Akarasa – Sugeng rawuh kadang
kinasih akarasa. Petualangan abadi seorang pria dari masa ke masa pada akhirnya
mengerucut pada kategori paling sederhana, pria ingin dikagumi. Standarnya,
minimal berkumis, berotot dan yang tak kalah penting adalah rekeningnya gendut.
Benar demikian bapak-bapak? Rasah sungkan untuk bilang ‘iya’.
Budaya Jawa yang patrilineal dan
cenderung mengedepankan sosok pria memang masih kental dan cenderung bertahan
ditengah wacana kesetaraan gender. Meski sudah mulai ditinggalkan yang secara
sadar atau tidak, kita masih mengukur standar kesuksesan duniawinya pada
falsafah warisan ini. Meski sebenarnya juga falsafah yang menjadi standar
lelaki sejati pada masa itu lebih ditujukan pada golongan raja-raja atau
priyayi.
Lalu apa saja lima falsafah Jawa
yang sering diilhami oleh para raja atau priyayi Jawa masa itu? Dan bagaimana
konteksnya diterjemahkan pada masa sekarang ini? Meskipun sesungguhnya, dikatakan
5 perkara ini ditujukan secara khusus bagi pria Jawa. Ternyata setelah dikupas
tipis-tipis, tak ada satupun yang menunjuk jenis kelamin. Baik, mari kita
membincangnya kisanak..
WISMO
Cumawis lan Momot (serba tersedia
dan memuat)
Seorang pria, belum disebut pria
sejati jika belum memiliki Rumah/Wisma. Namun Wisma yang dimaksud adalah
kondisi mental seseorang yang mampu menjadi tempat persinggahan bagi orang
lain. Mau dan mampu menerima. Semakin seseorang ini memiliki kondisi mental
yang matang untuk mampu menerima orang lain maka kehadirannya bagai rumah bagi
banyak orang yang ingin ikut singgah.
Orang lain tidak memandang
kehadirannya sebagai pihak asing, melainkan pihak yang seperti sudah dikenalnya
sebagai tempat aman untuk berteduh. Semakin besar ‘rumah’ seseorang, semakin
banyak orang merasa terlibat sebagai penghuninya. Syarat utama bagi seseorang
yang memiliki Wismo, dirinya senantiasa tersedia (cumawis) dan menampung, muat
(momot).
Apa-apa saja yang dituntut secara
primer ketersediannya adalah hal-hal yang bersifat rahman. Dan apa-apa saja
yang dianjurkan kemuatannya adalah hal-hal yang bersifat Rahim. Nah bentuk
Rahman dan Rahim disimbolkan dalam susunan sebuah wisma, dimana di situ ada
pendopo hingga gandhok. Pendopo berkarakter Rahman, tempat berkegiatan seni dan
budaya, rerembugan, dlsb. Kasih Sayang yang luas. Begitu pula dalam hidup, hal
utama yang dikedepankan kepada orang lain sebisa-mungkin tentang gelaran
interaksi seni dan kegiatan budaya. Pergaulan yang dilandasi keluasan kasih
sayang.
Oleh sebab itu, pendopo
diletakkan paling depan sebelum ke wilayah private (omah ageng). Hal-hal yang
diutamakan di wilayah ketersediaan (cumawis) adalah ketika menjunjung nilai
Rahman. Tersedianya Badan untuk membantu dengan tenaga, bersedia Akal untuk
membantu di wilayah pikiran. Hal-hal yang diutamakan di dalam kapasitas memuat
(momot). Menampung keaneka-ragaman dengan ketersediaan Nurani untuk mengkontribusi
perhatian dan kasih sayang secara mendalam. Bersedia menerima siapa saja dan
apa saja asal adil dan bermartabat. Jadi cumawis itu bobot sosial, dan momot
adalah bobot spiritual.
KUKILO
Aku iki lilo (aku ini rela)
Kukilo berarti burung, satu hal
yang paling identik dengan burung ialah suara, dan terbang/sayap. Pada masa itu
para raja atau bangsawan akan sangat bangga dan lengkap hidupnya dengan
memiliki burung kicauan atau "manggungan". Jaman itu para priyayi
sangat suka mengisi waktu senggangnya dengan mainin burung. Maksudku dengan
menikmati suara burung. Mereka bersantai di pendopo sambil jempol serta jarinya
cetat cetet memancing suara burungnya. Sambil melintir kumis atau ngelus
janggut. Nikmat memang.
Konteks bermain atau memelihara
burung itu yang pasti tidak dapat disamakan pada jaman sekarang ini. Bukan
menyepelekan penggemar burung. Namun untuk mengadopsi mentah falsafah itu harus
sesuai kondisi saat ini. Beberapa yang penikmat burung tentu menyukai hal ini.
Namun untuk sekedar menyamakan persepsi standar prestise masa dulu sudah sangat
jauh dari sesuai. Memelihara banyak burung sekarang ini selain tidak sesuai
konteks falsafah akan memicu protes dari istri atau tetangga. Apalagi kalau
jumlahnya banyak. Bakal dikira dagang burung nantinya. Belum lagi berhadapan
dengan isu flu burung. Repot.
Dalam kukilo, ide ini diletakkan
pada burung perkutut (kutut) sebagai simbol. Sebab, Kutut juga bermakna 'aku
tutut’ (aku menurut/taat). Ada dua macam jenis burung, yakni burung yang
berkicau (peksi) dan burung yang manggung (kukilo). Meskipun untuk saat ini
kedua kata ini tidak selalu dipakai untuk membedakan golongan keduanya. Kukilo juga
sering dipakai untuk menyebut burung oceh-ocehan, dan peksi juga tidak jarang
dipakai untuk menyebut burung yang manggung. Karena bahasan ini ingin menggapai
makna lebih dalam, anggap saja kita sepakat untuk mengelompokkan bahwa kukilo
hanya untuk burung yang manggung.
Kukilo yang baik adalah burung
yang manggungnya baik. Burung kutut dianggap paling memiliki kemampuan manggung
yang indah dan berkarakter. Burung dara juga manggung, burung Puter juga
manggung, burung Deruk juga manggung. Namun, secara kedalaman dan sentuhan
spiritual, Kutut-lah yang dipilih sebagai burung manggung paling berkelas.
Dalam kelas Kutut pun masih ada
kelas-kelas lagi. Ada Kutut yang manggungnya biasa (lajer) ada juga yang
berirama 'Lar Keteg Gung’. Bagi yang Kutut yang memiliki suara 'Lar Keteg Gung’
nilainya tinggi. Apalagi jika 'Gung’-nya terulang sampai 3 kali. Itu semua
bermula dari gagasan tentang pengelolaan diri priyo utomo yang ditanamkan untuk
mempuni menjalani hidup dengan keteladanan.
Suara. Seorang priyo utomo
setelah memiliki kecerdasan bebrayan dengan membuka diri dengan prinsip Wismo.
Selanjutnya ditingkatkan kualitas bebrayannya dengan mengambil pilihan kata
yang baik. Kata yang terdeliveri melalui suara hendaknya memancarkan kandungan
spiritualitas bagi dirinya sendiri maupun bagi pendengarnya. Kata-kata auditif
ini dianjurkan untuk menjelma menjadi bentuk ketaatan. Yang keluar dari mulut
tak menguap tanpa makna, namun terbang menembus ruang keagungan (Lar :
terbang/sayap, keteg : sampai, Gung : Yang Agung). Maka dengan demikian Sami'na
wa Atho'na diaplikasikan dalam Kukilo. Mendengar dan Mentaati, terkadang posisi
mengatakan sesuatu juga perlu menjunjung posisi sebagai pendengar. Apa sekira
yang ingin didengar oleh pendengar, apa sekira yang tak ingin didengar oleh
pendengar.
Dengan 'tepak sariro’, pihak yang
menyuarakan sesuatu menempatkan diri dengan perasaan si pendengar. Tentunya
akan sulit mengetahui apa yang ingin dan tak ingin didengar oleh lawan bicara.
Maka bukan dalam selera yang dikejar, melainkan ketaatan pada 'suara’ baik
Gusti Allah yang hendaknya diperdengarkan. Tentunya akansulit mengetahui apa
yang ingin dan tak ingin didengar oleh lawan bicara. Maka bukan dalam selera
yang dikejar, melainkan ketaatan pada 'suara’ baik Gusti Allah yang hendaknya
diperdengarkan.
Sayap : Di atas sudah disinggung
tentang hubungan 'Lar Keteg Gung’ dengan sayap. Seperti kita ketahui bersama,
tidak setiap sayap bisa digunakan untuk terbang,dan tidak setiap selalu sesuatu
yang terbang dipersyarati dengan sayap. Ataupun bisa juga bahwa setiap
penerbangan selalu dengan sayap, sayap yang bukan sebagai kata benda, melainkan
sebagai kata sifat. Ikan terbang menggunakan siripnya sebagai sayap. Tapi
ketika berenang di dalam laut, tidak lazim disebut bahwa ikan terbang sedang
menggunakan sayapnya sebagai sirip.
Ketika sayap dimaknai sebagai kata sifat,
maka bukan hanya ikan terbang yang masih diperangkati tool jasad bernama sirip.
Ada benda-benda lain yang sama sekali tak punya sayap namun tetap bisa terbang,
seperti daun kering hingga debu. Ada lagi sesuatu yang tak terbang namun
disebut bersayap.
Misal ungkapan “kata-kata di
dalam lagu-lagu Letto sarat makna dan bersayap”. Atau dengan maksud senada
“Ayat Al-Qur'an itu memiliki pilihan kata yang bersayap”. Jadi, begitu pula
dengan kalimat-kalimat, untaian kata-kata yang keluar menjadi suara. Ketika
merujuk pada cara Gusti Allah menyampaikan sesuatu melalui Al-Qur'an, berarti
cara paling baik ialah menyesuaikan kapasitas penerima suara namun tidak
bermakna satu hal saja. Kata-kata sederhana berguna untuk dicerna pihak-pihak
yang berfikir sederhana, namun kata-kata sederhana tersebut makin ditemukan
perkembangan keluasannya ketika dicerna lebih dalam. Ibarat sayap yang makin
mengembang makin tampak bulu-bulunya.
Dalam masyarakat Jawa, soal sayap
makna ini terangkup dalam ilmu purwakanthi. Kalimat bersayap tidak harus njlimet
dan membingungkan orang. Siapapun, bagaimanapun caranya,dengan kalimat dan
susunan bahasa apapun, memiliki posisi untuk menyampaikan kebaikan dan
menerbangkan kalimatnya menjadi pasangan keagungan. Bukan pada susunan
kalimatnya, susastranya, ornamen dan kembang-kembanganya, yang disebut
bersayap, namun apakah kalimat-kalimat itu terbang atau menguap, menuju
ke-Agungan atau kerendahan? Mencapai kemaslahatan atau kemudharatan?.
Manggung. Ada pada diri
masing-masing orang untuk berkecenderungan tampak oleh orang lain. Lebih hebat
lagi tak hanya tampak namun juga terkenal. Tak hanya terkenal namun menjadi
pusat perhatian banyak orang. Tak hanya pusat perhatian banyak orangtapi
diikuti oleh semua orang. Apa sesungguhnya spirit yang melatar belakangi kecenderungan
ini?
Sesungguhnya manusia secara bawah
sadar telah mengakui bahwa gerak-gerik dan tingkah lakunya ada yang
memperhatikan. Ada yang mengawasi. Ada yang menyaksikan. Semakin seseorang
mencoba mencari siapa yang mengawasinya dengan ukuran-ukuran kasat mata,
semakin seseorang menjauh dari hakekat pengawasan. Semakin seseorang menyingkir
dari kesaksian makin dirinya tak menyadari siapakah yang mengikuti dan setia
menyaksikannya.
Itulah yang terjadi sekarang ini,
berbondong-bondong orang mencari cara untuk mendapatkan ruang untuk disaksikan,
dikenal, dan dipuja-puji sebanyak-banyak orang. Setiap orang rindu mengenali
panggungnya untuk bisa berekspresi. Ini juga yang sejak semula coba dipagari
oleh termin kukilo. Dalam hal manggung, seseorang dianjurkan menjaga sikapnya,
lidahnya, melatih perasaan dan hatinya ; “ajining rogo dumunung ono ing busono,
ajining diridumunung ono ing lathi, ajining jalmo dumunung ono ing panggraito”
.
Jadi, meskipun tidak di mimbar,
tidak di atas pentas, seseorang tak kehilangan panggungnya. Dirinya masih tetap
manggung dengan menjaga sikapnya dan segala sesuatunya seakan seluruh manusia
mengawasi dan menyaksikannya perform di atas panggung. Pada keadaan tertentu,
makin seseorang mencapai tingkat matang dalam mengimplementasi “aku iki lilo”
makin jelas panggung tempat dirinya menampilkan diri. Ketika kontrol sikap
seseorang secara bulat tertambat pada kualitas shahadahnya, kesadarannya akan
kesaksian kepada Gusti Allah dan Rasul Muhammad sebagai utusanNya. Kesadaran
bersaksi ini menjadi syarat mutlak untuk mengakurasi kesaksian Gusti Allah
kepada dirinya. Semakin pandai seseorang bersaksi, semakin besar pula Kesaksian
Allah kepada dirinya dan seluruh tindak tanduk lahir bathinnya.
TURONGGO
Aturing Onggo (Pitutur Badan)
Secara umum, Turonggo itu artinya
adalah kuda. Yang substansinya pada masa feodal dulu adalah sebagai tunggangan
atau kendaraan. Pada masa itu prestise bagi pria adalah jika mempunyai
tunggangan yang hebat. Kuda adalah tunggangan yang tidak semua orang bisa
memilikinya waktu itu. Apalagi kuda-kuda unggul yang berjenis besar, gagah, dan
kekar. Hanya raja-raja atau priyayi/bangsawan yang mampu memilikinya.
Pada bahasan Kukilo di atas,
pijakan bahasan kita adalah pada anjuran perkataan auditif yang baik dan
bermakna sehingga mampu menggapai pada ruang ke-Agungan(Nya). Maka pada filosofi
Turonggo ini, akan berlanjut pada jenis komunikasi yang tampak (visual). Pada
dasarnya, jenis perkataan di dunia ini hanya ada 2. Yakni perkataan suara
(audio) dan perkataan visual. Perkataan visual adalah perbuatan, amalan yang
bisa ditangkap indra manusia, entah sebagai teladan atau sebagai gunjingan.
Dalam banyak hal, perkataan
visual ini lebih indah dan menyenangkan untuk diterima. Seseorang yang
'dinasehati’ tidak sedang dituding-tuding atau dikuliahi. Seseorang yang
'dinasehati’ merasa sedang menasehati dirinya sendiri yang beranjak
kesadarannya melihat sebuah peristiwa yang dia amati sendiri dan ditemukan
hikmahnya sendiri. Itulah cara bernasehat yang paling diinginkan manusia. Tidak
ada paksaan dan tidak pula digurui.
Manusia ingin mengalami menggapai
sendiri pengetahuan yang bukan hasil tuangan teori oranglain, melainkan ingin
menuangkankan diri dalam kehidupan sebagai bagian ayat Gusti Allah yang
memperkatakan sesuatu (baik secara audio ataupun visual) secara otentik. Dari
sekian banyak yang menghampar untuk menjadi simbol perkataan visual.
Lantas, kenapa kuda yang dipilih?
Sepertinya bukan asal-asalan. Bahkan pilihan kata Turonggo untuk menyebut kuda
pun bukan tanpa makna. Turonggo, adalah kendaraan yang disepakati tanpa ada
konvensi global untuk menyepakati kuda sebagai alat transportasi. Belahan bumi
yang beragam iklim, cuaca, geografi, telah tiba-tiba menyepakati untuk
menggunakan kuda sebagai fungsi yang sama. Karena tiap-tiap adalah bacaan,
karena tiap-tiap titah itu menyampaikan sesuatu, sebagian besar orang di bumi
adalah pihak yang dianjurkan membaca dan mengamalkan kembali bacaannya dalam
kehidupan. Bahwa dalam membaca satu obyek, seseorang yang satu dengan satu
orang yang lain yang berada pada jarak yang sangat berjauhan baik jarak ruang
maupun jarak waktu, mereka bisa menghasilkan kesimpulan bacaan yang sama atau
mirip.
Jadi bahasa visual adalah bahasa
universal. Termasuk dalam melihat kuda. Apa yang dibawa kuda ditangkap secara
impresif fungsi dan kelebihannya. Kelebihan kuda bukan pada susu, bukan pada
daging, namun tenaga yang baik, kecepatan yang baik, estetika bentuk yangbaik,
dan kegagahan yang mempesona. Kenapa manusia berkecenderungan kagum pada tenaga
atau kekuatan? Kenapa manusia lebih terdorong untuk menggandrungi kecepatan?
Kenapa manusia berkecenderungan menyukai estetika bentuk yang indah? Kenapa
manusia cenderung terpesona pada kegagahan?
Karena manusia memiliki
kecenderungan memilih menjadi yang terbaik. Terbaik adalah kekuatan dlsb.
Karena manusia memiliki getaran bawah sadar bahwa kehidupannya di dunia adalah
berlomba-lomba dalam kebaikan. Getaran bawah sadar ini mendorong pada sikap
seseorang untuk menjadi yang terbaik. Untuk tampak terbaik harus ada
ukuran-ukuran. Untuk diakui sebagai yang terkuat harus ada yang lebih lebih
lemah. Untuk diakui sebagai yang tercepat harus ada yang lebih lemah.
Untuk menjadi yang tergagah harus
ada yang lebih mbiyeyet. Kemudian agar skala itu adil, maka dorongan untuk
menjadi yang 'ter’ ini terukur pada satu fenomena lomba. Lahirlah banyak
perlombaan yang terus dikembangkan dengan memakai tolak ukur-tolak ukur
tersebut. Pada titik seperti ini, manusia telah melupakan getaran lembut di
dalam hatinya tentang berlomba-lomba dalam kebaikan. Yang terjadi justru
berlomba-lomba dalam eksistensi.
Terminologi 'TURONGGO’ bermaksud
mengingatkan kembali hubungan fitrah tersebut dalam bentuk prilaku utomo. Kuda
yang memiliki kekuatan tak bertanding melawan kekuatan dengan kambing. Kuda
yang memiliki kecepatan tidak dipakai untuk bertanding dengan sapi. Kuda yang
memiliki kegagahan tidak memperbandingkannya dengan babi. Semua potensi kuda
dipersembahkan bagi kehidupan untuk membantu kehidupan berjalan lebih kuat,
lebih cepat, lebih gagah dalam kebaikan.
Demikianlah, kita diajarkan oleh
kuda yang menyediakan badannya untuk mempermudah urusan orang. Kuda berkata-kata
dengan fungsinya, bukan dengan lesannya. Dan perkataan fungsi ini langsung
menembus batas bahasa, budaya, bahkan agama. Bahasa yang dimengerti semua
kalangan dan latar belakang.
CURIGO
Keris Sepuh Wutuh Tangguh
Curigo di sini bukan 'Curiga’
dalam bahasa Indonesia. Curigo adalah sebutan lain kepada Keris. Bagi pria
utama Jawa, memiliki pusaka adalah salah satu syarat utama yang harus dipenuhi.
Makna keris waktu itu adalah sebuah "sipat kandel". Yaitu pusaka atau
senjata kebanggaan. Tak jarang lelaki sangat dihargai bahkan ditakuti saat itu
jika sudah memiliki senjata ampuh.
Pusaka itu Empuning Saka. Empu
itu seseorang yang menempa sesuatu secara lahir dan bathin. Saka itu tegak/cagak/tiang/sangga.
Jadi Empuning Saka adalah seseorang yang memiliki keahlian dan kematangan lahir
bathin untuk menegakkan pengabdian/menyangga titah/menjunjung peran
kekhalifahan.
Prinsip ini disimbolkan pada
keris. Seorang pembuat keris disebut empu bukan pande besi atau tukang keris.
Karena untuk melahirkan keris memerlukan penyeimbangan kondisi bathin yang
baik. Keris sebagai benda hanya produk, tapi keris sebagai pusaka adalah
harmonisasi estetika bathin yang mengejawantah pada estetika sebuah keris.
Pada seseorang, Pusakanya adalah
Nafasnya. Pancaran nafasnya bisa menyeruakkan pamor keteduhan ataupun pamor
ancaman. Nafas adalah kegiatan paru-paru pada ruang yang bernama iga. Pada
ruang ini ada jantung pula. Maka Curigo juga memiliki jarwa ;Pancuring Igo
(pancaran nafas/nafs/diri) yang terefleksi pada pamor seseorang. Yakni akhak
sebagai akibat dari tata kelola lahir dan bathinnya.
WANITO
Wani noto - Wani ditoto (Berani
Menata & Berani Ditata)
Secara umum yang kita pahami, Wanito
artinya wanita. Perempuan. Pada masa feodal dulu salah satu standar untuk pria
sukses. Lelaki sejati. Lelananging jagad. Adalah saat ia mampu memiliki istri
yang cantik. Bahkan standar tersendiri adalah wanita "ayu". Wanita
ayu arti sesungguhnya adalah cantik luar dalam. Cantik wajah/fisik dan juga
hatinya baik. Bahkan Wanito sebagai ukuran berwibawanya pria saat itu adalah
jika mempunyai istri ayu dan tidak hanya satu. Sehingga sangat lazim jika
dahulu kala para raja atau priyayi jawa memiliki isteri lebih dari satu. Sering
disebut dengan "selir".
Penyesuaian untuk konteks
adaptasi falsafah Wanito ini di jaman sekarang tentu saja sangat mudah. Yaitu
saat kita memiliki pendamping (istri) yang ayu itu. Karena jika cantik saja
yang diukur maka akan sangat relatif dan subyektif. Yang penting istri kita itu
cantik atau pun ayu bagi kita. Kita cintai dan mencintai, mengasihi kita
sepenuh hati.
Dalam poin ke lima ini,
kecenderungannya sepintas adalah tema gender. Padahal sekali lagi, 'wanito’
dalam hal ini mengurai banyak pesan dan untuk bisa memahami maksud dari
kandungan wedharan tentang Wanito ini, digunakanlah sosok wanito sebagai
simbolnya. Lantas mana yang lebih dulu, wanito yang makna dan wanito yang jenis
kelamin? Adalah bersama. Meskipun ruhani pasti akan lebih dulu ada daripada
jasadnya. Namun jasad dan ruhani ini perlu disatukan oleh sanubari jiwa cinta
dan pengasuhan dan pengayoman.
Keberanian menata dan berani
ditata merupakan rumpun dar ianjuran kekhalifahan. Wani itu bukan tentang
konfrontasi kepada lawan, namun keteguhan. Bukan soal tidak takut tapi tentang
baik sangka kepada alur rancangan Tuhan. Bahwa ketika menjalani alur itu ada
ketakutan, kekhawatiran, nanar, jalannya bukan untuk dihindari dan mencari
jalan lain, melainkan mengupas dan mengurai betul timbangan keberadaan Tuhan. Nuwun.
(Urd2210)
Bumi Para Nata, Kaliurang,
Ngayogyokarto Hadiningrat, 04/06/2107
NB : Bukan tidak boleh disalin. Monggo kerso, tapi alangkah bijak jika sampeyan sekedar mencantumkan sumbernya. Sekedar mencantumkan sumber tulisan tidak lantas mencerminkan kita bodoh toh.
Jujur saya baru tau nih mas filosofinya..trims sudah berbagi pengetahuan..
BalasHapusSama-sama, Mas. terimakasih juga atas kunjungannya..
HapusSebelumnya mohon maaf pak, terkait referensi tertulis untuk 5 hal tersebut dapat didapat dalam manuskrip atau buku berjudul apa ya? Guna kepentingan data primer dan valid. Terimakasih pak
HapusMatur suwun kang
BalasHapus