Akarasa - Sugeng rawuh kisanak, hampir tiga tahun saya
baru update lagi tulisan baru di akarasa ini. Jadi, harap dimaklumi kalau
tulisannya menjadi belepotan. Mutar-muter ra jelas.
Sebagaimana judul diatas,
tulisan ini tidak hendak menyoal persebaran, daya
serang Penyakit coronavirus (Covid-19), karena banyak artikel dari pakar yang
kompeten. Hanya akan sedikit menelisik fenomena pageblug dalam perpektif manusia Jawa jaman dahulu kala.
Sebagaimana pemberitaan
sekarang ini. Di masa pandemi seperti saat ini banyak
bermunculan spekulasi-spekulasi terkait bagaimana pandemi ini berawal, apa yang
menjadi penyebab, dan bagaimana ini akan berakhir. Di tengah masa pandemi
Covid 19 seperti saat ini banyak pihak yang menyatakan pendapat dan sudut
pandangnya masing-masing sesuai dengan preferensi mereka.
Ada yang memandang dari sudut padang medis,
ada yang memandang dari sudut padang Agama, hingga ada yang memandang dari sudut pandang konspirasi dll. Ada diantaranya
yang berdasar dan disertai dengan penjelasan Ilmiah dan Logis namun tak kurang juga yang tidak
cukup berdasar dan pada akhirnya menimbulkan disinformasi.
Kembali lagi pada fokus
topik diawal. Tulisan ini saya buat berdasarkan
preferensi saya sebagai wong Jawa yang berada di dalam masyarakat yang beberapa diantaranya
masih berpegang teguh pada ajaran atau
ilmu peninggalan leluhur.
Orang jawa banyak dikenal memiliki berbagai
peninggalan leluhur dalam berbagai bidang, seperti arsitek, tatanan sosial,
budaya, kosmik, dan astronomi.
Orang jawa memiliki kebiasaan
"niteni" atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah
mengingat-ingat sesuatu, bisa juga dimaknai menandai sesuatu peristiwa. Dalam
tulisan ini saya ingin mengangkat bagaimana orang Jawa mengembangkan Ilmu
tentang astronomi dalam "niteni" akan terjadinya suatu Pageblug.
Pageblug dalam kepercayaan orang Jawa
dianggap sebagai suatu masa datangnya kekacauan, kelaparan, penyakit/wabah, dan
huru-hara. Namun semakin perkembangan jaman, pageblug lebih diasosiasikan
sebagai datangnya wabah atau penyakit, seperti halnya saat ini dimana pandemi
virus Covid 19 yang berdampak pada berbagai bidang, sebagian mastarakat Jawa percaya dan menyebut
ini sebagai suatu pageblug.
Saking menakutkannya dampak pagebluk, orang
Jawa mulai mencari pertanda atau
"niteni"sebelum datangnya suatu wabah. Pada zaman Mataram Islam,
pagebluk mulai dikaitkan dengan fenomena langit yaitu munculnya bintang berekor
atau komet. Orang Jawa menyebutnya dengan lintang kemukus.
Menurut kepercayaan orang jawa, kemunculan
komet pada arah tertentu memiliki arti tersendiri, di antaranya sebagai
pertanda kemunculan pagebluk. Komet oleh sebagian masyarakat Jawa sering
disebut sebagai lintang kemukus, hal tersebut karena di salah satu ujung
"bintang"-nya tampak seperti mengeluarkan asap atau kukus.
Dalam bahasa Indonesia, komet dikenal
sebagai bintang berekor karena asap yang muncul bisa sangat panjang seperti
memiliki ekor.
Sementara itu, penyebutan lintang yang
berarti bintang terjadi karena masyarakat dulu belum mengenal dan mampu
membembedaan obyek langit seperti dalam astronomi modern saat ini. Saat itu,
benda langit apa pun yang terlihat terang di langit kecuali Bulan, seperti planet,
rasi, komet atau meteor, semuanya disebut sebagai lintang.
Kebiasaan sebagian
masyarakat Jawa mengaitkan kemunculan fenomena langit berupa komet dengan
peristiwa yang akan terjadi sudah berlangsung sejak lama. Misal, dalam legenda
lintang kemukus setidaknya pernah tercatat dalam Serat Babad Segaluh Dumugi
Mataram
Pada saat itu, keris Kyai
Condong Campur keluar dari tempat penyimpanannya sehingga menimbulkan wabah
penyakit di kerajaan Majapahit yang menyerang banyak orang, termasuk permaisuri
Prabu Brawijaya, Dwarawati.
Kemudian, terjadi
pertempuran antara keris Kyai Condong Campur dan keris Kyai Sengkelat. Kyai
Condong Campur pun kalah dan kembali ke tempatnya sehingga wabah berakhir.
Setelah itu Prabu
Brawijaya pun memerintahkan untuk menghancurkan keris Kyai Condong Campur. Saat
keris dihancuirkan dengan cara dibakar hingga warnanya menjadi merah membara,
tiba-tiba KerisKyai Condong Campur melesat ke angkasa dan menjelma menjadi lintang
kemukus yang disaksikan banyak orang.
Dari situlah, lintang
kemukus dianggap sebagian masyarakat Jawa sebagai pertanda akan datangnya suatu
bencana, kerusuhan, kekacauan, perang, kelaparan, kematian, atau wabah
penyakit.
Keyakinan itu tetap
bertahan hingga kini dan diteruskan secara turun temurun sehingga diyakini
kebenaranya oleh sebagian orang jawa.
Menurut sebagian orang
jawa secara umum penampakan komet membawa hal yang kurang baik, kecuali apabila
komet tersebut muncul di arah barat.
Daripada sampeyan
penasaran, berikut ini saya kutipkan dari buku "Sejarah Kutha Sala:
Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu" karya R.M. Ng. Tiknopranoto
dan R. Mardisuwignya, makna kemunculan komet dapat diartikan sebagai berikut:
Timur
Arah dan Makna:
Yen ana lintang kemukus
metu ing : Wetan, ngalamat ana ratu sungkawa. Para nayakaning praja padha ewuh
pikirane. Wong desa akeh kang karusakan lan susah atine. Udan deres. Beras pari
murah, emas larang.
Terjemahan:
Jika ada bintang berekor
muncul di sebelah timur merupakan pertanda ada raja sedang berbela sungkawa.
Para pengikutnya sedang bingung pikirannya. Orang desa banyak mengalami
kerusakan dan bersusah hatinya. Beras dan padi murah harganya, tetapi emas akan
mahal harganya.
Tenggara
Arah dan Makna:
Kidul-wetan: ngalamat ana
ratu surud (seda). Wong desa akeh kang ngalih, udan arang. Woh2an akeh kang
rusak. Ana pagebluk, akeh wong lara lan wong mati. Beras pari larang. Kebo sapi
akeh kang didoli.
Terjemahan:
Tenggara. Pertanda ada
raja meninggal. Orang desa banyak yang pindah. Hujan menjadi jarang. Buah-buahan
banyak yang rusak. Ada wabah penyakit. banyak orang sakit dan meninggal. Beras
dan padi mahal. Kerbau dan sapi banyak yang dijual oleh pemiliknya.
Selatan
Arah dan Makna:
Kidul: ngalamate ana ratu
surud (seda). Para panggedhe pada susah atine. Akeh udan. Karang kitri wohe
ndadi.Beras pari, kebo sapi murah regane. Wong desa pada nalangsa atine,
ngluhurake panguwasane Pangeran kang Maha Suci.
Terjemahan:
Selatan. Pertanda ada
raja meninggal. Para pembesar sedang bersusah hatinya. Banyak hujan. Hasil kebun
melimpah hasilnya. Beras, padi, kerbau, dan sapi murah harganya. Orang desa
merana hatinya, mengagungkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Suci.
Barat Daya
Arah dan Makna:
Kidul Kulon, ngalamat ana
ratu surud. Wong desa padha nindakake kabecikan. Beras pari murah. Karang kitri
wohe ndadi. Kebo sapi akeh kang mati.
Terjemahan:
Barat daya. Pertanda ada
raja meninggal. Orang desa melakukan kebajikan. Beras dan padi murah harganya.
Hasil kebun berlimpah ruah. Kerbau dan sapi banyak yang mati.
Barat
Arah dan Makna:
Kulon bener, ngalamat ana
jumenengan Ratu. Panggede lan wong desa padha bungah atine. beras pari murah.
Apa kang tinandur padha subur, kalis ing ama. Udan deres tur suwe. Barang
dagangan wujud apa bae padha murah regane, jalaran saka oleh nugrahaning
Pangeran.
Terjemahan:
Barat. Pertanda ada
penobatan Raja. Pembesar dan orang desa merasa senang hatinya. Beras dan padi
murah harganya. Apa yang ditanam akan berbuah subur dan cepat membuahkan hasil.
Hujan deras dan lama. Barang yang diperjual-belikan dalam bentuk apa saja akan
murah harganya, karena memperoleh berkah Tuhan.
Barat Laut
Arah dan Makna:
Lor kulon, ngalamat ana
Ratu pasulayan, rebutan raja darbeke lan pangwasane. Para Adipati padha tukaran
rebut bener. Wong desa padha sedhih atine. Kebo sapi akeh kang mati. udan lan
gludhug salah mangsa. Grahana marambah-rambah tur suwe. Beras pari larang emas
murah.
Terjemahan:
Barat laut. Pertanda ada
raja berselisih memperebutkan kekuasaan. Para adipat berselisih memperebutkan
kekuasaan. Warga desa bersedih hatinya. Kerbau dan sapi banyak yang mati. Hujan
dan petir akan terjadi di musim yang salah. Kekurangan (gerhana) akan semakin
meluas dan berjangka waktu lama. Beras dan padi akan mahal harganya, namun emas
murah harganya.
Utara
Arah dan Makna:
Lor bener: ngalamat ana
Ratu ruwet panggalihe jalaran saka kisruh paprentahane, kang temahan nganakake
pasulayan, banjur dadi perang. beras pari larang, emas murah
Terjemahan:
Utara: pertanda ada raja
yang kalut pikirannya karena kekeruhan dalam pemerintahan. Akan timbul
perselisihan yang berkembang menjadi peperangan. Beras dan padi mahal harganya,
namun emas murah.
Dalam perjalanan bangsa
Indonesia dan persitiwa langit yang pernah terjadi, setidaknya ada dua
peristiwa besar di Indonesia pasca-kemerdekaan yang dikaitkan dengan kehadiran
komet atau lintang kemukus ini.
Pertama adalah adalah
tragedi G30S yang dikaitkan dengan komet Ikeya-Seki (C/1965 S1) yang terlihat
sejak pertengahan September 1965 dan Kedua adalah meninggalnya proklamator
Indonesia Soekarno yang dihubungkan dengan munculnya komet Bennett (C/1969 Y1),
mencapai titik terdekatnya dengan Bumi pada 26 Maret 1970, tiga bulan sebelum
meninggalnya Soekarno yang juga sebagai penanda transisi dari Orde Lama ke Orde
Baru.
Selain itu, mengutip
tulisan Ma'rufin Sudibyo, sepanjang sejarah peradaban manusia, komet telah
dianggap sebagai suatu pertanda akan datangnya hal buruk.
Salah satu yang
mengungkapkan hal tersebut adalah Aristoteles. Filsuf berpengaruh yang hidup
era Yunani Kuno itu berpandangan bahwa komet atau bintang berekor adalah salah
satu isyarat pembawa kabar akan datangnya suatu bencana.
Kehadiran komet Halley
beberapa tahun silam juga dikaitkan dengan peristiwa meninggalnya Julius Caesar
di era Romawi, juga hancurnya penduduk asli Inggris dalam pertempuran Hasting
tahun 1066 serta meletusnya Perang Dunia 1 di abad ke--20.
Di Indonesia, penampakan
komet Halley yang terjadi pada tahun 1910 juga dihubungkan dengan mewabahnya
pes yang merenggut puluhan ribu jiwa penduduk di Jawa.
Terkait dengan dinamika
yang ada dalam kepercayaan masyarakat jawa tersebut ada anggapan bahwa pandemi
covid 19 yang terjadi saat ini juga memiliki keterkaitan dengan munculnya Komet
Atlas (C/2019 Y4) yang pertama kali menampakkan wujudnya pada 28 Desember 2019.
Kehadiran komet ini
pertama kali teramati melalui sistem penyigian langit robotik ATLAS (Asteroid
Terestrial--impact Last Alert System) dengan senjata teleskop pemantul 50 cm di
Observatorium Gunung Mauna Loa, Hawaii (Amerika Serikat).
Namun kembali lagi, hal
tersebut merupakan ilmu atau ajaran peninggalan leluhur yang telah ada dan
secara turun temurun berkembang di masyarakat. Keberadaanya kita anggap sebagai
penambah khasanah dan wawasan keilmuan kita, bukan sebagai sesuatu yang harus diterima
secara mutlak dan hakiki.
Tetapi sebagai manusia
kita dituntut untuk menggunakan perasaan dan akal secara seimbang, oleh
karenaya banyak juga ajaran di luar peninggalan leluhur oarang jawa yang jika
diamati secara seksama hampir memiliki kesamaan satu dengan lainya.
Ajaran tersebut menilai
bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis atau alam
semesta. Oleh karenanya hingga saat ini banyak tradisi atau ajaran bersifat
teologi yang mengajarkan kita sebagai manusia untuk menjaga keselarasan dan
keserasian dengan alam.
Ada satu pendapat menarik
terkait dengan korelasi antara datangnya pageblug/wabah dengan datangnya komet
dalam lingkup menjaga keserasian dengan alam "semesta", wabah
penyakit yang menimpa manusia adalah pertanda tentang adanya ketidakseimbangan
mikrokosmos.
Adapun kemunculan lintang
kemukus sebagai fenomena keluarnya komet dari orbit merupakan pertanda adanya
ketidakseimbangan pada makrokosmosnya. Lalu benarkah demikian? #akarasa