan bupati lainnya di Priangan, sama-sama bergelar ministeriales –
perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan, menurut Natanegara (1936) :
“menyebabkan ketidak senangan Rangga Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana
Bupati Priangan, sehingga memaksa Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang
untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya timbul konflik antara Rangga Gempol III
dengan ketiga Bupati tersebut” (Hardjasaputra, hal 24).
Sultan Agung wafat pada tahun 1645, ia
digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677), putranya. Pasca wafatnya
Sultan Agung kekuasaan Mataram berangsur-angsur turun dan menjadi lemah.
Demikian pula pengaruhnya terhadap daerah-daerah kekuasaan lainnya yang semula
dikuasai Mataram.
Mataram menjadi sangat lemah karena
perselisihan diantara para pewaris tahta Amangkurat I yang tidak berkesudahan.
Disamping itu, kerap terjadi serangan dari luar, seperti dari pasukan Makasar
dan Madura. Amangkurat II didalam cara menyelesaikan masalah tersebut banyak
meminta bantuan VOC. Bantuan yang diberikan tidak Cuma-Cuma, karena harus
dibayar dengan beberapa wilayah yang dikuasainya.
Priangan khususnya dan sebagian Jawa
Barat (yang berada diluar Banten dan Cirebon), menjadi wilayah Mataram akibat
diserahkan tanpa syarat oleh Pangeran Aria Suriadiwangsa, mengalami nasib yang
tidak kalah menyedihkan, daerah ini terpaksa harus diserahkan kepada VOC,
sebagai bentuk kompensasi dari Mataram kepada VOC.
Pada mulanya wilayah Priangan Tengah
dan Barat diserahkan kepada VOC sebagai daerah pinjaman, namun dalam proses
selanjutnya Mataram semakin melemah dan dirundung permasalahan, dan terus
menerus meminta bantuan VOC.
Priangan diserahkan melalui dua tahap,
yakni pada tahun 1677 dan 1705. Tahap pertama dilakukan pada perjanjian 19-20
Oktober 1677, diserahkan wilayah Priangan Tengah dan Barat. Pada tahap kedua
pada perjanjian 5 Oktober 1705, Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur dan
Cirebon. Mataram sendiri secara total menjadi kekuasaan VOC pada tahun 1757.
(Hardjasaputra, hal 31).
Tentang proses waktu tersebut, sumber
Sumedang mengisahkan adanya eksistensi Pangeran Rangga Gempol III yang berupaya
mengembalikan kejayaan Sumedang, sebagaimana pada masa Sumedanglarang ketika
masih dikuasai Prabu Geusan Ulun. Kisah ini disitir didalam rpmsJB, : Rangga
Gempol III pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada
hari Senin tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat
didalam buku harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat
tersebut menuntut kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana
wilayah yang dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).
Pangeran Rangga Gempol III (1656 –
1706) dikenal sebagai bupati yang cerdas dan pemberani. Ketika diangkat menjadi
penguasa Sumedang bergelar Kusumahdinata VI, kemudian menyandang gelar Pangeran
Panembahan. Suatu gelar yang diberikan Amangkurat I Mataram atas bakti dan
kesetiaannya kepada Mataram.
Kekuasaan Rangga Gempol III di anggap
wilayah Mataram yang paling besar di Priangan. Namun sejarah mencatat, bahwa
Pangeran Gempol III adalah bupati Sumedang yang merangkap Wedana Bupati
Priangan terakhir, untuk kemudian status para bupati Sumedang dianggap
sederajat dengan bupati lainnya.
Sebagaimana dijelaskan diatas, pasca
wafatnya Sultan Agung mengakibatkan Mataram menjadi lemah, hal tersebut akibat
banyak gangguan stabilitas dari dalam dan luar keraton. Untuk mengatasi
permasalahannya Mataram kerap meminta bantuan VOC. Bantuan tersebut tidak
diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus dibayar dalam bentuk penyerahan
wilayah kekuasaannya kepada VOC.
Dalam rangka memenuhi kewajiban
terhadap VOC, konon pada tahun 1652 Mataram mengadakan perjanjian lisan dengan
VOC untuk memberikan hak pakai secara penuh atas daerah sebelah barat Sungai
Citarum. Wilayah tersebut berada diluar wilayah Sumedang. Ketika itu Sumedang
berada dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh alias Rangga Gempol II.
Penghapusan Wedana Bupati
Menurut Hardjasaputra, kira-kira tahun
1657 Amangkurat I membagi daerah priangan, dikarenakan pasca pemberontakan
Dipati Ukur di Priangan, khususnya di Priangan Tengah masih kacau. Disamping
itu ada kekhawatiran terhadap kedudukan VOC di Batavia semakin kuat dan Banten
sedang melebarkan kekuasaanya kewilayah timur. Oleh karena itu ia pun
memperkuat Priangan Barat.
Reorganisasi tersebut dilakukan pada
masa Rangga Gempol III menjabat “Wedana Bupati Priangan” dan sekaligus
merangkap sebagai penguasa Sumedang (1656 – 1706). Para bupati Sumedang
sebelumnya bergelar “Pangeran”, dengan adanya reorganisasi maka Rangga Gempol
menjadi sederajat dengan bupati lainnya yang ada di Priangan, sama-sama
bergelar ministeriales – perantara raja Mataram dengan rakyat Priangan.
Masalah ini dianggap merugikan Rangga
Gempol III, menurut Natanegara (1936) : “menyebabkan ketidak senangan Rangga
Gempol III”. Ia ingin terus menjadi Wedana Bupati Priangan, sehingga memaksa
Bupati Bandung, Sukapura, dan Parakan muncang untuk tetap tunduk kepadanya. Akibatnya
timbul konflik antara Rangga Gempol III dengan ketiga Bupati tersebut”
(Hardjasaputra, hal 24).
Tentang masalah konflik tersebut,
mungkin ada hubungannya dengan sumber Sumedang yang menghubungkan alasan Rangga
Gempol III merebut kabupatian lain yang dibentuk Mataram pada masa Rangga
Gempol II, seperti Bandung, Parakan Muncang dan Sukapura. Hal tersebut
dikisahkan terjadi pasca Rangga Gempol menguasai pantai utara.
Akibat Perjanjian Mataram
Sumber Sumedang menjelaskan adanya
perjanjian lisan antara Mataram dengan VOC pada tahun 1652, mungkin yang
dimaksud adalah perjanjian pinjam pakai atas tanah, namun VOC merasa tidak puas
dengan perjanjian tersebut. Pada tahun 1677 dilakukan perjanjian secara
tertulis. Konon dari pihak Sumedang dihadiri oleh Rangga Gempol III.
Salah satu butir perjanjian
menyebutkan batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan
mutlak oleh Mataram kepada VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis
tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan tersebut oleh
Amangkurat I ditolak, dengan alasan daerah antara Citarum dan Cipunagara
termasuk kekuasaan kabupatian Sumedang dan bukan daerah kekuasaan Mataram.
Daerah antara Citarum dan Cipunagara termasuk wilayah Sumedanglarang ketika
masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun.
Penolakan Mataram diterima dengan baik
oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan
demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut, namun VOC meminta agar daerah yang
dikuasainya sebagai hak pakai yang diberikan Mataram pada tahun 1652 menjadi
milik VOC.
Ada kisah dari versi lain yang berasal
dari penelitian, bahwa : “Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 19 – 20
Oktober 1677 tersebut menyebabkan Priangan Barat dan Priangan Tengah jatuh
ketangan VOC”. (Hardjasaputra, Hal 31).
Memang Hardjasaputra (2004) tidak
menjelaskan ada upaya dari Rangga Gempol III untuk mengembalikan wilayah
Sumedang sebagaimana pada masa Prabu Geusan Ulun, bahkan didalam tulisannya
tidak ditemukan adanya perjanjian lisan yang dibuat pada tahun 1652.
Namun sumber Sumedang menyatakan,
bahwa : Keinginan Rangga Gempol untuk mengembalikan wilayah kerajaan
Sumedanglarang tentunya sangat sulit dilaksanakan, wilayah tersebut sudah
dikuasai oleh Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Oleh karena itu Rangga Gempol
III baru dapat memperluas wilayahnya ke pantai utara, seperti Ciasem, Pamanukan
dan Indramayu yang masih termasuk kekuasaan Mataram.
Sumedang pada masa sebelumnya sangat
tergantung kepada Mataram dan tidak memiliki pasukan yang kuat. Untuk memperkuat
posisi Sumedang di pantai utara, maka Rangga Gempol III meminta bantuan Banten.
Kebetulan saat itu Banten masih konflik dengan Mataram disebabkan Mataram
sangat dekat dengan VOC. Banten menyambut baik permintaan ini, dan meminta
Sumedang bergabung dengan Banten untuk menyerang VOC dan Mataram.
Permintaan Banten demikian
mengurungkan niat Pangeran Panembahan untuk menerima bantuan Banten, mengingat
ada kekhawatiran terjadi kembali peristiwa Raden Suriadiwangsa II (lihat : Bab
pembagian Ajeg), ia pun memperhitungkan pasukan VOC yang sangat kuat dan tidak
mungkin pada masa itu dapat dikalahkan.
Pembatalan rencana permintaan bantuan
Banten menimbulkan pula kekhawatirannya akan serangan Banten dikemudian hari.
Untuk alasan ini Rangga Gempol III mengirim surat kepada VOC, isinya memohon
bantuan untuk menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara agar dapat
mencegah pasukan Banten, sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh langsung
oleh Sumedang. Surat tersebut dikirimkan pada tanggal 25 Oktober 1677. Sebagai
imbalan, Rangga Gempol memberikan daerah antara Batavia dan Indramayu.
Jika dilihat dari wilayah yang
dihadiahkan kepada VOC, sebenarnya Sumedang tidak merasa kehilangan, mengingat
daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan perjanjian
tahun 1677. Disisi lain, perjanjian Mataram dengan VOC pada 25 Februari dan 20
Oktober 1677 memberikan keuntungan langsung bagi Sumedang, karena dengan
dikuasainya daerah tersebut oleh VOC maka secara otomatis VOC akan menempatkan
pasukannya untuk menjaga wilayah tersebut dan dapat menghambat pasukan Banten
untuk menyerang Sumedang. Konon masalah ini tidak disadari VOC pada waktu itu,
bahkan menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat.
Untuk memperkuat posisinya diluar
wilayah Sumedang, Rangga Gempol III juga mengadakan hubungan dengan penguasa
Batulajang (bagian selatan Cianjur), yakni Rangga Gajah Palembang, cucu
(mungkin juga putra) Dipati Ukur.
Langkah Rangga Gempol III selanjutnya,
ia menyerang wilayah pantai utara, seperti daerah Ciasem, Pamanukan dan
Ciparagi. Daerah tersebut sangat mudah dikuasai, bahkan di Ciparigi ditempatkan
pasukan Sumedang untuk mempersiapkan menyerang Karawang. Langkah selanjutnya
perluasan wilayah diarahkan ke Indramayu, namun Indramayu segera mengakui Rangga
Gempol III sebagai penguasa Indramayu. Dari bertambahnya daerah kekuasaan
Sumedang maka secara praktis daerah pantai utara Jawa, kecuali antara Batavia
dan Indramayu menjadi bawahan Sumedang.
Serangan Banten
Kekhawatiran Rangga Gempol III
terhadap Banten terbukti ketika ia sibuk menaklukan pantai utara, sementara
Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang.
Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan
Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes, memutar jalur
perjalanan dari Tangerang ke Patimun Tanjungpura, sehingga berhasil lolos dari
penjagaan VOC.
Perjalanan tersebut tiba di Sumedang
pada bulan Oktober, namun pasukan Banten tidak dapat menguasai Ibukota Sumedang
karena kokohnya pertahanan Rangga Gempol III. Dari pertempuran yang memakan
waktu kurang lebih satu bulan, pasukan Banten kehilangan senapatinya yang
tangguh, yakni Raden Senapati.
Kegagalan Banten pada serangan pertama
disebabkan huru hara di intern Kesultanan Banten, mengingat adanya pertikaian
antara Sultan Agung Tirtayasa yang memerlukan pasukannya untuk menghadap
putranya, yakni Sultan Haji yang dibantu Belanda, sehingga pasukan Banten
ditarik mundur dari Sumedang.
Untuk memperkuat posisinya Sumedang
meminta bantuan VOC, terutama senjata dan mesiu. Didalam buku rpmsJB dijelaskan
mengenai jalur pengiriman bantuan tersebut, melalui sebelah utara Gunung
Tampomas, yakni dari muara Ciasem dengan menggunakan rakit sampai di
Cileungsing, untuk kemudian dilakukan melalui jalan darat (Hal. 52).
Bantuan VOC tersebut tidak mendapat
kompensi dari Sumedang, karena Rangga Gempol III tidak taat terhadap janjinya ;
tidak pernah datang ke Batavia untuk melakukan Sowan, sebagaimana layaknya
penguasa wilayah jajahan ; dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau
upeti. Akibatnya, VOC menarik pasukannya dari pantai utara.
Namun ada versi lain yang
mempertanyakan, apakah memang penarikan pasukan VOC disebabkan Rangga Gempol
ingkar janji, mengingat kuatnya pasukan VOC yang sewaktu-waktu dapat menyerang
Sumedang atau dipersiapkan untuk membantu Sultan Haji yang sedang melakukan
pemberontakan di Surasowan.
Pasca menguasai pantai utara, Rangga
Gempol III mengalihkan perhatiannya untuk menguasai daerah kebupatian yang
dibentuk oleh Mataram, yakni Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura. Rangga
Gempol III menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedanglarang kecuali antara
Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC pada
tahun 1677.
Kisah ini berbeda dengan apa yang
ditulis didalam buku rpmsJB jilid empat dijelaskan, bahwa : Rangga Gempol III
hanya menguasai 11 dari 44 daerah yang semula dikuasai Geusan Ulun. Selebihnya
sudah menjadi bawahan Bandung (8 daerah), Parakan Muncang (9 daerah) dan
Sukapura 16 daerah (Hal. 57).
Kisah yang sama ditemukan pada versi
lain, namun hanya mengisahkan adanya perselisihan antara Rangga Gempol III
dengan para bupati yang dibentuk Mataram, yakni bupati Bandung, Parakanmuncang
dan Sukapura, sebagai dampak dihapusnya jabatan Wedana Bupati yang semula di
sandang Rangga Gempol III menjadi sejajar statusnya dengan bupati lain yang ada
di Priangan.
Sementara Rangga Gempol III masih
menganggap para bupati tersebut sebagai bawahannya. Kisah ini tidak sampai pada
uraian tentang keberhasilan Rangga Gempol menguasai kembali kabupatian di
Priangan Tengah, karena hanya dikisahkan sebatas “ada persilihan”.
Pada masa kekuasaan VOC disadari,
bahwa para bupati Priangan memiliki wibawa dan pengaruh terhadap rakyatnya.
Akan tetapi disadari pula, pengangkatan salah seorang bupati Priangan untuk
menjadi Bupati Kepala akan menimbulkan konflik diantara para bupati seperti
yang terjadi pada Vasaal Mataram. Atas dasar pertimbangan ini kemudian VOC
mengangkat bupati kepala yang berasa dari luar Priangan. Oleh karena itu VOC
mengangkat Pangeran Aria Cirebon untuk menjadi Bupati Kepala (Bupati Kompeni),
sebagaimana terdokumentasikan didalam Besluit tanggal 19 Februari 1706. Bupati
Kepala bertugas mengawasi dan mengkoordinir bupati-bupati Priangan, agar mereka
melaksanakan kewajiban terhadap VOC secara tertib dan lancar (Hardjasaputra –
2007).
KEKUASAAN VOC
Serangan Banten ke dua dilakukan pada
awal oktober 1678. Pada awalnya pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah
yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan.
Pada masa itu daerah-daerah tersebut sudah tidak lagi dijaga pasukan VOC.
Penyerangan ke jantung kekuasaan
Sumedang terlebih dahulu dilakukan dengan mengepung Sumedang. Hal ini dalukan
oleh gabungan pasukan Banten, Bali dan Bugis, bertepatan pada awal bulan puasa,
hari jum’at tanggal 18 Oktober 1678. Konon kabar pasukan gabungan tersebut di
pimpinan oleh Cilikwidara dan Cakrayuda.
Pelaksanaan penyerangan dilakukan
tepat Hari Raya Idul Fitri, ketika itu Rangga Gempol III beserta rakyat
Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong. Tentunya siapapun
tidak akan ada yang pernah menduga serangan tersebut akan dilakukan pada waktu
shalat ied, apalagi penyerang dan yang diserang sama-sama memiliki ciri islam
yang kental. Akibatnya banyak kerabat keraton dan rakyat Sumedang yang tewas,
namun Rangga Gempol berhasil meloloskan diri ke Indramayu.
Rangga Gempol III pada masa
pelariannya berupaya mengumpulkan sisa-sisa kekutan. Dengan bantuan dari
Galunggung pada akhirnya Sumedang dapat direbut kembali. Namun pada medio Mei
1679 Banten kembali menyerang Sumedang dengan pasukan lebih besar, akhirnya
Sumedang jatuh kembali ke tangan Banten, sementara itu Rangga Gempol III
terpaksa mundur kembali ke Indramayu.
Pendudukan Sumedang oleh pasukan
Banten hanya berlangsung sampai dengan bulan Agustus 1680, karena pasukan
Banten ditarik untuk mendukung Sultan Ageng Tirtayasa yang sedang menghadapi
Sultan Haji yang didukung oleh VOC.
Dalam konflik ayah dengan anak tersebut
dimenangkan Sultan Haji. Menurut Untoro (2007) : sejak masa kekalahan Sultan
Ageung Tirtayasa oleh Sultan Haji, secara praktis kedaulatan Banten runtuh,
apalagi setelah ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 April 1984 (Hal.
41). Banten pada masa Sultan Haji tidak lagi mengganggu Sumedang, bahkan Sultan
Haji berjanji kepada VOC, bahwa : Banten tidak akan mengganggu Cirebon dan
Sumedang.
Pada tanggal 27 Januari 1681 Rangga
Gempol III kembali ke Sumedang. Kemudian pada bulan Mei 1681 Rangga Gempol III
memindahkan pusat pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan atau daerah
Sumedang (sekarang) dan membangun gedung Srimanganti (saat ini menjadi Museum
Prabu Geusan Ulun), namun tidak sempat disaksikannya, karena pada tahun 1706
Rangga Gempol III wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh.
Menurut buku rpmsJB, Rangga Gempol III
pernah mengirimkan surat kepada Gubernur Willem Van Outhoorn pada hari Senin
tanggal 2 Rabiul’awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat didalam buku
harian VOC di Batavia pada tanggal 31 Januari 1691. Isi surat tersebut menuntut
kepada VOC agar wilayah kekuasaannya dipulihkan sebagaimana wilayah yang
dikuasai Geusan Ulun, leluhurnya (rpmsJB, hal 57).
Pada perjanjian tanggal 5 Oktober
1705, antara Mataram dengan VOC, wilayah Priangan Timur dan Cirebon diserahkan
kepada VOC, dengan demikian seluruh Jawa Barat dan Banten praktis menjadi
wilayah kekuasaan VOC, sedangkan Mataram diserahkan kepada VOC pada tahun 1757.
Rangga Gempol III digantikan oleh
putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat
oleh VOC. Kemudian didalam salah satu piagamnya yang bertanggal 15 November
1684, VOC mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk memerintah atas
nama VOC. Pada peristiwa ini jumlah penduduk (cacah) yang berada dibawah
masing-masing wilayah sudah ditentukan serta dijadikan ukuran kekuasaan para
bupati. Hal ini dilatar belakangi oleh kepentingan VOC untuk memaksimalkan
potensi masing-masing wilayah dalam mengelola hasil buminya, semakin produktif
daerah tersebut maka semakin besar penghasilan yang didapat VOC.
Menurut de Klein dan Natanegara
didalam Volks Almanak Sunda, masing-masing bupati tersebut memperoleh cacah,
sebagai berikut : (1) Pangeran Sumedang 1015 cacah ; (2) Demang Timbanganten
1125 cacah ; (3) Tumenggung Sukapura 1125 cacah ; (4) Tumenggung Parakanmuncang
1076 cacah ; (5) Gubernur Imbanagara 708 cacah (6) Gubernur Kawasen 605 cacah
(7) Lurang-lurah Bojonglopang 20 cacah dan 10 Desa. (Hardjasaputra, hal. 32). Sekian.
Referensi
:
Sumedang
Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
Sejarah
singkat Kabupaten Sumedang – sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
Rintisan
masa silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat
Pemeirntahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk.
1983 – 1984.
Bupati Di
Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
Sejarah
Jawa Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
Bupati Di
Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana
Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai
Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
Bupati Di
Priangan, Kedudukan dan Peranannya pada Abad ke-17 – Abad ke 19, A. Sobana
Hardjasaputra, dalam buku : Bupati di Priangan – dan Kajian lainnya mengenai
Budaya Sunda (Seri Sunda Lana), Pusat Studi Sunda, Bandung – 2004.
Kapitalisme
Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522 – 1684. Kajian Arkeologi Ekonomi, Heriyanti
Ongkodharma Untoro, Fakultas Ilmu Pengerahuan Budaya, Jakarta – 2007.
Rintisan
penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat
Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk,
1983 – 1984.
0 on: "Sumedang Larang dalam Lintasan Sejarah Tatar Sunda"