Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Pernah nonton wayang? Apa yang bisa kita nikmati sekaligus diambil
dari sesosok wayang yang notobenenya hanya sebuah modifikasi dari kulit hewan
tersebut? Jawabannya ternyata banyak sekali kisanak. Tergantung dari mana kita
mengambil titik koordinat untuk menikmati sekaligus mengapresiasi dan
menginterprestasikan sosok wayang yang tersaji dalam pegelaran wayang tersebut.
Diakui atau tidak dalang memegang kendali dari nilai seni dan keilmuan yang
terkandung dari tutur tinular tersebut. Lakon wayang akan menjadi hidup jika
sang dalang mampu membawa lakon wayang dengan baik dan menarik.
Pada adegan peperangan misalnya,
dalang harus mampu memiliki ketrampilan “sabetan” yang cukup baik. Selain itu,
dalang harus mampu memainkan adegan-adegan yang sesuai dengan pakemnya,
misalnya adegan wayang yang tengah gembira, maka sang dalang juga harus mampu
menghadirkan ekspresi gembira. Begitu pula ketika dituntut untuk menghadirkan
adegan-adegan sedih, seorang dalang juga harus mampu bersikap mancolo putro
mancolo putri agar penonton terbawa dan menghayati setiap lakon yang dimainkan.
Keahlian sekaligus kelihaian
dalang tidak berhenti atau cukup di situ saja. Kepintaran bersikap mancolo
putro mancolo putri dan harus didukung ilmu kebudayaan dan ketuhanan. Mengapa
demikian? Karena dalam sejarah wewayangan, kisah wayang tidak tidak terhenti
pada nilai estetika tetapi wayang merupakan media bagi masyarakat. Wayang bagi
orang Jawa merupakan compelling riligius mythology, yakni yang menyatukan
masyarakat Jawa secara menyeluruh, baik secara horizontal maupun secara
vertical. Sedangkan Ward Keeler mengaitkan aspek-aspek tersebut direfleksikan
ke dalam kehidupan sosial dan kedudukan relatif sosial.
Kedua ilmuwan tersebut menemukan
titik kesaman terhadap wayang yakni pentas wayang menyiratkan tata nilai yang
menunjukkan upaya-upaya untuk mencapai keserasian hidup. Keadaan ideal yang
wajib dipertahankan itu berupa keseimbangan tata tertib sosial yang digambarkan
sebagai suatu masyarakat yang adil, tentram, makmur dan aman.
Nilai ketuhanan, tauhid, yang
tertanam di ruh masyarakat Jawa memang kebanyakan berasal dari nilai
kebudayaan, salah satunya adalah dari wayang. Peran wayang sebagai media
penanaman ruh ketuhanan tidak lepas dari kecerdikan walisongo, khususnya Sunan
Kalijaga yang metode dakwahnya lebih mengutamakan dengan nilai-nilai kultural
masyarakat. Masyarakat Jawa yang masih mengagungkan nilai-nilai kultural akan
lebih menerima nilai keagaman jika penyampaiannya itu lebih bersifat halus,
sesuai dengan psikologi masyarakat Jawa yang lebih mengedepankan kehalusan budi
dibandingkan jika pengajaran itu disampaikan dengan cara-cara indoktrinisasi
ekstrem.
Pemahaman mengenai ketauhidan
bagi masyarakat Jawa mungkin akan berbeda dengan pemahaman ketauhidan dengan
bangsa Timur Tengah. Hal ini dikarenakan adalanya akulturasi budaya Jawa yang
dahulunya lebih bersifat dinamisme dan animisme dengan nilai ketuhanannya yang
berasal dari Timur Tengah yang juga sudah diolah secara rasa maupun karsa oleh pendakwah
yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Sedangkan tauhid sendiri
mempunyai arti yang sangat luas dan untuk memudahkan pemahaman kita mengenal
ilmu ketauhidan ini, tauhid diartikan sebagai sikap peng-esa-an terhadap keeksistensian
Tuhan. Sifat keesaan ini menjadi penting bagi umat Islam dan menjadi identitas
sekaligus pembeda dengan agama-agama lain. Bertauhid dalam agama Islam tidak
sekedar mempercayai akan adanya satu Tuhan tetapi lebih dari itu. Pengesaan ini
juga harus ada tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Manusia beragama
setidaknya harus dapat menangkap dan meniru perilaku Tuhan, seperti sifat
Rahman dan Rahim-Nya.
Masalah ketauhidan dalam
masyarakat Jawa lebih condong kearah masalah kemakrifatan, yakni memahami siapa
dirinya serta siapa yang menciptakannya. Sangkan paraning dumadi menjadi
wilayah sentral yang sering menjadi kajian sekaligus menjadi tujuan manusia
Jawa dalah meng-illah-kan Tuhan. Hubungan personal manusia Jawa dengan Tuhannya
sepertinya lebih menarik untuk didalami dibanding mengkaji masalah
syari’atnya,. Sehingga tak ayal muncullah konsep manunggaling kawula-Gusti,
sebuah konsep penyatuan hamba dengan Tuhannya.
Hal ini kemudian menginspirasi para
walisongo bagaimana caranya agar konsep tersebut bisa diterima masyarakat dan
tidak mengalami shock dalam beragama. Wayang adalah jawabannya. Dalam cerita
wayang dengan lakon Bima Suci diceritakan bahwa setelah Bima bersatu dengan
Dewa Ruci dan mendapat wejangan spiritual darinya, ia (Bima) segera mendirikan
pertapaan Argakelasa dengan gelar Bima Suci atau Bima Paksa yang mengajarkan
ilmu kesempurnaan hidup.
Menurut Damarjati Supadjar, serat
Bima Suci menggambarkan pertemuan eksistensi dengan esensi, yang juga dikenal
sebagai ngluruh sarira atau racut, mencair, dan melarut. Tranformasi Bima
menjadi Bima Suci atau pertemuan Bima dengan jati dirinya atau Dewa Ruci serupa
dengan pertemuan antara Musa dan Khidir. Hasilnya adalah kesadaran kosmis,
kesatuan lahir dan batin, awal akhir.
Orang Jawa mengenal tokoh-tokoh
wayang cukup familiar dan di antaranya yang paling favorit bahkan mempunyai
nilai sakral adalah semar. Semar menjadi tokoh utama dalam segala hal, baik
sebagai tokoh yang berperan sebagai abdi, penasehat kenegaraan maupun
spiritual. Dalam pewayangan diceritakan bahwa semar tinggal di Karang dempel,
maksudnya Semar selalu tinggal dan menyirami hati setiap hati manusia yang
gersang, gelisah, dan jauh dari Tuhan. Sehingga bisa dikatakan bahwa semar
selalu hadir dan menyantuni orang miskin/kekurangan kebutuhan rohani.
Selain itu, semar juga
diperintahkan untuk menjaga hati manusia-manusia suci agar tidak terkontaminasi
oleh sifat dan nafsu syaithaniyah. Karena itu dalam pewayangan dikatakan bahwa
ia diperintahkan untuk menguasai alam sunyaruri atau alam kosong dan tidak
diperkenankan menguasai manusia di alam dunia. Maksudnya dari alam kosong
adalah alam yang kosong dari cahaya Ilahi yang kemudian Semar diperintahkan
untuk mengisi alam kosong tersebut dengan kebutuhan-kebutuhan rohani yang
berguna bagi manusia.
Sosok semar hadir untuk
menegaskan mengenai arti pentingnya peran agama dalam kehidupan. Agama berperan
menyadarkan manusia dan membawa mereka menuju cahaya. Sosok Semar juga
merupakan symbol al-Qur’an sebagai kalam Ilahi yang sangat penting, yang di
dalamnya memiliki beberapa tujuan mendasar, yaitu:
- Membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik,
- Menciptakan kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Menciptakan persatuan dan kesatuan alam, baik alam fisik dengan metafisik dan masih banyak lagi tujuan yang dibawa oleh sosok Semar dalam pentas pewayangan.
Dari sosok Punakawan, baik fisik
maupun kehidupan kesehariannya, terkandung pancaran nilai-nilai ketasawufan.
Dalam Islam, aspek tasawuf dipercaya dapat membawa manusia lebih mendekatkan
diri kepada Allah. Dan dalam pencapaiannya, manusia harus menempuh maqomat
kesufian yang tercermin dari Semar
Semar setidaknya memiliki sifat:
wijaya (bijaksana dalam berbakti kepada Negara), mantriwira (dengan senang hati
berbakti kepada Negara), wicaksana maya (bijaksana dalam berbicara dan
bertindak), matangwan (dikasihi dan dicintai rakyat), satya bakti prabu (setia
kepada Negara dan raja), wakniwak (tidak berpura-pura), seharwan pasaman (sabar
dan sareh, tidak gugup dalam hati), dirut saha (jujur, teliti, sungguh-sungguh
dan setia), tan lelana (baik budi dan mengendalikan panca indera), diwiyacita
(menghilangkan kepentingan pribadi), masisi samastha buwana (memperjuangkan
kesempurnaan diri dan kesejahteraan dunia). Dan masih banyak sifat panakawan
yang mengarah kepada konsep hidup ala sufi. Sekian.
Bumi Para Nata, Ngayogyokarto
Hadiningrat, 30/06/2017
tinggal jejak
BalasHapusKalau bisa ditambah refrensinya..dan jangan hanya menulis kata orang saja..artinya masih belum ada bukti yang nyata
BalasHapusTrimakasih ilmunya, sy tidak pernah nonton wayang secara penuh. Tapi sebagai wong jowo, sy kadang jg belajar dari berbagai sumber, agar sy tetap jadi wong jowo. http://bisnisatomy.net
BalasHapusLike
BalasHapus