Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Matahari tidak pernah memilih kepada siapa dia curahkan sinarnya,bulan
tidak pernah memilih kepada siapa dia usapkan kelembutannya, mengapa kita harus
memilih memberikan kasih sayang kepada sesama?
Evaluasi diri atau muhasabah,
adalah pemakna bagi seluruh manusia di dunia menandai hadirnya tahun baru.
Beruntunglah kita, Kaisar Roma Julius Caesar memutuskan untuk mengganti
penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke 7 SM dengan
kalender Gregorian. Tahun baru Masehi, yang pertama kali dirayakan pada tanggal
1 Januari 45 SM ini, telah meletupkan
kembang api harapan, ditiap pergantian tahun Masehi hingga kini. Ingar bingarnya
semakin membudaya hingga saat ini setiap pergantian tahun.
Dalam sejarahnya, ketika mendesain
kalender baru Masehi, Julius Caesar juga dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli
astronomi dari Iskandariyah, Mesir. Iskandariah sendiri, berasal dari nama
seorang pemimpin besar, Alexander Agung. Julias Caesar juga telah menetapkan
salah satu bulan Masehi dengan namanya sendiri; Juli. Adapun bulan Agustus, berasal
dari nama pengganti Julius, yaitu Kaisar Augustus. Kata ‘Masehi,’ yang
dikonotasikan penanda sebuah agama, sering memunculkan perdebatan tak berujung,
tak berpangkal. Tidak berujung, karena para pendebat masing-masing ngotot
beralasan. Tak berpangkal, karena pendebat itu tidak memahami pangkal bentang
sejarah.
Bagi sebagian sedulur seiman
saya, yakni Muslim, termasuk pada diri saya awalnya, menerjemahkan kata
‘masehi’ itu sebagai penanda agama. Yakni agama saudaraku, umat Kristiani.
Setelah membaca sejarahnya, awal tahun Masehi memang merujuk kepada tahun yang
dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa Al-Masih, karena itu kalender ini
dinamakan Masihiyah atau Yesus dari Nazaret. Sistem penanggalan ini, mulai
diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8. Dalam simpulanku, Tahun Masehi,
adalah penanda lahirnya pemimpin besar, bukan keyakinannya. Artinya, siapapun
dari berbagai latar agama biasa merayakannya.
Lalu bagaimana dengan tahun
Hijriyah? Juga adalah penanda, dari sosok Nabi besar umat Islam, Muhammad SAW.
Dikisahkan, saat Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman
Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan
surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan
saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat
senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhan bin
Ubaidillah.
Mereka bermusyawarah mengenai
kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ketika
itu, usul tercerdas yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a.
yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib
(Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a., dan ditetapkanlah tahun
pertama dalam kalender Islam pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Jadilah tahun
baru Hijriyah pertama dimulai pada tahun 622 Masehi.
Nah, cukup gambang kan? Bahwa
tahun baru Masehi maupun Hijriyah, adalah penanda lahir atau penanda aktifitas
tokoh panutan yang berpengaruh. Tahun baru Saka yang dirayakan umat Hindu juga
berangkat dari nama seorang raja ternama dari India bagian selatan, Saliwahana.
Penanggalannya dimulai saat Saliwahana mengalahkan kaum Saka pada tahun 78 M.
Tahun baru di Indonesia jatuh
pada tanggal 1 Januari. Indonesia mengadopsi kalender Gregorian, yaitu tahun
Masehi, sama seperti mayoritas negara-negara di dunia. Adapun tahun baru
Hijriyah 1439, yang dirayakan umat Islam tahun ini, bertepatan dengan hari
Kamis tanggal 21 September 2017. Tahun Baru Masehi dan Hijriyah, berbeda 24
hari, tahun ini. Kenapa berbeda, karena penanggalan Hijriyah berdasarkan
patokan peredaran bulan (qomariyah), dan kalender Masehi mengacu pada rotasi
matahari (syamsiah). Kenapa Indonesia mengadopsi Kalender Gregorian? Saya belum
tahu. Ada yang bisa membantu?
Memperdebatkan, tentang acuan
penanggalan berdasarkan peredaran benda langit tak ada habisnya. Bagi saya, itu
tidak lebih sebagai kajian keilmuan astronomi. Tentang, apakah penanggalan itu
berhubungan dengan agama, itu betul. Tetapi tidak harus diperdebatkan. Bagi
saya, penanggalan Masehi ataupun Hijriyah, tidak terkait dengan keyakinan
ritual agama. Sebagai penanda, dari rangkaian sejarah yang begitu panjang.
Penanggalan telah melalui pergulatan empirik dan logika keilmuan astronomi.
Sejarah dan ilmu dari pendahulu kita, ribuan tahun silam itu patut dihormati.
Penanggalan Masehi dan Hijriyah,
walau berbeda acuan tetap jumlahnya 12 Bulan. Demikian halnya dengan
Penanggalan Jawa jumlahnya juga 12 sasi (bulan), Bulan Saka yang dirayakan Umat
Hindu, dan juga penanggalan Imlek bagi etnis Tionghoa, semuanya berjumlah 12
Bulan. Peredaran bulan dan matahari adalah ketetapan, hukum alam. Sunnatullah.
Perbedaan seharusnya lebih terletak pada bagaimana cara kita memaknainya, bukan
mengaitkannya dengan keyakinan tertentu.
Jika tahun baru Masehi adalah 1
Januari, sementara tahuh baru Hijriah adalah 1 Muharram. Tahun baru pada sistem
kalender Jawa adalah tanggal 1 Suro, yang pada malam 1 Suro sering diadakan
banyak kegiatan ritual baik oleh masyarakat maupun yang diselenggarakan oleh
beberapa keraton di Jawa.
Ritual tersebut diantaranya
adalah laku topo mbisu mlampah mubeng benteng Keraton Ngayogyokarto
Hadiningrat, larungan atau labuhan dan sedekahan di pantai Parangkusumo,
jamasan pusaka keraton seperti keris dan tombak serta kereta kerajaan, bertapa
di gua Langse, bertapa kungkum di tempuran sungai atau kedung, dan lain
sebagainya.
Lantas, sejak kapan peringatan 1
Suro ini mulai dikenal oleh masayarakat Jawa? Begitu kan pertanyaannya. Baik mari
kita telisik bersama sejarahnya.
Begini kisanak, jika kita runut
sejarahnya, masyarakat Jawa pada masa sebelum pemerintahan Sultan Agung
Hanyokrokusumo itu menggunakan kalender Saka Hindu Jawa yang tidak mengenal
istilah tahun baru 1 Suro.
Seperti yang kita tahu, kalender
atau orang Jawa menyebutnya tanggalan adalah penanggalan yang memuat nama-nama
hari, tanggal, dan bulan. Tapi, Kalender Jawa yang sedang kita bincang ini
lebih dari definisi kalender umum yang sering dipakai kebanyakan orang.
Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk tanggal dan
hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada hubungannya dengan
apa yang disebut Petangan Jawi, yaitu perhitungan baik buruk yang dilukiskan
dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, pranata mangsa, dan
wuku.
Dalam lintasan sejarahnya, semua
itu adalah warisan kebijaksanaan Sultan Agung, raja Mataram. Akulturasi budaya
dan agama sebagai wujud kearifan lokal terdapat dalam sistem kalender Jawa.
Kalender yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Jawa dan pengaruh
ajaran Hindu dengan nama tahunnya Saka (kalender Saka) dipakai oleh orang Jawa
sampai tahun 1633 Masehi.
Pada saat Sulan Agung
Hanyakrakusuma bertahta di kerajaan Mataram, raja yang terkenal patuh beragama
Islam itu merubah format kalender Jawa menjadi bercorak Islam. Pada waktu itu
kalender Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu
diteruskan dalam kalender Sultan Agung dengan angka tahun 1555. Padahal dasar
perhitungannya sama sekali berlainan. Adapun kalender Saka mengikuti sistem
Syamsiyah atau berdasarkan perjalanan bumi mengitari matahari. Sedangkan
kalender Sulan Agung mengikuti sistem Komariyah yaitu berdasarkan perjalanan
bulan mengitari bumi.
Kalender Sultan Agung dimulai
tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam tahun 1043
Hijriyah. Jika dihitung bersamaan pula pada hari Jumat Legi tanggal 8 Juli
1633. Kebijakan Sultan Agung itu dilandasi kemahirannya yang tinggi dalam ilmu
falak. Kalender Sultan Agung adalah suatu karya besar yang merupakan bentuk
akulturasi kebudayaan. Dengan strategi akulturasi ini maka masuknya paham Islam
dalam masyarakat tidak menimbulkan kontroversi, karena paham-paham lain dapat
terakomodasi. Gagasan Sultan Agung itu didukung oleh para ulama dan abdi dalem,
khususnya yang menguasai ilmu falak atau pebintangan.
Kalender Sultan Agung atau Anno
Javanico terdiri dari Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Rejeb,
Ruwah, Pasa, Syawal, Dulkangidah, dan Besar. Sultan Agung merasa perlu mengubah
sistem penanggalan dengan maksud agar hari-hari raya Islam (Maulud Nabi, Idul
Fitri, dan Idul Adha) yang diperingati di keraton Mataram dengan sebutan grebeg
dapat dilaksanakan pada hari dan tanggal yang tepat sesuai dengan ketentuan
dalam kalender Hijriyah.
Keberadaan petangan Jawi sudah
dikenal sejak dahulu, yang merupakan catatan dari leluhur berdasarkan
pengamatan baik buruk, selalu dicatat dan dihimpun dalam primbon. Kata primbon
berasal dari kata: rimbu, berarti simpan atau simpanan, maka primbon memuat bermacam-macam
catatan oleh sebuah generasi diturunkan kepada generasi penerusnya.
Petungan dina dan pasaran terdiri
dari Ahad, wataknya: samudana (pura-pura) artinya: suka kepada lahir, yamg
kelihatan. Senin, wataknya: samuwa (meriah), artinya: harus baik segala
pakaryan. Selasa, wataknya: sujana (curiga), artinya: serba tidak percaya.
Rabu, wataknya: sembada (serba sanggup, kuat), artinya: mantap dalam segala
pakaryan. Kemis, wataknya: surasa (perasa), artinya: suka berpikir (merasakan
sesuatu) dalam-dalam. Jumat, wataknya: suci, artinya bersih tingkah lakunya.
Sabtu, wataknya: kasumbung, (tersohor), artinya suka pamer.
Petungan pasaran terdiri dari
Pahing, wataknya: melikan, artinya: suka kepada barang yang kelihatan. Pon,
wataknya: pamer, artinya: suka memamerkan harta miliknya. Wage, wataknya:
kedher, artinya: kaku hati. Kliwon, wataknya: micara, artinya: dapat mengubah
bahasa. Legi, wataknya: komat, artinya: sanggup menerima segala macam keadaan.
Dalam pranata mangsa terdapat
lambang watak bawaan atau pengaruh tiga macam mangsa sebagai berikut, Kasa
(kartika), cirinya sotya murca ing embanan (mutiara lepas dari pengikatnya).
Watak pengaruhnya dedaunan rontok, kayu-kayu patah di atas. Saat mulai menanam
palawija, belalang bertelur. Bayi yang lahir dalam wangsa Kasa itu wataknya
belas kasihan.
Karo (pusa), candra (cirinya),
Bantala rengka (tanah retak). Watak (pengaruhnya) tanah retak, tanam-tanaman
palawija harus dicarikan air, pohon randu dan mangsa tumbuh daun-daunnya. Bayi
yang lahir dalam mangsa itu wataknya ceroboh, kotor.
Sadha (Asuji), candra (cirinya),
tirta sasana (air pergi dari tempatnya). Watak (pengaruhnya) musim dingin,
jarang orang berkeringat. Usai panen. Bayi yamg lahir dalam masa itu wataknya
cukupan. Pada hakikatnya primbon memang tidak mutlak kebenarannya, namun
sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatan dan
kesejahteraan hidup lahir batin.
Primbon hendaknya dipandang
secara proporsional dan pedoman untuk mengingat pengalaman leluhur. Namun jagan
sampai mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
mengatur segenap makhluk dengan kodrat dan iradat-Nya. Kemampuan orang Jawa
dalam membaca tanda-tanda zaman secara waskitha dan wicaksana diwariskan secara
turun-temurun. Ramalan, petungan, dan keberuntungan nasib manusia mengacu
kepada perubahan musim, siklus alam, suara hati, dan sasmita gaib.
Bagi masyarakat Jawa, kelahiran,
kematian, jodoh, dan rezeki adalah takdir Tuhan. Namun demikian, manusia tetap
diberi kewenangan untuk berikhtiar, dengan berprinsip ngelmu laku, jangka
jangkah, kodrat wiradat. Begitu pedulinya terhadap kehidupan yang aman tentram
lahir batin, maka para sesepuh, pinisepuh, orang Jawa akan memberi makna pada
segala sesuatu yang tidak kasat mripat. Kepekaan perasaan yang disertai
ketajaman spiritual mendominasi indra keenamnya. Pergantian hari, bulan, tahun,
dan windu pasti mengandung maksud tertentu. Angin berhembus dan kicauan burung
pun bias memberi arti, karena termasuk wahana sasmitaning ngaurip. Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang,
Ngayogyokarto Hadiningrat, Ahad, 14/05/2017
0 on: "Tinjauan Historis, Penanggalan Masehi, Hijriyah, dan Makna Pranata Mangsa dalam Kalender Jawa"