Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Dalam banyak literatur maupun tutur, khususnya warga Jogja percaya
akan adanya garis imajiner yang menghubungkan gunung Merapi, Kraton Yogya dan
Segoro Kidul (laut selatan). Seperti yang juga kita ketahui, dalam gari majiner
yang terhubung tersebut terkait dengan kekuatan sang penguasa Jin di daerah
tersebut. Benarkah demikian?
Ah, sudahlah. Biarlah ketiga
titik yang saling terhubung tersebut tetap menjadi mitos sebagai kearifan lokal
yang dapat menjaga budaya seperti apa adanya. Pada kesempatan kali ini saya
tidak hendak membincang tentang mitos ketiga titik yang saling terhubung
tersebut, namun coba menilik dari sisi yang lain, yakni sisi filosofi yang bisa
dimaknai, sehingga berguna bagi kehidupan saat ini.
Posisi dan letak keraton
Yogyakarta mempunyai arti filosofis yang sangat dalam, dengan diletakkannya
keraton Yogya pada poros tengah antara laut selatan dan gunung Merapi. Dalam
mitos diceritakan bahwa sejak dari Panembahan Senopati sampai turunan raja-raja
Yogya, telah memperistri Ratu Pantai Selatan dan mempersembahkan sesajian
kepada penguasa Gunung Merapi sebagai legalitas otentik kerajaannya.
Apa yang akan disampaikan oleh
ilmuwan kerajaan Mataram saat itu tentang simbolik tersebut? Sebagai seorang
Raja, memperistri seorang Ratu adalah melebur menjadi satu dalam kedua
kekuasaan, dan jelas bahwa kekuasaan Raja lebih tinggi dari Ratunya. Perkawinan
tersebut bukanlah perkawinan nyata atau fisik, namun perkawinan imajiner atau
simbolik yang akan menyampaikan makna bahwa sebuah kekuasaan harus melingkupi
hubungan ke bawah dengan simbolis ‘air’.
Diawali dari Panembahan Senopati,
seorang Raja juga mempersembahkan sesaji kepada penguasa Gunung Merapi. Hal inipun
bukan merupakan sesaji nyata, namun juga merupakan gerakan ‘imajiner’ atau
simbolik yang akan menyampaikan pesan bahwa sebuah kekuasaan juga akan bertumpu
kepada sesuatu yang lebih tinggi yang digambarkan dengan simbolis ‘gunung’.
Posisi Merapi bagi Yogyakarta
mempunyai peranan penting yang disakralkan. Hal tersebut bisa kita uraikan dari
sumbu imajiner yang tercipta berawal dari Pantai Selatan. Garis Imajiner antara
Merapi – Keraton Yogya – Laut Selatan, merupakan proses sebuah kehidupan
manusia yang berjalan dari awal hidupnya menuju sebuah kesempurnaan hidup.
Berawal dari Laut Selatan yang
dikuasai oleh seorang ratu dimana kerajaan Laut Selatan digambarkan sangat kaya,
maka ini merupakan sebuah simbol bahwa kehidupan awal manusia penuh dengan
godaan dari Harta, tahta, dan wanita.
Perjalanan ini menempuh sumbu
imajiner menuju ke pusat atau inti kehidupan dengan letak dari keraton
Yogyakarta. Setelah melewati masa godaan di kehidupan awal, maka proses
kehidupan digambarkan mencari kenyamanan hidup dengan adanya sebuah pasar besar
yang bernama ‘Bringharjo’.
Proses kehidupan tersebut
kemudian berlanjut menuju sesuatu yang lebih tinggi, yaitu dengan simbol sebuah
gunung. Poros sumbu imajiner antara Merapi – Keraton Yogya – Laut Selatan,
tentu saja dengan sengaja diciptakan sebagai bahan refleksi bagi rakyat
Yogyakarta. Seorang Raja Yogya digambarkan sebagai seseorang yang telah
menguasai Laut Selatan dan Gunung Merapi, yang mempunyai arti bahwa Raja telah
menjadi panutan untuk melampaui semua proses kehidupan tersebut.
Merapi juga telah mengabarkan
lebih dulu tentang sebuah kewaspadaan. Ketika keseimbangan alam telah digoncang
oleh para penghuninya, maka Merapi akan menyimbangkan dirinya sendiri.
Keseimbangan yang dicapai Merapi nantinya tentu saja akan memberikan kesuburan
dan kehidupan yang baru kepada penduduk, setelah Merapi melakukan pembersihan
untuk menyisakan orang-orang yang memang pantas untuk merawatnya.
Penguasaan dari Laut Selatan
adalah penguasaan dari kesadaran rendah manusia yang berisi ambisi, ketamakan,
egoisme, dan segala gerakan badaniah manusia. Sedangkan penguasaan dari gunung
Merapi, adalah penguasaan dari kesadaran tinggi yang selau harus hening dan
wening. Nuwun. (Urd2210)
Bumi Para Nata, Kaliurang,
Ngayogyokarto Hadiningrat, 13/06/2017
NB : Bukan tidak boleh disalin. Monggo kerso, tapi alangkah bijak jika sampeyan sekedar mencantumkan sumbernya. Sekedar mencantumkan sumber tulisan tidak lantas mencerminkan kita bodoh toh!
0 on: "Hakikat Pemimpin dalam Makna Filosofis dari Garis Imajiner Yogyakarta"