Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Di akarasa ini, untuk kesekian kalinya saya menulis tentang Ranggalawe
ini. Bahkan tidak mengapa sampeyan mengatakan saya ethnocentris karena
kelahiran Tuban. Raden Wijaya atau Sanggrama Wijaya dalam sejarah pendirian
Majapahit santer didengung-dengungkan. Raden Wijaya bagaikan rembulan yang
tampak bersinar terang, sedangkan nama Arya Ranggalawe hanyalah kerlip bintang
yang mendrip-mendrip (terlihat kecil) dilangit sana.
Tetapi tahukah sampeyan bahwa
sejatinya sinar bintang lebih terang dari rembulan, bulan hanya bisa bersinar
manakala terpantul sinar dari bintang, yaitu matahari. Bintang terlihat redup
karena tempatnya yang terlampau jauh dari pandangan kita. kita akan silau oleh
pancaran sinar matahari ia lebih dekat. Sanggrama Wijaya juga demikian, dalam
lembar sejarah ia tokoh mengalahkan sinar
Ranggalawe karena ia punya kuasa dan dari kalangan ningrat!
Dari sumber kitab Pararaton
memang tidak tertulis dengan gamblang orang yang paling berjasa dalam pendirian
kerajaan Majapahit adalah Ranggalawe, mungkin karena dia bukan dari Wangsa
Rajasa dan orang yang memiliki kuasa atas tahta Majapahit. Sehingga namanya
semakin ‘ditenggelamkan’ penguasa agar Raden Wijaya dikenal sebagai seorang
yang paling berjasa dan tidak ada bandingnya. Kitab pararaton mengisahkan
bagaimana cucuran keringat Ranggalawe dalam membuka Hutan Tarik dibantu anak
buahnya, orang-orang Madura yang dikirim ayahnya, Arya Wiraraja untuk
membantunya.
Pertanyaannya, ada apa dengan
Ranggalawe? Benarkah ia seorang pemberontak? Jawaban warga Tuban tentu jelas,
bahwa Ranggalawe adalah pahlawan. Kitab Pararaton yang menganggap Ranggalawe
sebagai pemberontak!
Dalam bidal-bidal lama
mengisahkan, mengisahkan Ranggalawe mengangkat senjata menentang Kerajaan
Majapahit pada tahun 1295, belum genap dua tahun Raden Wijaya memerintah
Majapahit sejak November 1293, tetapi mengapa Mpu Prapanca yang hidup pada masa
Jayanagara hingga masa Hayam Wuruk tidak menuliskannya sebagai “pemberontak”
dalam Kitab Negarakertagama-nya. Mengapa?
Keterangan dalam Kitab Pararaton
memang sarat akan mitos-mitos. Pararaton atau kitab para raja yang dibuat untuk
melegitimasi trah Wangsa Rajasa sebagai penguasa yang syah di tanah Jawa. Kitab
ini ditulis pada abad ke-15 tepat saat-saat Majapahit dilanda perang saudara.
Secara pribadi dan sebagai salah satu dari sejuta lebih warga Tuban saya
berpendapat bahwa keterangan Ranggalawe sebagai pemberontak hanyalah pernyataan
subjektif berdasarkan sudut pandang keluarga kerajaan.
Menyimak kisah kepahlawan seorang
Ranggalawe pada masa keruntuhan Singasari hingga berdirinya Kerajaan Majapahit
tidak lepas dari kontroversi. Nama besar Ranggalawe begitu melekat dalam
ingatan masyarakat Jawa, warga Tuban khususnya. Penulis Serat Damarwulan atau
Serat Kanda mencatut nama Ranggalawe Adipati Tuban sebagai tokoh fiksi dengan
menempatkan tokoh Ranggalawe hidup sezaman dengan Damarwulan dan Menak Jingga.
Damarwulan sendiri merupakan tokoh fiksi, karena kisahnya tidak sesuai dengan
bukti-bukti sejarah, serta tidak memiliki prasasti pendukung.
Kenapa nama Ranggalawe begitu
populer hingga masuk ke ranah sastra fiksi? Adakah tokoh lain yang seperti
dirinya yang mendapatkan 'tempat' istimewa dihati masyarakat Majapahit kala
itu. Ada apa dengan Ranggalawe? Lagi-lagi ulangan pertanyaan seperti di atas.
Dalam prasasti Kudadu, ayah dan
anak tersebut sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, yang keduanya
masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan
Mantri Dwipantara Arya Adikara. Sejarawan Slamet Muljana mengidentifikasi Arya
Adikara sebagai nama lain Ranggalawe.
Dalam tradisi Jawa ada istilah
nunggak semi, yaitu nama ayah kemudian dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara
yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar
Ranggalawe ketika dirinya diangkat sebagai pejabat Majapahit. Ada Kidung khusus
yang memaparkan kisah hidup sang pahlawan, yaitu Kidung Ranggalawe.
Dalam buku Kalangwan karya Prof.
Dr. Zootmulder (1974: 519-525) ada diskripsi sastra zaman Jawa-tengahan yakni
kidung Rangga Wenang atau Rangga Lawe, ---wenang = benang = lawe--- (Adipati
Tuban) yang melakukan kudeta terhadap Majapahit oleh karena telah terprovokasi
Dyah Halayuda si penasehat istana agar menggugat Raja Majapahit karena
dipandang tidak adil. Mengapa?
Pararaton menyebut pemberontakan
Ranggalawe terjadi pada tahun 1295, namun dikisahkan sesudah kematian Raden
Wijaya. Menurut naskah ini, pemberontakan tersebut bersamaan dengan Jayanagara
naik tahta. Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia dan
digantikan kedudukannya oleh Jayanagara terjadi pada tahun 1309. Akibatnya,
sebagian sejarawan berpendapat bahwa pemberontakan Ranggalawe terjadi pada
tahun 1309, bukan 1295. Seolah-olah pengarang Pararaton melakukan kesalahan
dalam penyebutan angka tahun. Namun Nagarakretagama juga mengisahkan bahwa pada
tahun 1295 Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau "raja muda" di
istana Daha.
Selain itu Kidung Panji
Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe dengan jelas menceritakan bahwa pemberontakan
Ranggalawe terjadi pada masa pemerintahan Raden Wijaya, bukan Jayanagara. Fakta
lain menunjukkan, nama Arya Wiraraja dan Arya Adikara sama-sama terdapat dalam
prasasti Kudadu tahun 1294, namun kemudian keduanya sama-sama tidak terdapat
lagi dalam prasasti Sukamreta tahun 1296. Ini pertanda bahwa Arya Adikara alias
Ranggalawe kemungkinan besar memang meninggal pada tahun 1295, sedangkan Arya
Wiraraja diduga mengundurkan diri dari pemerintahan setelah kematian anaknya
itu.
Jadi, kematian Ranggalawe terjadi
pada tahun 1295 bertepatan dengan pengangkatan Jayanagara putra Raden Wijaya
sebagai raja muda. Dalam hal ini pengarang Pararaton tidak melakukan kesalahan
dalam menyebut tahun, hanya saja salah menempatkan pembahasan peristiwa
tersebut. Sementara itu Nagarakretagama yang dalam banyak hal memiliki data
lebih akurat dibanding Pararaton sama sekali tidak membahas pemberontakan
Ranggalawe.
Hal ini dapat dimaklumi karena
naskah ini merupakan sastra pujian sehingga penulisnya, yaitu Mpu Prapanca
merasa tidak perlu menceritakan pemberontakan seorang pahlawan yang dianggapnya
sebagai aib. Jalannya pertempuran Pararaton mengisahkan Ranggalawe memberontak
terhadap Kerajaan Majapahit karena dihasut seorang pejabat licik bernama
Mahapati. Kisah yang lebih panjang terdapat dalam Kidung Panji Wijayakrama dan
Kidung Ranggalawe.
Pemberontakan tersebut dipicu
oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih.
Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang
dinilainya jauh lebih berjasa dalam perjuangan daripada Nambi. Ranggalawe yang
bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota
dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama
sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih.
Karena tuntutannya tidak
dihiraukan, Ranggalawe membuat kekacauan di halaman istana. Sora keluar
menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf
kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban. Mahapati yang licik
ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang menyusun
pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan
Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe.
Mendengar datangnya serangan,
Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di
dekat Sungai Tambak Beras. Perang pun terjadi di sana. Ketika di darat,
Ranggalawe yang memang perwira darat tersebut di atas angin dan Kebo Anabrang
kewalahan dan lari hingga bengawan (sungai) Tambak Beras (wilayah Jombang).
Perang antara keduanya hingga terjadi di tengah bengawan. Maka, keadaanpun
berbalik, karena air adalah habitat Kebo Anabrang maka kalah dan tewaslah
Ranggalawe. Sedikit tambahan, yang kebenarannya masih perlu untuk ditelusuri
bersama, diceritakan ada sepuluh pengikut Ranggalawe yang sudah memeluk Islam
ikut terbunuh dalam pertempuran berdarah di Sungai Tambak Beras melawan pasukan
Majapahit.
Melihat keponakannya disiksa
sampai mati, Lembu Sora merasa tidak tahan. Ia pun membunuh Kebo Anabrang dari
belakang. Pembunuhan terhadap rekan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian
Sora pada tahun 1300. Mendengar berita duka tersebut, kedua istri permaisuri
Ranggalawe pun ---sebagaimana adat Hindu-Budha kuno--- melakukan bela pati
‘peduli-simpati-empati’ sehidup semati bunuh diri menikam dirinya dengan
senjata tajam dan bakar diri.
Kidung Ranggalawe dan Kidung
Panji Wijayakrama menyebut Ranggalawe memiliki dua orang istri bernama
Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar
Pelandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani. Kedua
naskah di atas menyebut ayah Ranggalawe adalah Arya Wiraraja.
Sementara itu, Pararaton menyebut
Arya Wiraraja adalah ayah Nambi. Kidung Harsawijaya juga menyebutkan kalau
putra Wiraraja yang dikirim untuk membantu pembukaan Hutan Tarik adalah Nambi,
sedangkan Ranggalawe adalah perwira Kerajaan Singhasari yang kemudian menjadi
patih pertama Majapahit.
Uraian Kidung Harsawijaya
terbukti salah karena berdasarkan prasasti Sukamreta tahun 1296 diketahui nama
patih pertama Majapahit adalah Nambi, bukan Ranggalawe. Nama ayah Nambi menurut
Kidung Sorandaka adalah Pranaraja. Sejarawan Dr. Brandes menganggap Pranaraja
dan Wiraraja adalah orang yang sama.
Namun, menurut Slamet Muljana
keduanya sama-sama disebut dalam prasasti Kudadu sebagai dua orang tokoh yang
berbeda. Menurut Slamet Muljana, Nambi adalah putra Pranaraja, sedangkan
Ranggalawe adalah putra Wiraraja. Hal ini ditandai dengan kemunculan nama Arya
Wiraraja dan Arya Adikara dalam prasasti Kudadu, dan keduanya sama-sama
menghilang dalam prasasti Sukamreta sebagaimana telah dibahas di atas.
Saya ingin menggulirkan tantangan
baru bagi para pemerhati dan penggiat sejarawan nasional untuk mengungkapkan
fakta multi klausal yang mendorong Ranggalawe mengangkat senjata menentang Sri
Maharaja Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana, mengingat begitu dahsyatnya
dampak yang ditimbulkan dari “pemberontakan” Ranggalawe ini hingga menyulut
berbagai macam gejolak perang saudara yang terus mengiringi pemerintahan
Kertarajasa sampai akhir hayatnya. Sampeyan lebih condong kemana? Sanggrama
Wijaya ataukah Aryya Adhikara (Ranggalawe), kalau saya jangan ditanya, sudah
jelas jawabannya. Kedepannya Insya Allah akan berusaha menyelesaikan kisah
kepahlawanan Ranggalawe ini kepada sampeyan semua. Semoga. Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto Hadiningrat, ramadhan hari
pertama, 27/05/2017
0 on: "Tuban Mengingat dan Menggugat Tentang Pemberontakan Ranggalawe"