Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Paris. Begitulah orang Jogja sering menyebutnya untuk Pantai
Parangtritis. Pantai yang terletak di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta ini merupakan obyek wisata yang dikelola oleh Pemkab
Bantul. Maka untuk masalah fasilitas jangan ditanya, Bantul dengan semboyan nya
Projo Tamansari ini salah satu Kabupaten yang telah berkembang pesat. Bisa
dikatakan sudah mendunia, sepadan dengan Pantai Kuta, Bali, Cuma tidak ada yang
berbikini ria saja di pantai ini.
Sebagian orang Jawa mempercayai
bahwa Pantai ini adalah gerbangnya kerajaan gaib Ratu kidul, banyak sekali
mitos-mitos yang hadir di masyarakat. Seperti contoh ketika kita berkunjung ke
pantai parangtritis dan pantai-pantai lain kita dilarang menggunakan baju
berwarna hijau. Karena jika menggunakan baju warna hijau mitos nya kita akan
ditarik masuk ke dasar pantai dan kembali dengan keadaan sudah tidak bernyawa.
Mitos-mitos seperti itulah yang terkadang meresahkan pengunjung pantai. Padahal
mitos ini ada penjelasan ilmiahnya, selengkapnya bisa sampeyan baca Mitos
Tumbal Terseret Ombak di Pantai Parangtritis.
Lantas apa korelasinya Parangtritis
dengan judul di atas, Syekh Belabelu dan Syekh Damiaking? Baik, mari kita
membincangnya lebih gayeng.
Begini kisanak, korelasi secara
langsung sebenarnya tidak ada. Hanya saja keberadaan Syekh Belabelu, lebih
tepatnya makamnya tak jauh dari pantai Parangtritis. Jika sampeyan kebetulan di
Pantai Parangtritis, disana akan sampeyan dapati dua bukit yang ketinggiannya
hampir sama, disalah satunya itulah makam Syekh Belabelu yang sedang kita
bincang ini. Dua bukit tersebut yang sebuah dikenal dengan nama Bukit Sentana
dan yang sebuah lagi bernama Bukit Pamancingan.
Menurut cerita, dahulu di puncak
kedua bukit itu masing-masing terdapat bangunan rumah untuk pondok. Yang
tinggal di Pondok Pamancingan ialah Syekh Belabelu, sedang yang tinggal di
pondok Bukit Sentana ialah Syekh Maulana Mahgribi. Tapi sebelumnya kita bahas
dulu Syekh Belabelu dan Damiaking buar tidak rancu.
Menurut cerita tutur setempat
Syekh Belabelu adalah salah satu keturunan dari Prabu Brawijaya terakhir. Ia
mempunyai nama kecil Raden Jaka Bandem. Pada awalnya Raden Jaka Bandem tidak
bisa menerima agama Islam. Oleh karena itu pulalah ia menyingkir dengan
menyusuri pantai selatan ke arah barat sampai di perbukitan Parangtritis.
Tidak ada sumber yang dapat
menjelaskan mengapa dari nama Raden Jaka Bandem ini kemudian berubah menjadi
Syekh Belabelu. Raden Jaka Bandem ini dalam pengembaraannya kemudian menetap di
bukit yang sekarang termasuk dalam wilayah Kalurahan Mancingan. Di bukit ini
Syekh Belabelu mempunyai kegiatan membuat patung.
Patung-patung yang dibuat antara
lain berupa patung Punakawan dan Banteng. Oleh karena keberadaan patung Banteng
itu pula, maka bukit yang didiami Syekh Belabelu ini dinamakan Bukit atau
Gunung Banteng yang sekarang termasuk dalam wilayah administrasi Dusun
Mancingan, Kalurahan Parangtritis, Kretek, Bantul, Yogyakarta. Di bukit inilah
Syekh Belabelu tinggal bersama Syekh Damiaking sampai meninggalnya. Dalam
cerita tutur setempat disebutkan bahwa Syekh Belabelu adalah kakak beradik
dengan Syekh Damiaking. Akan tetapi versi lain menuturkan bahwa mereka hanyalah
dua saudara seperguruan.
Berkaitan dengan dua patung yang
dibuat Syekh Belabelu itu sampai sekarang masih ada. Patung yang
diidentifikasikan sebagai Banteng ini sekarang terletak di sebelah timur
kompleks makam, tepatnya di sisi dinding selatan gedung peristirahatan bagi
peziarah. Patung ini kondisinya sudah rusak. Bagian kepala patung tampak
terpenggal dan hilang.
Hari paling ramai untuk kunjungan
peziarahan di makam Syekh Belabelu dan Damiaking adalah hari Jumat. Banyak peziarah datang ke tempat ini dengan
berbagai permohonan. Sesuai tradisi setempat siapa pun yang merasa berhasil
setelah memohon sesuatu di tempat ini kemudian mengadakan syukuran dengan
membuat persembahan (caos dhahar) berupa nasi liwet ayam. Nasi liwet ayam
adalah nasi yang ditanak setengah matang kemudian didalamnya diberi ingkung
ayam yang telah dimasak matang. Nasi dan ayam yang telah dimasak itu kemudian
dimasak terus hingga nasinya menjadi matang.
Jika semua selesai barulah
makanan berupa nasi liwet ayam itu dipersembahkan melalui jurukunci setempat. Jalan
mendaki ke kompleks makam ini telah diperkeras dengan beton serta dibuat
berundak-undak. Dari kompleks makam ini peziarah dapat menikmati pemandangan
pantai Parangtritis dengan laut selatan (Samudra Indonesia).
Sedangkan dalam versi lain di
ceritakan juga sebagai berikut :
Babad Demak menyebutkan bahwa
setelah Majapahit runtuh karena serangan Demak, banyak putra-putri keturunan
Brawijaya yang mengungsi menyelamatkan diri. Salah satunya ialah Raden
Dhandhun, putra Prabu Brawijaya dari selir. Dalam usia yang masih terbilang
muda, Raden Dhandhun terpisah dari keluarganya, keluar masuk hutan, mendaki
gunung, menuruni jurang, terlunta-lunta tak jelas arah tujuannya. Hingga pada
suatu ketika Raden Dhandhun tiba di Desa Mancingan, Yogyakarta.
Pada waktu itu, di Mancingan ada
seorang pendeta Budha (Hindu?) yang sangat mumpuni ilmu agamanya dan bernama
Kyai Selaening. Oleh sang pendeta, Raden Dhandhun diganti namanya menjadi Kyai
Belabelu untuk keperluan penyamaran identitas. Beliau diperintahkan untuk ke
puncak gunung sebelah barat Gunung Sentana yaitu setelah Gunung Bantheng.
Kyai Belabelu ini sejak tiba
sudah terlihat kalau ia rajin melakukan tapa. Ia biasa tidak tidur hingga tiga
sampai empat hari. Tetapi, Raden Dhandhun tidak kuat menahan lapar,
sebentar-sebentar ia harus makan. Sebab, tiap hari ia biasa makan tiga sampai
empat kali. Kesukaannya adalah nasi ayam liwet yaitu nasi yang dimasak
menggunakan santan kelapa dan dalamnya diisi dengan daging ayam. Karenanya,
kemudian Kyai Selaening meminta Raden Dhandhun untuk mencuci beras di Sungai
Beji, sebelah utara Parangendhog, kira-kira 5 km dari Gunung Bantheng.
Dengan cara seperti itu nafsu
makannya dapat dikurangi menjadi sekali dalam sehari. Saking gemarnya melakukan
ulah batin, Kyai Belabelu pun kemudian memperoleh kelebihan yang bisa digunakan
untuk menolong warga desa sekitarnya. Karena itu, sampai makamnya saja hingga
kini masih dianggap keramat. Setelah Kyai Selaening masuk Islam, Kyai Belabelu
juga ikut pula masuk Islam.
Oleh Syekh Maulana, Kyai Belabelu diberikan sebutan sebagai Syekh yang berarti sang guru, meskipun beliau
adalah seorang putra raja. Babad tidak menyebutkan apakah Kyai Belabelu itu
menikah atau tidak. Sebab tidak ada orang yang mengaku sebagai keturunannya
Syekh Belabelu. Bahkan setelah wafat pun tidak ada yang tahu dimana makam
beliau yang sesungguhnya. Tetapi yang pasti, makamnya terdapat di sebelah barat
Gunung Sentana. Letak makam Syekh Belabelu baru ditetapkan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono IV sewaktu ia berkuasa.
Seperti yang disebutkan oleh R.
Ng. Djadjalana dalam Bab Pesanggrahan Parangtritis tahun 1933. Disebutkan
sekitar tahun 1830 di Grogol (sebelah utara Parangtritis) ada seorang sesepuh
desa yang juga menjabat sebagai Demang Pemajegan (Pemaosan) yang masih
merupakan keturunan dari Kyai Selaening dan sering melakukan tapa. Pada suatu
malam tatkala Demang Pemajegan pergi ke Segara Kidul (Laut Selatan), ia melihat
cahaya rembulan yang tampak dari balik Gunung Sentana dan jatuh di Gunung
Bantheng.
Di lain hari lagi, ia melihat
cahaya seperti tugu yang terus amblas di Gunung Bantheng. Kejadian ini dialami
berkali-kali. Kemudian Lama-lama tempat jatuhnya cahaya di Gunung Bantheng ini
ditandainya dengan tanda dari kayu. Kejadian ini kemudian diceritakannya kepada
Sri Sultan Hamengkubuwono IV sekalian memohon izin untuk menggali dasar dari
patok makam, siapa tahu diketemukan benda-benda yang aneh. Setelah disetujui,
dilakukanlah penggalian. Pada saat itu ditemukan obyek berupa empat buah batu
hitam yang berjejeran, dua di utara dan dua di selatan. Seperti makam yang
berdampingan tetapi tanpa nisan yang membedakannya. Di dekatnya ditemukan
sebuah lempengan batu hitam bergambar ilir (semacam kipas dari anyaman bamboo)
dan iyan (semacam tampah yang juga terbuat dari anyaman bamboo).
Dimana ‘iyan’ dan ‘ilir’ adalah
alat untuk mendinginkan nasi, yakni setelah nasi ‘diler’ di tampah barulah
dikipasi dengan kipas tadi. Kejadian atas temuan inipun kemudian diberitahukan
kepada Sri Sultan. Dan dilihat dari diketemukannya gambar ilir dan iyan, Sri
Sultan pun kemudian menetapkan bahwa kuburan itu adalah makamnya Syeh Belabelu. Sedangkan yang di sebelahnya adalah makam adiknya Kyai Dami (Gagang)
Aking, yang juga terkenal akan tapa tanpa henti hingga lupa akan makan dan
minum. Karena kesungguhan Syekh Belabelu dan juga Kyai Gagang Aking dalam
melakukan tapa, maka keduanya kemudian bisa mencapai apa yang dicita-citakan,
yaitu pencerahan.
Kemudian atas perintah Sri Sultan
pulalah makam di Gunung Bantheng ini kemudian dicungkup kayu jati. Bagian
luarnya dilapisi menggunakan batu hitam dan atasnya dilangse. Kini, makam
dijaga oleh abdi dalem keraton yang juga adalah penjaga makam dari Syekh
Maulana. Selain kisah di atas, Syekh Belabelu serta adiknya Syekh Damiaking
juga diyakini sebagai murid dari Sunan Kalijaga, yang diperintahkan untuk
melakukan tapa di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Pertapaan Lemah
Putih, yang sangat melegenda di daerah Nganjuk, Jawa Timur. Nuwun. (Urd2210)
0 on: "Syekh Belabelu : Trah Majapahit Yang Terbuang"