Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Sebagian masyarakat kita berpendapat, dalam mengambil keputusan, orang
Jawa itu lamban. Tidak cepat bertindak. Penakut. Maka setiap masalah yang
dihadapi menjadi berlarut-larut. Yang lebih celaka, masalah lama belum
terselesaikan, muncul masalah baru! Maka situasi dan kondisi permasalahan
semakin ruwet-runyam.
Benarkah sifat orang Jawa itu
lamban? Kebudayaan Jawa adalah heterogen, maka watak dan tabiat mayarakatnya
pun beragam. Ada yang kalem, ada yang cekatan, ada yang klelar-kleler, ada yang
rajin, ada yang polos, ada yang halus, ada yang berangasan, ada yang jahat ada
yang baik, ada yang berbelit-belit, ada yang sombong, ada yang rendah hati, ada
yang terbelakang, ada yang modern, ada yang peduli, ada yang cuek, ada yang
mengelompok, ada yang menyendiri, dan sebagainya. Ragam watak atau tabiat wong
Jawa itu komplit. Oleh sebab itu watak orang Jawa tidak bisa disamaratakan
(digebyah-uyah).
Orang Jawa itu berbudaya satu.
Mereka berpikir dan berasa seperti nenek moyangnya di Jawa Tengah dan Jawa
Timur; dengan Surakarta dan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaannya. Seiring
dengan zamannya, maka bahasa, budaya, dan gaya hidup wong Jawa juga mengalami
proses asimilasi dan akulturasi.
Asimilasi dan akulturasi adalah fenomena budaya, kapan pun dan di mana
pun. Dalam era globalisasi unsure-unsur bahasa, budaya, dan gaya hidup, saling
mempengaruhi; saling memberi dan menerima. Pihak yang kuat, biasanya menjadi
pihak yang memberi.
Akibat globalisasi, orang Jawa
semakin tersebar ke penjuru dunia. Maka bahasa, budaya, serta gaya hidup,
semakin ikut mendunia. Dan ini tentu saja, sedikit atau banyak, ikut memberi
warna baru kepada perilaku, adab, dan tabiat orang Jawa dan keturunannya.
Sejarah nasional mencatat, sejak dulu, jumlah suku bangsa Jawa terbesar di
Indonesia. Bahkan, bahasa Jawa menduduki urutan ke-11 terbesar pada deretan
bahasa dunia. Pengguna bahasa Jawa tercatat 75,5 juta orang, dari penduduk
Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa.
Sejarah purbakala pun mencatat,
budaya Jawa sudah cukup tua dan tinggi. Sampai sekarang pun dokumentasi
tertulis sastra-budaya Jawa kuno, masih tersimpan baik di museum-museum. Dari
semua dokumen tertulis tersebut dapat dibuktikan bahwa manusia Jawa beberapa
abad yang lalu telah memiliki kehidupan yang relatif mapan. Sejumlah candi dan
patung kuno yang tersebar di pulau Jawa sebagai bukti secara faktual dan
visual.
Namun demikian, semua warisan
budaya tersebut, termasuk ilmu mencapai kehidupan manusia yang jaya dan mulia,
jika tidak dilaksanakan, pastilah tak akan ada hasilnya. Ilmu-ilmu tinggi tetap
menjadi dokumentasi mati di rak-rak buku yang berdebu, sunyi-sepi sendiri.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku, kata pujangga.
Perasaan orang Jawa
(tradisional-asli) dapat dibedakan: aji, pakewuh, ajrih, lingsem, isin. Aji
adalah rasa hormat kepada orang yang lebih tinggi derajatnya, pangkatnya,
martabatnya. Tidak cuma hormat, bahkan ada yang bercampur rasa kagum. Pakewuh
(basa krama-nya: pakewet) adalah perasaan malu ketika dia harus berhubungan,
bergaul, bercampur, bertemu, apalagi minta tolong, kepada orang yang derajat
dan pangkatnya lebih tinggi.
Ajrih adalah perasaan malu
(bercampur takut) disebabkan karena dirinya merasa telah bersalah, atau telah
melakukan sesuatu yang kurang baik, kepada seseorang.
Rasa senang (krama: remen) adalah
perasanaan senang, enak, nyaman, khususnya dalam berkomunikasi dengan orang
lain yang sederajat.
Tresna adalah rasa senang, cinta,
simpati, saat bertemu, bergaul, dengan orang lain, yang biasanya telah akrab.
Gething adalah rasa benci.
Biasanya benci disebabkan oleh sifat-sifat buruk seseorang, sehingga dia
menjauhi orang tersebut. Jadi jelas, budaya Jawa (bukan orang Jawa) memiliki
budaya malu.
Jika bertemu dengan orang yang
belum dikenal, maka ada dua kemungkinan. Pertama: orang Jawa akan menghindar,
negative thinking. Kedua: bersahabat, aktif, positive thinking. Pada umumnya
orang Jawa suka membantu orang lain, sesuai ungkapan dudu sanak dudu kadang,
yen mati melu kelangan.
Kesimpulannya, tidak semua orang Jawa lamban, tergantung
orangnya. Banyak orang Jawa yang berani bertindak tegas dan cepat
(trampil-trengginas-tanggap-tanggon). Apalagi jika demi tujuan luhur dan
membela rakyat banyak, miskin, dan tertindas. Orang Jawa berani tampil menjadi
pahlawan.
Contohnya? Banyak! Para perintis kemerdekaan rela dipenjara, dibuang.
Bahkan banyak rakyat kecil yang berani cepat bertindak dan berani mati demi
rakyat banyak (Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya). Di mana letak
rahasianya? Sifat jujur! Oran-orang jujur berani mati, sebaliknya, orang yang
tak jujur, tak berani mati. Apalagi koruptor gede kaya raya, amat takut mati.
Mungkin dia kira, malaikat pencabut nyawa, bisa disogok! Urd2210
Tatar Galuh, Pamarican, Ciamis,
22/06/2017
0 on: "Meluruskan Anggapan Sifat Lambannya Orang Jawa"