Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Pada tulisan sebelumnya, Mengkaji
Filosfi Blangkon sedikit sudah saya singgung tentang makna filosofisnya. Mahfum
sudah kita ketahui bersama, dalam berkehidupan orang Jawa jaman dulu telah
melahirkan bermacam-macam simbol. Simbol-simbol tersebut diolah, diotak-atik,
yang kemudian menjadi sebuah ajar dan tuladha dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti istilah Blangkon ini misalnya. Nah, pada tulisan kali saya ajak kisanak
untuk mem-filsafati-nya.
Hidup adalah mengarungi Belangnya
Jagat. Antara hitam dan putih, gelap dan terang, tidak untuk saling
dipertentangkan namun bagaimana menjadikan hitam dan putih sebagai harmoni.
Blangkon terdiri dari dua kata yakni, Belang dan Lelakon. Mustahil bagi
seseorang akan mampu menemukan kematangan di dalam hidupnya jika yang dipilih
hanya satu warna (monoton) yang serta merta menghindarkan diri atau bahkan
melarikan diri dari warna yang lain, padahal setiap peristiwa adalah warna dan
setiap warna adalah ilmu.
Gelap : Kepedihan, Rasa Sakit, Kepiluan,
Sesal
Kepedihan mengajarkan ketegaran,
kesakitan mengajarkan kekuatan, kebencian membawa kita mengenali Sang Maha
Mencintai. Biasanya kebencian datang atas pengalaman yang sulit diterima sebab
bertolak dengan harapan yang diingini. Rasa senang terjadi karena ‘menjawab’
dengan benar apa yang kita ingini. Rasa bahagia memberikan sesuatu yang tidak
hanya sekedar sesuai keinginan namun juga menambahi dengan kejutan yang
menyenangkan.
Rasa bahagia menggoda langkah
kaki untuk terus menikmati. Menikmati terpeleset dalam keterlenaan sehingga
berangsur membuat memendeknya akal, dan terburu-burunya mengambil kesimpulan.
Menjadikan waktu dan energi untuk menjalin keakraban dengan Tuhan, mengasah akal
guna menangkap informasi-informasi Maha Lembut dariNya, dan konstan menimbang
masalah secara adil menjadi terkalahkan. Maka kebencian yang otomatis
ketidak-senangan atau ketidak-bahagiaan berfungsi mengembalikan waktu percuma
kita untuk bermesraan kembali denganNya.
Benci adalah sesuatu yang kita
butuhkan dalam mencari kesejatian cinta. Benci adalah gejolak cinta yang
bentuknya unik, yakni antagonistik. Pola yang dimiliki kebencian sama sekali
berlawanan dengan pola kasih sayang. Jadi kebencian adalah reaksi dari sayang.
Benci adalah sambungan dari ekspresi cinta, menjadi bentuk ekspresi cinta yang
baru, untuk bersama menemukan kembali fitrah cinta sesungguhnya.
Terang : Ceria, Kegembiraan, Kepuasan, Nikmat
Ceria bisa menjadi awal
ketidak-pekaan. Kegembiraan berpotensi memicu keterlenaan. Kepuasan mampu
membawa lupa diri. Nikmat menjadikan lalai. Dengan demikian bahwa gelap dan
terang itu sepadan. Yang gelap bisa menghadirkanpencerahan. Sedangkan yang
terang bisa menjadikan tidak mawas diri, tidak mawas diri artinya tak mampu
melihat diri bagai di ruang gelap, meskipun sedang diruang begitu terang.
Bagaikan anak kecil yang saking bahagianya berlari-lari hingga menjatuhkan
beberapa benda dan bisa juga dirinya jatuh terpeleset. Bukan karena tidak
melihat, bukan karena tidak ada penerangan, namun karena rasa bahagia di umbar
sehingga tidak memikirkan secara cermat kiri dan kanannya.
Lelakon
Lelakon berasal dari kata dasar
“laku”. Orang yang melakukan perjalanan disebut “Lakon”. Rangkaian
perjalanannya disebut “lelakon”. Lelakon hidup ada getir, pahit, asin, manis,
asam. Kadang menukik, kadang meluncur, kadang mendaki, kadang menurun. Ada
kalanya sempit, namun juga ada kalanya luas. Ada masanya keruh namun juga ada
masanya Jernih. Tidak jarang tersandung sesuatu yang keras, namun juga tak
jarang jatuh pada landasan yang empuk. Itulah hidup, itulah Jagat.
Blangkon yang diikatkan di kepala
memberikan simbolisasi tentang Belang-belangnya hidup yang harus berani
disunggi di kepala. Dalam Bahasa Jawa Kepala adalah Sirah : Isine Rah atau Rat.
Sirah berisi kehidupan dan berisi jagat, dimana jagat yang luas ini tidak hanya
berisi buah-buah ranum nan segar namun bangkai-bangkai busuk penuh belatung.
Bukan hanya berisi Terang namun juga berisi Gelap. Kemudian Gelap Terang
(belang) itu disusun, diikatkan di kepala, dan disimpul di belakang.
Mondol
Banyak yang mengartikan bahwa
Blangkon adalah representasi sifat orang Jawa. Yang sepertinya sangat santun di
depan namun ternyata menyimpan dendam di belakang. Pengartian ini tidak perlu
dibantah dan tidak pula harus langsung diterima. Apalagi baik dan buruk tidak
ditentukan oleh Blangkon. Dalam tulisan ini Blangkon di artikan dalam versi
yang berbeda. Mondol di bagian belakang adalah lambang dari simpul atau
kesimpulan yang telah rela menggabungkan belang-belang kehidupan sebagai proses
pematangan laku-nya.
Sebuah kesimpulan sebaiknya
memang ditaruh di belakang, sebab kesimpulan satu orang dengan orang lainnya
tentu berbeda-beda. Yang di depan biarlah outputnya, yakni kebaikan apa yang
ditampilkan dari kesimpulan tersebut. Jika kesimpulan dijadikan “hidangan”,
dimana setiap orang dipaksa “menelan” kesimpulan, sementara; orang yang dipaksa
menelan telah memiliki ‘resep’ dan hidangannya sendiri maka yang terjadi justru
benturan-benturan yang tidak lagi bergerak dalam kebaikan namun justru
berselisih untuk mengemukakan kebenaran masing-masing. Itulah mengapa sebaiknya
Mondol diletakkan dibelakang, agar menjadi simpul. Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang,
Ngayoyokarto, 05/06/2017
NB : Bukan tidak boleh disalin. Monggo kerso, tapi alangkah bijak jika sampeyan sekedar mencantumkan sumbernya. Sekedar mencantumkan sumber tulisan tidak lantas mencerminkan kita bodoh toh!
0 on: "Ajaran Kehidupan dalam Ngelmu Blangkon"