Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Membicarakan sejarah Cirebon bagai tak pernah putus dan
tiada akhir. Itulah ungkapan yang pas ketika kita menelisik sejarah panjang
kerajaan yang berpusat di pesisir utara Jawa ini.
Pada Abad 16 - 17
masehi, Kesultanan Cirebon adalah pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antar pulau ketika itu. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang
merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi
pelabuhan yang sangat strategis sekaligus juga merupakan “jembatan” antara
kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.
Pada naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari menyebutkan, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh
kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi
sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (campuran), karena di sana
bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat
istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau
berdagang.
Pada pada awalnya
sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan
cai-rebon (air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Ki Gedeng Alang-alang
adalah kuwu atau kepala desa pertama yang diangkat oleh masyarakat Caruban.
Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu
putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak
lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya
sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Dengan demikian dia
adalah cucu dari Ki Gendeng Tapa.
Pada tahun 1521, Prabu
Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya
menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Namun demikian
Pangeran Cakrabuana tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran
karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang – ibunya),
sementara pada saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah
Sunda Wiwitan. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak
laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika menggantikan Ki
Ageng Alang-alang yang wafat, Pangeran Cakrabuana mendirikan istana Pakungwati
dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon. Dan menyebarkan agama Islam di tanah
Pasundan mulai tahun 1445. Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayah
dari Pangeran Cakrabuana, yaitu Prabu Suliwangi merasa senang. Kemudian ia
mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik pangeran Cakrabuana menjadi raja
Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana.
Dari Prabu Siliwangi ia
juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan
menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan
lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru
bersikap “rasika dharmika ring pameluk agami Rasul” (adil bijaksana terhadap
orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Pada tahun 1447, jumlah
penduduk pesisir Cirebon hanya 348 jiwa,
terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106
orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang,
Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut
seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Pada tahun 1479,
Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati.
Kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil
perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah
(1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.
Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulai ketika dipimpin oleh
Sunan Gunung Jati yang gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda, Ingkang
Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purbawasesa Panetep Penatagama Aulia Allahu
Ta’ala Kutubizaman Kholifatur Rosulullah Shollollahu ’Alaihi Wassalam. Ia juga
kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan
Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Tahun 1568 Sunan Gunung
Jati wafat, Fatahillah kemudian naik tahta. Fatahillah menduduki tahta kerajaan
Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570,
dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan
makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Pada mulanya calon kuat
pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran
Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih
dahulu pada tahun 1565. Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon
lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas putra
tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati.
Pangeran Emas kemudian
bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun
hingga tahun 1649. Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649,
pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran
Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing
Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi
kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma
yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan
Ratu II. Ia memerintah hingga tahun 1677.
Puteri Ratu Ayu Sakluh
putri dari Pangeran Suwarga (Adipati Cirebon I), masih cicit dari Syarif
Hidayatullah, dipersunting Sultan Agung Mataram. Dari perkawinan tersebut,
lahir Sunan Tegalwangi yaitu Amangkurat I. Sunan Tegalwangi berputera
Amangkurat II yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Penguasa
Mataram. Puteri Sunan Tegalwangi atau Amangkurat I kemudian berjodoh dengan
Panembahan Girilaya putra Pangeran Seda ing Gayam. Dari puteri Amangkurat I,
Panembahan Girilaya berputra tiga, yaitu: Pangeran Mertawijaya alias Pangeran
Samsudin, Pangeran Kertawijaya alias Pangeran Badridin, dan Pangeran Wangsakerta.
Karena Ratu Ayu Sakluh
itu kakak Panembahan Ratu, maka raja Cirebon dengan raja Mataram masih
berkerabat. Tapi raja Matararn, Sunan Tegalwangi, senantiasa ingin merebut
Cirebon. Sementara itu raja Cirebon juga berkerabat dengan raja Banten, padahal
Banten dengan Mataram selalu bermusuhan. Banten merasa curiga sebab Cirebon
dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan
Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak
sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.
Selama menjadi penguasa
Cirebon ia selalu berada di Mataram bersama kedua orang putranya yaitu:
Pangeran Samsudin Mertawijaya dan Pangeran Badridin Kertawijaya. Adapun putra
Pangeran Panembahan Girilaya yang ketiga tinggal di keraton Cirebon mewakili
ayahnya.
Setelah Pangeran
Panembahan Girilaya wafat, Pangeran Samsudin Mertawijaya ditunjuk menjadi
Panembahan Sepuh kemudian disebut Sultan Kasepuhan pertama, adiknya, Pangeran
Badridin Kertawijaya ditunjuk menjadi Panembahan Anom kemudian disebut Sultan
Kanoman pertama dan adiknya, Pangeran Wangsakerta ditunjuk menjadi sultan
ketiga dengan gelar Panembahan Cirebon.
Pada waktu itu tiga
negara ingin menguasai Cirebon yaitu: Banten, Mataram dan Belanda, padahal para
sultan menghendaki negaranya merdeka. Sementara itu raja Mataram, Amangkurat I
sedang berperang dengan Trunojoyo yaitu putra Adipati Madura, Pangeran
Cakraningrat.
Tentara Madura yang
dipimpin oleh Trunojoyo bergabung dengan tentara Makasar yang dikepalai Kraeng
Galesung dan Monte Marano. Dalam pertempuran di berbagai daerah, tentara
Mataram selalu menderita kekalahan. Tak lama kemudian tentara Madura dan
tentara Makasar berhasil merebut ibukota Mataram. Amangkurat I dan putranya,
Pangeran Dipati Anom beserta para pengiringnya melarikan diri ke arah barat.
Ketika Ibukota Mataram
direbut oleh tentara Madura dan Makasar, Pangeran Samsudin Mertawijaya dan adiknya berada di
sana. Mereka ditawan oleh Trunojoyo lalu dibawa ke Kediri. Juga Ratu Blitar
serta beberapa kawulanya. Di sana mereka mendapat perlakuan hormat dari
Trunojoyo.
Untuk membebaskan
kakak-kakaknya Pangeran Wangsakerta beserta rombongan para pejabat tinggi
Cirebon pergi ke Banten meminta bantuan kepada Sultan Ageng Tirtayasa. Hal ini ia lakukan karena Sultan Banten masih
kerabatnya. Sultan Ageng membantu dengan
senang hati. Karena sedari awal api permusuhan dengan dengan Mataram sudah ada
sebelumnya.
Rombongan Cirebon
bersama tentara Banten selanjutnya pergi menuju Kediri naik menggunakan kapal
perang Banten. Trunojoyo dikirim surat oleh Sultan Banten yang berisi
permintaan agar para pangeran dari Cirebon beserta pengiringnya dibebaskan.
Bersamaan dengan itu Sultan Banten memberikan hadiah sebagai rasa suka citanya
karena Trunojoyo berhasil merebut ibukota Mataram.
Kedatangan rombongan disambut
baik oleh Trunojoyo. Panembahan Sepuh,
Panembahan Anom beserta pengiringnya demikian juga Ratu Blitar pun
dibebaskan. Selanjutnya rombongan pulang
ke Banten dan disambut oleh Sultan Ageng.
Ia lalu menunjuk Pangeran Samsudin Mertawijaya sebagai Sultan Sepuh yang
kemudian disebut Sultan Kasepuhan, Pangeran Badridin Kertawrijaya menjadi
Sultan Anom yang kemudian disebut Sultan Kanoman dan Pangeran Wangsakerta
menjadi Sultan ketiga dengan sebutan Panembahan Ageng Gusti Cirebon alias
Panembahan Tohpati atau Abdul Kamil Mohammad Nasarudin.
Anak Panembahan
Girilaya yang lain, yaitu Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan
melainkan hanya Panembahan (Cirebon). Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat
belajar para intelektual keraton. Oleh Sultan Ageng Tirtayasa Kesultanan
Cirebon dibagi dua yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Pangeran Martawijaya diangkat
menjadi Sultan Keraton Kasepuhan dan memerintah hingga 1703 sedangkan Pangeran
Kartawijaya diangkat menjadi Sultan Keraton Kanoman dan memerintah hingga tahun
1723. Sejak saat itulah berdiri Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman dan
Panembahan Cirebon. Sekian. Nuwun.
Bumi Para Nata,
Ngayogyokarto Hadiningrat, 07/05/2017
Disarikan dari berbagai sumber terpilih
0 on: "Sejarah Kesultanan Cirebon : Dalam Pusaran Konflik Mataram dan Banten"