Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Sejarah adalah milik penguasa. Dia yang menentukan benar atau salah
seseorang, dia juga yang menentukan benar tidaknya suatu cerita. Namun galibnya
sebuah kehidupan yaang dipergilirkan, penguasa tidak bisa hidup selama-lamanya
mereka dikalahkan oleh waktu dan waktulah yang akan membuktikan apa itu
kebenaran dan cerita sesungguhnya yang terjadi.
Di dalam masyarakat Jawa, dikenal
adanya tokoh penyiar agama Islam yang hidup pada jaman Kerajaan Demak jaman
Raden Patah yang menjadi Sultannya, yang kemudian dihukum mati oleh Raja dan
Dewan Wali karena dianggap telah menyebarkan ajaran yang sesat. Tokoh tersebut
adalah Syeh Siti Jenar yang juga sering disebut Syeh Lemah Abang.
Menurut kisah yang beredar dalam
masyarakat, Syeh Siti Jenar ini dahulunya berasal dari seekor cacing di dalam tanah lempung yang
dipergunakan untuk menambal perahu saat Sunan Bonang (salah seorang Walisongo)
sedang mengajarkan pengetahuan tingkat tinggi dalam agama Islam kepada Sunan
Kalijogo (yang waktu itu masih menjadi muridnya). Baca selengkapnya dalam
tulisan Makna
Filosofis Cacing dari Sejarah Asal-Usul Siti Jenar.
Dengan kelebihannya, cacing yang
turut serta mendengarkan ajaran tersebut kemudian “disabda” oleh Sunan Bonang
menjadi manusia. Dalam perkembangannya, manusia yang berasala dari cacing ini
kemudian diberi nama Siti Jenar (siti =
lemah = tanah, jenar atau abrit = kuning atau merah = lempung = tanah liat) yang nantinya juga turut serta
menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa.
Dalam menyebarkan ajaran Islam,
Syeh Siti Jenar melakukannya di daerah pedalaman Jawa dan mendapatkan banyak
pengikut, baik dari kalangan orang kebanyakan maupun kalangan bangsawan yang
merupakan sisa-sisa pejabat di daerah bekas kerajaan Majapahit. Salah satu
pengikutnya adalah Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenongo), yang merupakan
keturunan dari Raja Kertabumi, raja terakhir Majapahit.
Namun dalam perkembangannya, apa
yang diajarkan oleh Syeh Siti Jenar yang dikenal mengajarkan “piwulang manunggaling kawulo-gusti” ini dipandang sudah melenceng dari ajaran
Islam, dan dianggap sebagai ajaran yang sesat dan harus dilenyapkan oleh Raden
Patah (Raja Demak) dan Dewan Wali. Syeh Siti Jenar kemudian ditangkap dan
dihukum mati di Demak.
Syeh Siti Jenar dihukum pancung,
kemudian dimasukkan ke dalam peti sebelum dikuburkan. Saat jenasah masih di
dalam peti pada saat dibuka dan akan dikuburkan, ternyata yang ada di dalamnya
bukan jenazah Syeh Siti Jenar, namun bangkai anjing hitam kudisan. Syeh Siti
Jenar yang semula berasal dari cacing telah meninggal berubah menjadi anjing
hitam kudisan.
Kisah yang disampaikan di atas
merupakan sebuah versi yang diceritakan dari mulut ke mulut dan sudah lama
beredar dalam masyarakat Jawa. Adakah
versi yang lain dari kisah
tersebut? Buanyaaak. Sayang untuk
menuliskan versi yang berbeda mungkin pada kesempatan lainnya.
Terlepas dari kesimpangsiuran
tentang asal-usul Siti Jenar, seperti pada judul tulisan ini, setuju atau
tidak, kehadiran mistik Syekh Siti Jenar telah mewarnai kehidupan mistik
Kejawen. Mistik ini memang unik dan banyak menimbulkan kontroversi. Terlebih
lagi, ketika Syekh Siti Jenar berbicara tentang Tuhan dan kematian, bisa jadi
bagi sebagian orang hal ini dapat mengundang kebencian. Namun, sebagai sebuah
wacana kultur mistik Kejawen hal ini pun patut diketahui. Ada yang berpendapat
bahwa ajarannya termasuk golongan keras, bukan lembut dan sejuk. Dia lebih
banyak menyampaikan mistik tajam, bukan lembut.
Berbicara tentang Syekh Siti
Jenar dalam konteks mistik memang sering diperdebatkan. Setidaknya, banyak
pihak selalu meneror bahwa dia penganut ajaran sesat. Dia menyimpang dari
petuah atau paugerab yang sudah disepakati para wali. Sementara itu, ada juga
yang masih angkat topi terhadap paham mistik Syekh Siti Jenar ini. Paling
tidak, yang setuju ini akan berkilah bahwa Syekh Siti Jenar bukan penganut
mistik yang sesat. Jika ada yang mengatakan demikian, berarti pemahaman
mistiknya masih sepotong-potong.
Memang, belakangan sempat muncul
dua versi kematian Syekh Siti Jenar – yang mengimplikasikan dia berada di pihak
yang salah atau benar. Pertama, di kalangan pesantren selalu ditekankan bahwa
kematian Syekh Siti Jenar dihukum pancung. Alasan hukuman adalah ajaran dia
yang dianggap menyesatkan masyarakat. Kedua, seperti yang pernah dikisahkan
Abdul Munir Mulkan dalam bukunya Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar
(2002) dan Achmad Chodjim dalam bukunya Syekh Siti Jenar, Makna Kematian (2002)
- dia mati karena memilih kematiannya
sendiri. Proses semacam itu, hampir sama dengan cerita kematian pujangga besar
Jawa R. Ng. Ranggawarsita – di satu pihak ada yang mengisahkan dia mati
terbunuh dan di lain pihak di mati karena mimilih jalan kematiannya.
Bagi pemerhati mistik kejawen,
yang penting bukan pada masalah ajaran Syekh Siti Jenar sesat atau tidak,
melainkan perlu dipahami – mengapa Siti Jenar memandang dunia se-bagai “alam kematian”.
Sedangkan para Walisanga tidak demikian halnya. Inilah tesis mistis Siti Jener
yang luar biasa di zamannya. Karena, dia justru telah jenius memikirkan hidup
sebagai hakikat. Dia super cerdas dan lebih berpikir tasawuf atau mistis
ketimbang berpikir yang lugas.
Mari kita renungkan ajarannya
tentang hidup dan kehidupan secara mistis. Dia berpendapat bahwa hidup yang
selalu sedih, sengsara, kebingungan, dan sejenisnya adalah penjara. Ini bukan
hidup di alam kehidupan, melainkan hidup di alam “kematian”. Manusia yang
demikian sedang terpuruk dalam kematian hidup. Manusia yang terdegradasi nilai,
yang curang, yang keras, yang korup, dan sebagainya adalah manusia yang telah
mati menurut Siti Jenar. Jika demikian, berarti dunia ini telah dipenuhi
berjuta-juta mayat yang kotor, bangkai yang amis, dan struktur kehidupan yang
mati tak karuan pula. Tak sedikit mayat yang kejar-kejaran mengais rejeki yang
haram. Tak sedikit pula mayat yang berebut kedudukan. Apakah asumsi mistis semacam
ini sesat?
Syekh Siti Jenar berpendapat
bahwa di era kematian ini, manusia terikat oleh pancaindera. Kondisi ini bukan
eksistensi yang sesungguhnya. Hidup nyata baru akan ditemukan setelah mati. Di
sana keadaan terang benderang, dan semua hal yang mengandung kebaruan. Manusia
tak lagi harus didampingi siapa-siapa. Manusia akan hidup mandiri. Siti Jenar
berpandangan bahwa hidup setelah mati lebih indah dan lebih segalanya. Karena
itu, dia rindu kematian. Dia sangat rindu terhadap alam real ketika dia belum
jatuh ke kematian. Dia ingin kembali dalam keadaan suci atau semula, ketika
belum kotor.
Untuk itu, Siti Jenar mengajarkan
bahwa hidup manusia akan mengalami proses mistis. Ajaran dia, tersimpul ke
dalam lima pokok wejangan, yaitu :
- Ajaran asal-usul kehidupan atau Sangkan Paraning Dumadi,
- Ajaran tentang pintu kehidupan,
- Ajaran tentang tempat manusia esok hari yang kekal dan abadi,
- Ajaran alam kematian yang sedang dijalani manusia sekarang,
- Ajarang tentang Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa.
Kalau demikan, apakah ajaran dia
memang gelap? Sepertinya tidak. Dari lima jalan kehidupan yang dia ajarkan,
jelas positif. Yang menjadi masalah, mengapa dia selalu mendapat “cap merah”
ketika itu? Mengapa konteks ajaran demikian membuat walisanga marah? Pasalnya,
ajaran Syekh Siti Jenar yang demikian dianggap tak sejalan dengan ajaran wali.
Kiranya, semua itu yang keliru
adalah penerapan mistik Siti Jenar yang disalah artikan. Tak sedikit memang
orang yang menerima wejangan dia, lalu berbuat onar, bernuat jelek, bunuh diri,
dan seterusnya. Pendek kata, tak sedikit di antara mereka yang segera ingin
mati, karena hidup di kelak kemudian hari justru lebih sempurna. Kalau begitu,
yang keliru adalah cara menjalani ajaran Siti Jenar, bukan ajaran itu sendiri.
Cinta mati kan sebenarnya bagus, tetapi jika mereka segera ingin mati dengan jalan
tak wajar, ini yang salah. Padahal, sejauh pemahaman saya, Siti Jenar tak
mengajarkan orang harus bunuh diri, ini masalahnya.
Guru Mistik Sejati
Syekh Siti Jenar sesungguhnya
tergolong guru mistik yang brilian. Dia guru mistik sejati yang tahu berbagai
hal. Dia juga dikenal sebagai guru sekaligus wali yang menyebarkan Islam Jawa
di tanah Jawa secara kontekstual. Dasar penyampaian ajarannya adalah realita,
karenanya dalam berbagai hal ada yang disesuaikan dengan kondisi Jawa. Karena
itu, ketika Ki Ageng Pengging tidak mau sowan ke Demak Bintara sebagai
pembangkangan atas ajaran Siti Jenar, peristiwa ini masih perlu ditinjau lagi.
Bukankah di dalam karya berjudul Syekh Siti Jenar itu, Ki Ageng Tingkir juga
telah mengingatkan secara politis terhadap tindakan Ki Ageng Pengging??
Dalam kaitan itu, Ki Ageng
Pengging memang menjadi manusia bebas. Ia hidup di bumi Tuhan, bukan bumi
Demak. Paham semacan ini, kalau dipahami secara politis tentu akan keliru.
Paham ini perlu diterjemahkan dari aspek mistis bahwa hakikat hidup memang
kebebasan itu. Manusia bebas hidup di mana saja. Manusia bebas menentukan apa
saja, sejauh dalam kerangka Tuhan. Kalau begitu apakah pandangan Ki Ageng
Pengging atau Ki Kebo Kenanga itu salah?
Tokoh yang semula tergores mistis
dalam syair Semut Ireng lalu ada baris berbunyi : kebo bongkang nyabrang kali Bengawan (kerbau besar yaitu
Kebokenangan yang menyeberang ke sebelah barat Majapahit), sebenarnya mulia.
Dia pernah lari dari Majapahit, karena tak mau mengikuti ajaran yang
disampaikan Sabdopalon dan Nayagenggong.
Itulah sebabnya, dengan mengikuti
paham Siti Jenar, Ki Kebo Kenanga tidak takut menghadapi resiko hidup. Hidup
bagi dia adalah pilihan. Kematian bagi dia bukan hal yang sengsara, andaikata
harus menerima hukuman mati. Bahkan menurut dia, takdir baginya sulit ditunda.
Bagi dia, yang selalu dikendalikan Yang Maha Kuasa. Biarpun utusan Demak
datang, dia tidak takut menhadapi bahaya. Karena, di situlah dia berjuang untuk
hidup. Dalam perjuangan itu, jika selesai tugas kejiwaannya akan segera kembali
ke alam aning anung yaitu alam bahagia, tentram, abadi.
Yang menarik lagi dari pandangan
dia adalah persoalan belajar (berbudaya). Jika hewan berdasarkan insting,
manusia Jawa mengikuti guru. Dalam pandangan Islam Jawa, setidaknya ada empat
macam guru:
- Guru Ujud, yaitu seorang guru biasa, seperti guru di sekolah, guru mengaji, dsb.
- Guru Pituduh, yaitu guru yang bertugas memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
- Guru Sejati, yaitu guru yang memahami hakikat hidup. Guru ini akan mengajarkan bagaimana menempuh jalan kematian, kesempurnaan, kelepasan.
- Guru Purwa, yaitu guru yang tertinggi. Ia ibarat manifestasi Tuhan. Dia mengetahui kodrat dan iradatnya.
Tampaknya, Syekh Siti Jenar
meletakkan dirinya pada guru sejati dan guru purwa. Hal ini tampak pada
pembahasan tentang kematian dia. Masalah proses dan makna kematian, digambarkan
dari aspek psikologi Islam Jawa. Proses kematian dan maknanya ditinjau dari aspek
kehidupan kejiwaan (psikologi Jawa), manusia harus melepaskan nafs (napas),
napas adalah batin (rasa) yang keluar masuk dalam raga. Nafs terdiri dari tujuh
tataran kejiwaan, yaitu : jiwa al amarah, jiwa lawwa-mah, jiwa mulhamah, jiwa
mutmainah, jiwa spiritual, jiwa lubbi-yyah (kosmik), dan jiwa rahsa (nirwana).
Jiwa al-amarah yang berfungsi
mengoperasikan organ tubuh, tak sekedar membuat orang marah. Jiwa lawwamah,
yaitu jiwa yang letaknya lebih dalam lagi, lebih halus, yang ketika orang tidur
akan menciptakan mimpi yang menembus ruang dan waktu. Jiwa mulhamah yaitu batin
manusia yang menyebabkan mereka dapat menerima petunjuk Tuhan.
Jiwa mutmainah, yaitu batin
manusia yang tenang. Jika ini diaktifkan manusia Jawa akan mampu melihat apa
yang disebut clairvoyance, yaitu obyek atau peristiwa di luar fisik
(metafisik). Namun, jiwa ini masih bersifat semu, misalkan kenikmatan seksual,
misalkan suami impoten atau isteri figrid nyatanya tak diperoleh kenikmatan.
Berarti masih lahiriah atau batin semu.
Jiwa spiritual, yaitu batin
manusia yang mampu melakukan kontak dengan alam gaib. Dalam masyarakat Jawa,
tradisi semacam ini dinamakan alam supena, alam mimpi yang mempengaruhi jiwa
manusia mampu menerawang terhadap kejadian mendatang. Batin ini ke arah futuristik
atau jangka (ramalan), orang Jawa menyebut ngerti sadurunge winarah. Artinya
mengetahui yang bakal terjadi. Misalkan lagi, gerak pikiran (batin) merasa
nikmat secara otomatis.
Ketika kita harus menganggukkan
kepala, menyembah, melambaikan tangan pada saat berhubungan dengan orang lain,
adalah wacana batin spiritual. Jiwa lubbiyyah (kosmik), telah meninggalkan alam
pikiran, masuk ke alam intuisi. Kehidupan tak dapat selalu melalui kesadaran
panca indera. Misalkan saja ketika orang berdzikir atau pun meditasi, mereka
merasa hilang, yang ada hanyalah halusinasi dan ilusi. Dari sini orang akan
menerima wisik. Jiwa rahsa (nirwana), yaitu keadaan nafs yang melukiskan bahwa
alam ini adalah alam langit, alam murni, penuh ketiadaan (sunyaruri).
Begitulah esensi apa yang
disampaikan oleh Syekh Siti Jenar, yang kadang-kadang merasakan ketiadaan
Tuhan, dan yang ada adalah ingsun (aku). Tapi pada baik lain, dia juga mengakui
adanya Tuhan, misalkan kutipan berikut : Syekh Lemahbang darmastuteng karsa /
sumarah ing Hyang dhawuhe. Kata Hyang yang merupakan bukti sinkretisme dengan
ajaran Hindu, sebenarnya juga menunjukkan bahwa dia percaya kepada Tuhan. Ia
pasrah total kepada Tuhan.
Pada suatu saat, dia memang
meremehkan sarengat dan pada bait lain juga menganggap sarengat itu penting dan
seterusnya. Tegasnya, ajaran Syekh Siti Jenar masih merupakan teka-teki.
Kemungkinan adanya rekayasa kultural dan politisasi ajaran juga sangat mungkin.
Maka, pemahaman menyeluruh ajaran dia memang perlu, guna menyelami hakikat
Islam Jawa.
Tampaknya, bagi dia ajaran memang
diramu dengan mistik kejawen. Jika ajaran ini dipahami sepenggal, maka orang
awam akan menyatakan dia musyrik. Padahal, bagi dia hidup adalah proses untuk
menemukan “ananeng, ananing, uninung, uninang”. Artinya, hidup untuk mencari
kejernihan batin. Hidup untuk mencari dunung (tujuan). Tujuan hidup akan
tercapai melalui sangkan paraning dumadi. Ini paham Islam Jawa yang selalu
menjadi misterius. Bersambung ......
0 on: "Syekh Siti Jenar : Guru Mistik Sejati Penggoyang Kemapanan Demak [1]"