Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Pernah nonton wayang? Apa yang bisa kita nikmati sekaligus diambil
dari sesosok wayang yang notobenenya hanya sebuah modifikasi dari kulit hewan
tersebut?
Jawabannya ternyata banyak sekali
kisanak. Tergantung dari mana kita mengambil titik koordinat untuk menikmati
sekaligus mengapresiasi dan menginterprestasikan sosok wayang yang tersaji
dalam pegelaran wayang tersebut. Diakui atau tidak dalang memegang kendali dari
nilai seni dan keilmuan yang terkandung dari tutur tinular tersebut. Lakon
wayang akan menjadi hidup jika sang dalang mampu membawa lakon wayang dengan
baik dan menarik.
Seperti diketahui, wayang yang
berkembang 5-6 abad yang lalu di wilayah yang kita sebut Nusantara ini,
mengadaptasi cerita Ramayana dan Mahabharata dari India, dan mengolahnya,
meng-improvisasi dan menambah di sana sini agar sesuai dengan kondisi kita.
Selain berfungsi sebagai hiburan, lakon wayang juga membawa serta pesan,
pitutur dan petuah dari leluhur untuk menjalani hidup benar.
Pesan ini biasa dititipkan dalam
lakon-lakon sisipan atau yang lazim disebut carangan. Biasanya penyampaiannya
amat halus dan tersamar. (Tidak seperti sinetron atau filem kita sekarang,
petuah biasanya datang secara verbal, jelas dan kasar).
Lakon Dewa Ruci ini adalah lakon
carangan dari Mahabharata yang boleh dibilang penting dan "berat".
Seperti lakon lainnya yang kelas "berat", (Lahirnya Kurawa, Pandhawa
Moksha, Kumbakarna Gugur), lakon ini jarang dipentaskan. Tidak semua dalang mau
dan mampu mementaskannya secara sembarangan. Meskipun demikian, dan juga
meskipun ceritanya sangat sederhana dan tidak menarik, lakon ini menjadi cerita
favorit para orang tua yang bercerita kepada anaknya, Guru kepada muridnya, dan
aliran kebathinan yang disebut Kejawen yang dulu di jaman Pak Harto disebut
Aliran Kepercayaan itu.
Lakon ini menjadi berat, karena
cerita di dalamnya mengandung jalan kontemplasi tentang asal dan tujuan hidup
manusia (sangkan paraning dumadi), menyingkap kerinduan akan Tuhan dan
perjalanan rohani untuk mencapaiNya (manunggaling kawula Gusti).
Karena terhitung favorit, lakon
ini banyak sekali variasinya, tergantung siapa yang menuturkannya dan siapa
dhalang yang memainkannya. Paling tidak ada 40 naskah lakon yang juga disebut
sebagai Bima Suci ini. 19 naskah diantaranya tersimpan di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Yang paling terkenal, adalah gubahan pujangga
keraton Surakarta Yosodipuro berjudul "Serat Kidung Dewa Ruci", yang
disampaikan dalam bentuk tembang macapat, dengan bahasa Kawi-Sansekerta dan
Jawa Kuno.
Cerita ini terjadi saat Pandhawa
bersama saudara-saudara sepupunya, Kurawa sedang bersama menimba ilmu pada guru
yang sama Resi Durna atau Kumbayana. Kurawa yang amat menyadari bahwa tahta
kerajaan Astina yang saat itu diduduki ayah mereka, Destrarastra, adalah
sekadar titipan dari ayah Pandhawa, Pandu Dewanata yang mati muda. Kalaulah
nanti Pandhawa telah dewasa, tahta itu harus dikembalikan kepada mereka. Dan
para saudara Kurawa yang berjumlah seratus itu, bakal lontang-lantung jadi
preman.
Karena itu, sejak awal, Kurawa
dengan berbagai jalan berusaha keras untuk melenyapkan Pandhawa, halus ataupun
kasar. Sebenarnya juga para Kurawa yang muda, berangasan dan pendek akal itu tidak mampu merancang
tindakan yang kebanyakan jenius itu, tanpa bantuan sang pemikir, Harya
Sangkuni, atau Arya Suman, adik ibunya Gendari, yang diangkat jadi Patih
kerajaan Astina Wajar saja, sang Paman
juga sangat berkepentingan akan kelangsungan kekuasaan keponakannya kan? Kalau
saja Pandhawa dapat menguasai kerajaan, apa iya dia gak jadi kere?
Dengan akal jenius, Patih
Sangkuni berhasil membujuk Resi Durna untuk membantu program Kurawa itu.
Melenyapkan Pandhawa! Sasaran utamanya adalah Pandhawa si nomer 2, Raden
Wrekudara alias Arya Bimasena dan si nomer 3 Raden Janaka alias Harjuna, 2
orang Pandhawa yang kesaktiannya menyundul langit itu. Kalau 2 orang itu sudah
"game over", yang lain cemen saja. Untuk saat ini, skala prioritasnya
adalah Sang Bimasena, yang punya posisi strategis di Pandhawa, sebagai Palang
Pintu, seperti posisi Bejo Sugiantoro di Persebaya.
Sang Bejo, maksudnya saya sang Bima
yang memang sudah menyelesaikan sesi latihan ragawinya kemudian diutus sang
Guru Resi Durna untuk mencari "Tirta Prawitasari", air kehidupan,
guna menyucikan bathinnya demi kesempurnaan hidupnya. Benda itu, harus dicari
di hutan Tibaksara di gunung Reksamuka. Ketika menghadap ibunya, Dewi Kunthi,
saudara-saudaranya yang lain mengingatkan bahwa mungkin ini hanya jebakan
Sangkuni Karena hutan itu sudah terkenal
sebagai "alas gung liwang liwung,
sato mara, sato mati" (hutan raya tak tertembus, mahluk yang mencoba masuk
99,99% modyaaaar).
Tapi Bima ngotot dan pede abis,
perintah Guru tidak mungkin ditolaknya meskipun karena itu dia harus
menyerahkan jiwanya. Melihat keteguhan hati anaknya, sang Ibu akhirnya
merestuinya. Sang Bima pun akhirnya berangkat menjalankan tugas gurunya.
Seluruh hutan sudah
dijelajahinya, tapi yang dicari tak ada, malah membangunkan 2 raksasa penunggu
hutan Rukmuka dan Rukmakala yang lagi enak-enak tidur. Perkelahian segera
terjadi dan 2 raksasa itu terbunuh oleh Sang Bima.
Menyadari bahwa yang dicarinya
tidak ada, Sang Bima kembali menghadap gurunya. Gurunya yang semula kaget,
kokbisa-bisanya ada mahluk yang keluar hidup-hidup dari hutan Tibaksara itu,
lalu menyuruh untuk melakukan yang lebih sulit. Tirta Prawitasari itu harus
dicari di kedalaman lautan! Tanpa banyak bertanya apalagi meragukan perintah
sang Guru, Sang Bimasena pun langsung berangkat.
Seisi lautan diaduknya, seekor
Naga yang menghalangi jalannya disingkirkannya, tapi yang dicarinya tidak juga
ketemu. Ditengah kebingungannya, dia menemukan mahluk serupa dirinya dalam
ukuran yang lebih kecil, yang meniti ombak lautan, mendekati dirinya. Mahluk
itu memperkenalkan dirinya sebagai Sang Dewa Ruci, sang suksma sejatinya,
dirinya yang sebenarnya. Pembicaraan antara 2 mahluk inilah yang menjadi inti
cerita ini, sayang sekali saya tidak mampu menguraikannya secara tepat karena
ilmu saya yang terbatas. Akhirnya Sang Bimasena masuk ke dalam wadag Sang Dewa
Ruci melalui kuping kirinya, dan mendapat penjelasan tentang hidup sejatinya.
Cerita selesai sampai disini. Kalaupun
ada lanjutannya, paling itu bunganya saja,
yakni para Kurawa yang tunggang langgang dihajar dan tarian kemenangan
Sang Bima Sena.
Untuk mendapatkan "inti
pengetahuan sejati" (Tirta Prawitasari) Sang Bima harus menempuh ujian
fisik dan mental sangat berat, (Hutan Tibaksara "tajamnya cipta";
Gunung Reksamuka, "pemahaman mendalam"). Sang Bimasena tidak akan mampu
menuntaskannya tanpa membunuh raksasa Rukmaka "kamukten, kekayaan" dan
Rukmakala "kemuliaan". Tanpa mengendalikan nafsu dunianya dalam batas
maksimum.
Perjalanannya menyelam ke dasar
laut diartikan dengan "samodra pangaksami" pengampunan. Membunuh Naga
yang mengganggu jalannya simbol dari melenyapkan kejahatan dan keburukan diri.
Pertemuannya dengan Sang Dewa
Ruci melambangkan bertemunya Sang Wadag dengan Sang Suksma Sejati. Masuknya
wadag Bima kedalam Dewa Ruci dan menerima Wahyu Sejati bisa diartikan dengan
"Manunggaling Kawula-Gusti", bersatunya jati diri manusia yang
terdalam dengan Penciptanya. Kemanunggalan ini mampu menjadikan manusia untuk
melihat hidupnya yang sejati. Dalam istilah Kejawen "Mati sajroning urip,
urip sajroning mati". (Mati di dalam Hidup, dan Hidup di dalam Mati). Ini
adalah esensi dari Kawruh Kejawen. Perjalanan tasawuf untuk menukik ke dalam
dirinya sendiri. Abot kisanak! Nuwun.
0 on: "Tasawuf Orang Jawa dalam Lakon Wayang Dewa Ruci"